Korea Utara, Covid-19, dan Food Security
Sekitar pertengahan Juni 2021, Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara mengumumkan kelangkaan pangan tengah melanda Korea Utara pada pembukaan Rapat Pleno Komite Partai Buruh. Menurut media resmi Korea Utara, kelangkaan ini akibat sektor pertanian yang gagal memenuhi target produksi gabah akibat bencana topan tahun lalu. Walaupun Kim mengklaim bahwa perekonomian naik 25% dari tahun sebelumnya lewat sektor industri,[1]Institut Pengembangan Korea, sebuah lembaga think tank di Seoul, memperkirakan bahwa produksi biji-bijian telah turun 5,5% tahun lalu, menyebabkan kekurangan pangan sekitar 1,5 juta ton.[2] Selain bencana alam yang menimpa sektor pertanian, perekonomian Korea Utara juga bermasalah karena sanksi yang dijatuhi negara lain dan organisasi internasional serta kebijakan penutupan perbatasan sebagai tindakan menghalau pandemi Covid-19.
Menurut analisis dari the Korea Institute for National Unification, harga pangan meningkat karena kurangnya pasokan dan asumsi bahwa adanya intervensi otoritas Korea Utara melalui pembatasan harga atau distribusi publik.[3] Namun karena kebijakan penutupan perbatasan, tentu Korea Utara semakin kesulitan untuk menghadapi masalah ini, karena Korea Utara sering bergantung pada kerja sama dengan China dengan mengimpor berbagai bahan pangan, padahal Korea Utara bergantung pada China dalam hal pangan, pupuk, dan bahan bakar.[4] Organisasi internasional pun seperti Program Pangan Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan diplomat dari negara lain yang berada di Korea Utara pun tidak dapat berbuat banyak karena orang asing yang berada di negaranya dipaksa keluar dari negara tersebut karena kebijakan yang sama demi mencegah penyebaran virus corona.
Negara tetangga Korea Selatan ini pernah mengalami tragedi The Arduous March, sebuah istilah yang digunakan untuk merujuk pada perjuangan kelaparan massal di Korea Utara tahun 1990-an yang diperkirakan menyebabkan jutaan orang meninggal dunia pada masa kepresidenan Kim II-Sung. Kim Jong Un sendiri memperingatkan bahwa krisis pangan kali ini dapat menjadi tragedi yang terulang, sebuah pengakuan yang sangat jarang dilontarkan olehnya mengingat Korea Utara di bawah kepemimpinan Kim Jong Un selalu berusaha memperlihatkan Korea Utara sebagai negara yang makmur lewat pengembangan militernya. Ketika Kim mengambil jabatan presiden Korea Utara dari ayahnya pun, ia pernah mengatakan bahwa ia menjanjikan masa depan yang lebih sejahtera bagi rakyat Korea Utara, dimana masyarakat dapat makan daging dan akses listrik untuk aktifitas sehari-hari.[5]
Selain sanksi ekonomi sejak bertahun-tahun lalu akibat program nuklir yang terus dikembangkan dan juga penutupan perbatasan, Korea Utara juga dilanda dua badai besar musim panas lalu, yang menyebabkan banjir yang diyakini telah merusak sektor pertanian.[6] Peringatan dini oleh Kim sendiri mengenai The Arduous March dapat terjadi jika dilihat bagaimana harga pangan terus meningkat dan tetap tidak stabil. Menurut laporan oleh the Korea Institute for National Unification, harga beras baru-baru ini melonjak dari $0,5 menjadi $0,6 per kilogram menjadi $0,9 hingga $1,4 per kilogram.[7] Tingkat perdagangan dengan China juga turun secara drastis, Akibatnya perdagangan dengan China turun drastis hampir95% yang mengarah kepada kelangkaan bahan makanan dan kebutuhan dasar bukan hanya di daerah tertinggal, tetapi hingga ke ibu kota Pyongyang.[8]
Krisis ekonomi ini sendiri dapat berdampak pada kelangkaan pangan yang dapat membahayakan kedaulatan sebuah negara. Kelaparan yang disebabkan oleh kelangkaan pangan dapat mempengaruhi sebuah negara. Krisis pangan menyebabkan apa yang disebut dengan food insecurity. Jika merujuk pada Komite PBB untuk Ketahanan Pangan Dunia, berarti bahwa semua orang, setiap saat, tidak memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi yang memenuhi preferensi pangan dan kebutuhan pangannya untuk hidup aktif dan sehat. Menurut perkiraan PBB, terdapat lebih dari 40% dari 25 juta penduduk Korea Utara dianggap rawan pangan dimana terdapat peningkatan jumlah anak-anak dan orang tua yang terpaksa mengemis karena keluarga tidak dapat mendukung mereka.[9]
Secara umum, dampak dari food insecurity sendiri sangatlah banyak, dari menurunnya tingkat kesehatan masyarakat akibat sulitnya mendapatkan pangan bergizi, rendahnya daya jual beli karena harga pangan yang mahal dapat memperburuk tingkat kemiskinan di sebuah negara yang menciptakan efek bola salju ke berbagai permasalahan lainnya. Jika tragedi The Arduous March kembali terjadi dan menyebabkan jutaan masyarakat di Korea Utara meninggal, hal ini juga dapat berpengaruh pada perekonomian dan aspek sosial lainnya. Untuk itu, selain Kim harus memastikan bahwa sektor pertanian menjadi prioritas utama untuk menyelamatkan negaranya, tentu harus ada langkah-langkah lain yang dilakukan untuk menghalau tragedi pada tahun 1900an terjadi lagi.
Sebagai sebuah negara otoriter, Kim setidaknya harus membuka perbatasannya sedikit untuk perdagangan terutama dengan China yang merupakan rekan perdagangan utamanya dimana China sendiri lebih banyak melakukan kerja sama bilateral daripada mengatasnamakan organisasi internasional dengan Korea Utara. Dengan begitu, setidaknya Korea Utara bisa mendapatkan impor pangan dan komoditas yang dapat membantu sektor pertanian di negara dengan ibu kota Pyongyang tersebut. Selain itu, Korea Utara juga diasumsikan masih mengembangkan senjata pemusnah masalnya—yaitu senjata nuklir—dengan tidak memerhatikan sanksi ekonomi dari berbagai negara dan organisasi internasional. Jika food insecurity di Korea Utara ini semakin parah, salah satu atau pun dua langkah di atas dapat menjadi langkah termudah untuk setidaknya membantu mengatasi krisis pangan yang dapat menjadi masalah vital bagi Korea Utara.
[1] Simon Denyer, “North Korea’s Kim calls food situation ‘tense’ as reports of shortages mount”. The Washington Post, 16 Juni 2021, https://www.washingtonpost.com/world/asia_pacific/northkorea-food-shortage-kim/2021/06/16/fb745272-ce5a-11eb-a224-bd59bd22197c_story.html
[3] Mitch Shin, “Kim Jong Un’s Comments Reflect Growing Fear Over North Korea’s Food Crisis”, The Diplomat, 30 Juni 2021, https://thediplomat.com/2021/07/kim-jong-uns-comments-reflect-growing-fear-over-north-koreas-food-crisis/
[4] Laura Bicker, “Kim Jong-un admits North Korea facing a ‘tense’ food shortage”, BBC, 17 Juni 2021,
[5] Ibid.
[6] Laura Bicker, “Kim Jong-un warns of North Korea crisis similar to deadly 90s famine”, BBC, 9 April 2021,
[7] Op. Cit., Mitch Shin
[8] DW, “Coronavirus: How the pandemic is hitting North Korea hard”, DW, https://www.dw.com/en/coronavirus-how-the-pandemic-is-hitting-north-korea-hard/a-57168554
[9] Op. Cit., Laura Bicker, “Kim Jong-un warns of North Korea crisis similar to deadly 90s famine”
Sekali Lagi, Korea Utara Kembali Menghubungkan Hotline Antar Korea – DIP
October 22, 2021 @ 1:28 pm
[…] kebijakan lockdown ketat Covid-19, dan cuaca buruk yang menyebabkan gagal panen yang menyebabkan food insecurity. Menurut Bank Sentral Korea Selatan, produk domestik bruto (PDB) ekonomi berkontraksi 4,5% pada […]
Mengapa Undang-Undang Anti Limbah Makanan China Perlu Diterapkan di Indonesia? - DIP
November 10, 2021 @ 10:36 am
[…] lain. Salah satu contoh permasalahan negara yang terjadi akibat faktor pangan adalah gagal panen di Korea Utara yang menyebabkan naiknya harga pangan karena komoditas yang menjadi langka di pasaran. Manajemen […]
Kereta Kargo Korea Utara-China Kembali Beroperasi - DIP Institute
January 19, 2022 @ 9:59 am
[…] perbatasan ini juga menurunkan tingkat perdagangan dengan China hampir 95% yang mengarah kepada kelangkaan bahan makanan dan kebutuhan dasar bukan hanya di daerah tertinggal, tetapi hingga ke ibu kota […]