China Menyusul Eropa dalam Pengembangan Energi Terbarukan?

Pembahasan terkait transisi penggunaan energi “kotor” merujuk pada batu bara, minyak bumi ke penggunaan energi “bersih” yakni energi terbarukan seperti dari sinar matahari, panas bumi, angin, dll., terus digalakkan. Hal ini dilakukan agar dunia semakin mengembangkan riset dan teknologinya dalam mendukung transisi energi global yang menghasilkan emisi dan polusi ke sumber energi terbarukan demi menjaga lingkungan dan aspek lain yang turut terdampak seperti ekonomi.
China dan Amerika Serikat (AS) menjadi dua negara tertinggi penghasil emisi karbon, di mana riset tahun 2019 dari Grup Rhodium menyatakan China menghasilkan sebesar 27 persen emisi, disusul Amerika yang berkisar kurang dari setengahnya yakni 11 persen. Indonesia juga menjadi negara teratas kelima setelah negara anggota Uni Eropa yang menghasilkan emisi sebanyak 3,4 persen di dunia.
Data dari Carbon Brief menunjukkan bahwa China masih menempati peringkat teratas penghasil emisi, meskipun sempat turun sebanyak 3 persen dikarenakan pandemi, namun mengingat pemulihan ekonomi China yang cukup cepat, jumlah emisi yang dihasilkan juga turut meningkat. Bahkan di kuartal pertama 2021 saja, emisi karbondioksida China naik menjadi 14,5 persen karena tingginya permintaan dan impor untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Target “Netralitas Karbon”
Sama seperti kebanyakan negara, terdapat target dari negara untuk mencapai pengurangan emisi karbon, termasuk China yang menargetkan “netral karbon” atau net zero emission pada tahun 2060. Netral karbon sendiri didefinisikan sebagai penghilangan semua emisi gas rumah kaca buatan manusia dari atmosfer sehingga suhu global menjadi lebih stabil. Memang perlu digaris bawahi, upaya netralitas dan transisi ke energi terbarukan tidaklah mudah dan murah, namun juga bukan berarti tidak bisa dilakukan. Transisi energi ini memerlukan pengembangan riset dan teknologi canggih, kekuatan kebijakan politik, dan investasi pasar yang mendukung di semua sektornya. Selain itu, diperlukan juga komitmen negara dan perusahaan-perusahaan yang masih sulit lepas dari energi “kotor” dalam aktivitas operasionalnya.
Meskipun begitu, China cukup menganggap serius energi terbarukan, terutama penggunaan angin yang bisa digunakan untuk irigasi pada aspek pertanian. China berhasil menjadi negara kapasitas listrik terbesar dengan kapasitas 100GW yang mana 1 GW saja mampu memberikan daya ke lebih dari 300,000 rumah. Hal ini dikarenakan adanya transisi energi angin dengan pembangunan fasilitas energi angin sejak 2020 lalu di wilayah Gansu yang lebih banyak dibandingkan negara-negara lain di Asia dan juga Eropa yang sudah lebih dahulu menggunakan energi angin di negaranya.
Secara hukum dan kebijakan, China mengembangkan pengaturan terkait agenda energi hijaunya, termasuk mendorong investasi perusahaan dalam mendukung strategi inovasi energi tersebut. Hal ini dikarenakan pengaturan di China cenderung lebih cepat dibanding di Eropa yang “lambat dan rumit” karena memerlukan “integrasi” internal dan kolektif.
Pembangunan fasilitas energi angin China juga tidak hanya dilakukan di domestik, namun di wilayah Asia yakni Kazahktan dan Afrika Selatan. Berbagai pembangunan di wilayah domestik dan global ini tidak hanya memberikan solusi pada situasi di domestik, namun juga menunjukkan upaya China mencapai kepemimpinan politik lingkungan China dalam mengatasi urgensi krisis iklim di berbagai wilayah global.