China mengkritik patroli maritim bersama yang dilakukan Filipina dan sekutunya di Laut China Selatan yang disengketakan, dengan peringatan bahwa latihan tersebut mengancam perdamaian regional. Hal ini terjadi saat Amerika Serikat memperluas keterlibatan militernya di kawasan tersebut dengan meluncurkan satuan tugas baru, Task Force Philippines.
Patroli yang berlangsung pada 30 dan 31 Oktober tersebut melibatkan angkatan bersenjata Filipina, Australia, Selandia Baru, dan AS. Latihan tersebut berfokus pada mempromosikan kerja sama regional dan menegaskan hak navigasi di perairan yang diklaim China hampir 90% wilayahnya.
Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) menyatakan bahwa mereka memantau patroli tersebut dengan ketat, menuduhnya sebagai “ancaman serius” terhadap stabilitas. Tian Junli, juru bicara Komando Teater Selatan PLA, menyebut Filipina sebagai “pembuat onar” di kawasan tersebut dan berjanji bahwa pasukan China tetap “siaga tinggi” untuk melindungi “kedaulatan teritorial nasional dan hak serta kepentingan maritim China.” Di sisi lain, keduataan besar Filipina di Beijing belum berkomentar mengenai hal ini.
Patrol gabungan tersebut bertepatan dengan pengumuman besar dari Amerika Serikat: pembentukan Task Force Filipina, sebuah unit yang dirancang untuk memperkuat upaya pencegahan terhadap apa yang Washington anggap sebagai tekanan China yang semakin meningkat di Laut China Selatan. Satuan tugas ini juga akan meningkatkan latihan eksekusi, bantuan kemanusiaan, dan kesiapan terhadap bencana. Diumumkan pada 31 Oktober di Kuala Lumpur, Malaysia, oleh Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth dan mitranya dari Filipina Gilbert Teodoro, satuan tugas ini akan terdiri dari sekitar 60 personel, dipimpin oleh seorang jenderal bintang satu atau perwira tinggi.
“Ini adalah langkah lain dalam kerja sama kita,” kata Hegseth, menekankan bahwa satuan tugas ini akan meningkatkan kesiapan dan interoperabilitas tanpa melibatkan pangkalan militer AS yang permanen atau penempatan pasukan tempur ofensif. Inisiatif ini mengikuti upaya serupa seperti Satuan Tugas Ayungin, yang dibentuk untuk mendukung operasi Filipina di dekat Second Thomas Shoal, salah satu titik panas di perairan yang disengketakan.
Peningkatan aliansi pertahanan antara AS dan Filipina terjadi di tengah meningkatnya sengketa maritim. Pekan ini, pasukan Filipina menangkap kapal nelayan China yang dituduh melakukan aktivitas ilegal menggunakan sianida, langkah yang dikritik media China sebagai menyebabkan “kerusakan fisik.”
Sementara itu, klaim China atas hampir seluruh Laut China Selatan tetap menjadi sengketa dengan negara-negara tetangga termasuk Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Indonesia. Pada tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Permanen di Den Haag memutuskan bahwa klaim Beijing tidak memiliki dasar hukum, sebuah keputusan yang ditolak mentah-mentah oleh China.
Armada Ketujuh AS, yang ikut serta dalam patroli terbaru, menyatakan latihan tersebut menunjukkan “komitmen bersama untuk Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.” Namun, Beijing berargumen bahwa keterlibatan “negara-negara non-regional” seperti AS hanya memperburuk ketegangan.
Situasi yang terus berkembang menandakan lingkungan keamanan yang semakin kompleks di Laut China Selatan, di mana klaim teritorial yang tumpang tindih beririsan dengan persaingan strategis antara kekuatan global. Seiring dengan meningkatnya upaya diplomatik dan militer, risiko konfrontasi tetap tinggi di salah satu rute perdagangan maritim terpenting di dunia , di mana lebih dari USD3 triliun barang mengalir setiap tahun.