Pada 12 Oktober 2025 Menteri Pertahanan (Menhan) Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin berkunjung ke Republik Rakyat China (RRC) untuk membahas berbagai isu yang berkaitan dengan kerja sama pertahanan antara kedua negara. Beberapa hari setelah kunjungan tersebut Menhan Sjafrie membenarkan kabar yang beredar bahwa Indonesia akan membeli setidaknya 42 pesawat tempur multiguna Chengdu J-10 buatan RRC. Selain pesawat tempur tersebut, Janes melaporkan Indonesia juga akan membeli dua tipe alat utama sistem persenjataan (alutsista) lain dari China yakni kapal penyerang rudal cepat Tipe 22 dan rudal anti-kapal CM-302/YJ-12E. Untuk mendanai akuisisi ketiga sistem alutsista tersebut, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyetujui anggaran pinjaman luar negeri (PLN) sebesar USD 3,1 miliar.
Kabar bahwa Indonesia akan membeli pesawat tempur multiguna J-10 merupakan sebuah perkembangan signifikan dalam upaya untuk memperkuat pertahanan udara Negeri Nusantara karena sejak era perang dingin (1945-1989) hingga saat ini, TNI-AU merupakan matra yang secara ekslusif menggunakan pesawat tempur buatan Blok Barat atau Uni Soviet/Federasi Rusia. Keengganan TNI-AU untuk menggunakan pesawat tempur buatan China karena persenjataan buatan Negeri Tirai Bambu memiliki reputasi sebagai produk tiruan dengan kualitas yang cukup buruk. Persepsi ini memiliki kebenaran di era lompatan jauh ke depan dan revolusi budaya karena pada saat itu RRC sedang mengalami gejolak besar yang menyebabkan banyak pabrik yang terlibat dalam sektor industri pertahanan terhenti. Akan tetapi di era reformasi dan keterbukaan, industri pertahanan China mengalami perubahan signifikan sehingga mereka dapat memproduksi persenjataan canggih seperti pesawat tempur J-10 dengan kualitas yang cukup baik. Hasil dari perubahan ini terlihat pada 17 Mei 2025 saat pesawat tempur J-10C milik Angkatan Udara Pakistan (PAF) mengklaim kemenangan udara pertama mereka di wilayah Kashmir.
Perkembangan tersebut membuat Indonesia tertarik untuk mengakuisisi pesawat tempur J-10 karena aset tersebut dapat memberikan beberapa keuntungan bagi pertahanan udara Negeri Nusantara. Salah satu keuntungan yang akan didapatkan oleh Indonesia adalah pertahanan udara secara keseluruhan akan menguat karena pesawat tempur J-10 mampu membawa rudal anti-udara jarak jauh seperti PL-15 yang dapat menghancurkan musuh di jarak yang sebelumnya dianggap aman. Dalam skenario perang, persenjataan ini memberikan TNI-AU keuntungan karena mereka dapat mengirimkan pesawat tempur J-10 untuk melakukan interdiksi udara dengan menargetkan aset udara strategis lawan seperti pesawat AWACS/AEW&C, tanker, dan kargo. Selanjutnya, pesawat tempur J-10 juga dapat meningkatkan kemampuan TNI-AU dalam menjalankan serangan strategis atau operasi bantuan udara (CAS) kepada matra yang membutuhkan. Kedua misi tersebut dapat dilakukan karena pesawat tempur ini memiliki sistem tautan data (data link) canggih serta kapabilitas untuk mengangkut persenjataan berat yang dapat menghancurkan fasilitas musuh seperti rudal penjelajah KD-88/TL-7, rudal anti-radiasi dan radar YJ-91, bom pemandu laser LT-2, serta bom layang LS-6.
Walaupun akuisisi pesawat tempur J-10 dapat memberikan banyak keuntungan bagi pertahanan udara Indonesia, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah dan TNI-AU agar aset tersebut dapat digunakan secara optimal. Tantangan pertama adalah kerumitan logistik yang akan terjadi. Hal ini penting untuk dihadapi karena saat ini Indonesia menggunakan pesawat tempur dari tiga negara yaitu Amerika Serikat, Rusia, dan Korea Selatan. TNI-AU menghadapi tantangan dalam merawat armada pesawat tempur yang majemuk karena setiap aset memiliki mesin, sistem avionik, dan komponen yang berbeda. Kemajemukan ini memperumit logistik TNI-AU karena sebagian besar suku cadang tidak identik sehingga proses perbaikan berkala melambat. Kehadiran pesawat tempur J-10 dalam armada TNI-AU dapat memperburuk situasi ini karena pesawat tempur buatan China memiliki standar produksi yang berbeda dengan F-16 Fighting Falcon buatan Amerika Serikat atau Su-30 buatan Rusia sehingga suku cadang yang diperlukan untuk mempertahankan kesiapan operasional tidak dapat digunakan untuk memperbaiki tipe lain yang ada dalam inventarisir TNI-AU. Selain logistik yang semakin rumit, tantangan lain yang dihadapi adalah isu siloed networks yang mana tautan data sebuah aset tempur tidak bisa digunakan secara terintegrasi akibat dari perbedaan sistem. Hal ini merupakan isu nyata yang dihadapi oleh TNI-AU karena sistem Link 16 yang digunakan F-16 tidak bisa diintegrasikan dengan TKS-2 yang digunakan oleh Su-27 dan Su-30 atau Tipe 481 yang digunakan oleh J-10. Hal ini dapat mempersulit operasi pertahanan udara karena tanpa integrasi tautan data pesawat tempur yang melaksanakan patroli udara tidak dapat mengidentifikasi kontak radar di sektor mereka menggunakan sistem identifikasi kawan atau lawan (IFF) sehingga resiko salah serang (friendly fire) meningkat. Selain itu tidak adanya integrasi tautan data menyebabkan para skadron tidak dapat berkomunikasi menggunakan radio yang dengan enkripsi karena hal tersebut hanya bisa dilakukan jika seluruh aset tempur memiliki sistem serupa. Hal ini dapat membahayakan keamanan operasional karena tanpa enkripsi tersebut musuh dapat mendengar apa yang dibicarakan oleh para pilot sehingga mereka dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan udara.