Pada 7 Oktober 2025 Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan di media sosial bahwa Israel dan kelompok militan Hamas telah menandatangani gencatan senjata sekaligus mengimplementasikan fase pertama dari rencana perdamaian 20 poin yang diajukan oleh sang presiden pada 29 September 2025. Dalam fase pertama ini Hamas akan melepaskan 48 sandera yang mereka tawan sejak 7 Oktober 2023 sementara Israel harus membebaskan 2000 warga Palestina yang mereka tahan sejak Negeri Bintang Daud melancarkan serangan ke wilayah Gaza. Selain pertukaran tahanan, fase tersebut juga mewajibkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk mundur dari wilayah Gaza ke sebuah garis yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam waktu 24 jam.
Menanggapi gencatan senjata tersebut Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas berharap hal tersebut dapat menciptakan solusi politik permanen yang dapat mendorong terbentuknya sebuah Negara Palestina yang merdeka. Sementara itu Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres mendorong kedua belah pihak untuk membebaskan para sandera secara dan napi secara terhormat. Selanjutnya kepala negara dan pemerintahan dari berbagai negara seperti Turki, Qatar, Mesir, Prancis, Italia, Jerman, dan Inggris memuji upaya diplomatik yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat untuk memastikan bahwa gencatan senjata tersebut dapat disetujui dan diimplementasikan oleh Hamas dan Israel. Selain respon positif dari berbagai negara, gencatan senjata tersebut juga disambut baik oleh warga Israel dan Palestina karena bagi masyarakat Negeri Bintang Daud para sandera dapat kembali pulang sementara untuk warga Negeri Batu Kapur mereka dapat membangun ulang rumah dan menata ulang kehidupan.
Akan tetapi walaupun gencatan senjata ini merupakan perkembangan positif, terdapat berbagai faktor yang dapat meruntuhkan perdamaian sementara ini. Hal ini didukung dengan preseden sejarah karena sebelumnya pada 19 Januari 2025 Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata berdasarkan rencana perdamaian yang telah disepakati oleh negara-negara Arab. Akan tetapi gencatan senjata ini runtuh dalam beberapa bulan setelah Angkatan Udara Israel (IAF) kembali melancarkan serangan udara terhadap wilayah Gaza. Serangan udara tersebut dilancarkan oleh Israel karena mereka mengklaim Hamas tidak ingin membebaskan para sandera dan memperpanjang gencatan senjata tersebut. Namun klaim ini ditepis oleh jurnalis Israel Barak Ravid yang mengklaim pemerintahan Benjamin Netanyahu sengaja meruntuhkan gencatan senjata tersebut karena sang PM ingin mempertahankan posisinya dengan segala cara.
Apapun penyebabnya, preseden sejarah yang ada menunjukan bahwa untuk memastikan gencatan senjata tersebut dapat sepenuhnya diimplementasikan negara penjamin yakni Amerika Serikat harus memiliki komitmen untuk memastikan kedua belah pihak tidak berusaha untuk melanggar ketentuan yang telah disetujui di meja negosiasi. Selain itu Amerika Serikat juga harus bisa mencari titik tengah antara berbagai isu yang membuat Hamas dan Israel enggan untuk melakukan upaya perdamaian. Kedua hal tersebut merupakan tantangan besar karena Negeri Paman Sam harus mencari titik tengah dari dua kelompok dengan pandangan politik yang sepenuhnya berseberangan. Di satu sisi terdapat Israel dengan ideologi Zionisme yang mendorong pembangunan Negara untuk para Yahudi dengan melakukan kolonialisme pemukiman (settler colonialism) terhadap penduduk asli Palestina. Di sisi lain terdapat Hamas, sebuah kelompok militan yang dibentuk pada tahun 1987 dengan misi untuk membentuk sebuah Negara Palestina merdeka berdasarkan syariat Islam. Agar titik tengah antara kedua pihak dapat ditemukan, Amerika Serikat perlu melakukan beberapa aksi yang menunjukan mereka adalah pihak ketiga yang terpercaya.
Aksi pertama yang perlu dilakukan oleh Amerika Serikat adalah memperhatikan dengan seksama apakah kedua belah pihak sedang mengikuti gencatan senjata yang telah disepakati. Untuk mencapai hal tersebut Amerika Serikat dapat mengirimkan pasukan kontingen untuk memastikan IDF atau Hamas tidak melakukan upaya yang dapat mensabotase proses perdamaian. Pasukan kontingen tersebut juga dapat ditugaskan untuk membangun ulang infrastruktur Gaza agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat mengirimkan bantuan kemanusiaan ke warga Palestina yang membutuhkan. Selain mengirimkan pasukan kontingen, Amerika Serikat juga harus bisa memaksa kedua belah pihak untuk berkompromi sehingga proses negosiasi dapat berjalan tanpa hambatan. Hal ini merupakan sesuatu yang memungkinkan karena untuk mendapatkan gencatan senjata ini dikabarkan bahwa Presiden Donald Trump memaksa Benjamin Netanyahu untuk menyepakati rencana perdamaiannya.
Namun perlu ditekankan bahwa walaupun hal ini mudah untuk dilakukan, terdapat satufaktor yang dapat merusak posisi Amerika sebagai pihak ketiga yang terpercaya. Faktor tersebut adalah pengaruh Israel dalam politik Negeri Paman Sam. Pengaruh Negeri Bintang Daud dalam politik Amerika Serikat bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena hingga saat ini terdapat berbagai organisasi seperti Komite Urusan Umum Israel-Amerika (AIPAC) yang dibentuk untuk melobi politisi Negeri Paman Sam agar mereka dapat mempertahankan posisi pro-Israel dalam kebijakan luar negeri. Hal ini membuka kemungkinan bagi Amerika Serikat untuk mengambil posisi yang lebih mengakomodasi kepentingan Negeri Bintang Daud dalam negosiasi perdamaian. Hal ini memiliki potensi untuk mensabotase proses perdamaian karena Hamas dapat mengklaim Amerika Serikat tidak dapat mengakomodasi kepentingan mereka sehingga kelompok tersebut dapat memiliki justifikasi untuk melanjutkan perang gerilya di wilayah Gaza.