China pada Jumat (14/2/2025) menuduh Australia dengan sengaja memprovokasi mereka dengan melakukan patroli maritim di Laut China Selatan. China mengatakan bahwa Australia menyebarkan “narasi palsu,” tetapi Australia berpendapat bahwa tindakan mereka sesuai dengan hukum internasional (Lee, Chen, & Needham, 2025). Insiden ini berkaitan dengan jet tempur China PLA J-16 yang melepaskan suar dekat dengan pesawat pengintai P-8A Poseidon Australia. Kontak ini semakin menyoroti peningkatan tensi terkait kehadiran militer, kedaulatan, dan keamanan nasional di Laut China Selatan.
Akibat insiden ini, Australia melabeli tindakan China sebagai “tidak profesional dan berbahaya.” Guna memahami motivasi di balik tindakan China dan Australia, pendekatan realisme menjadi salah satu teori hubungan internasional yang dapat digunakan untuk membahas tensi hubungan kedua negara ini dikarenakan realisme menekankan pada pencapaian kepentingan nasional, kekuasaan, dan keamanan dalam sistem internasional yang anarkis.
Realisme dan Kepentingan Nasional: Penegasan Kekuasaan China
Pendekatan realisme menempatkan negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, di mana negara akan bertindak sesuai dengan kepentingan nasionalnya yakni guna mempertahankan kekuasaan dan keamanan. Realisme berpendapat bahwa dengan sistem internasional yang anarkis, tidak adanya otoritas guna menyelesaikan sengketa atau menjaga stabilitas, maka negara perlu bergantung pada kemampuan mereka sendiri untuk melindungi kepentingan mereka (Mearsheimer, 2001). Dalam isu Laut China Selatan, realisme menjelaskan kepentingan China yakni guna melindungi kepentingan politik, ekonomi, dan keamanannya di kawasan tersebut.
Bagi China, Laut China Selatan bukan hanya mengenai isu regional, tetapi juga wilayah penting guna menegakkan kedaulatan nasional dan melindungi kepentingan strategis. Melalui klaim teritorialnya, China berupaya mengamankan rute dan sumber daya maritim utama guna pertumbuhan ekonomi dan militernya. Dalam pandangan realisme, negara yang sedang meningkatkan kekuatannya, seperti China, cenderung bertindak agresif untuk melindungi apa yang mereka anggap sebagai kepentingan vital, yakni kepentingan wilayah, sumber daya, dan pengaruh regional, terutama di wilayah yang sedang diperebutkan (Mearsheimer, 2001).
Insiden suar dapat dilihat sebagai upaya pertahanan China atas klaim teritorialnya dan keinginannya untuk memproyeksikan kekuatan di wilayah yang dianggap strategis dalam konteks geopolitiknya. Dengan merespons operasi pengawasan Australia dengan manuver militer, China menunjukkan komitmen dan kekuatannya untuk melindungi pengaruhnya di Laut China Selatan. Dalam perspektif ini, tindakan militer China tidak hanya dimaksudkan untuk mengamankan wilayah nasionalnya tetapi juga memperkuat hegemoni regionalnya dan menghalangi kekuatan asing untuk menantang peningkatan kehadiran militernya di kawasan Asia-Pasifik.
Tanggapan Australia: Keamanan Nasional dan Perimbangan Kekuatan
Tindakan Australia di Laut China Selatan mencerminkan prinsip-prinsip teori realis, terutama dalam konteks keamanan nasional dan keseimbangan kekuatan. Sebagai negara kekuatan menengah dan sekutu utama Amerika Serikat, Australia memiliki kepentingan strategis untuk menjaga keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik. Meskipun memiliki jarak yang jauh secara geografis, Australia tetap memiliki kepentingan di Laut China Selatan karena wilayah ini merupakan jalur air yang krusial bagi perdagangan internasional.
Dalam menghadapi peningkatan kontrol yang semakin kuat dari negara-negara seperti China atas Laut China Selatan, keterlibatan Australia dalam latihan kebebasan navigasi dan pengawasan maritim menjadi langkah strategis untuk melindungi kepentingan keamanan nasionalnya.
Teori realis menekankan bahwa negara bertindak demi kepentingan nasional mereka, terutama ketika menghadapi potensi ancaman. Dalam konteks Australia, tindakan mereka di Laut China Selatan dapat dipahami sebagai reaksi terhadap meningkatkan kehadiran militer dan klaim teritorial China. Dengan melakukan pengawasan rutin dan menegaskan haknya untuk beroperasi di perairan internasional, Australia berupaya menentang dominasi China dan mencegah ketidakseimbangan kekuatan di wilayah tersebut. Hal ini sejalan dengan perspektif realis yang menegaskan pentingnya negara dalam melindungi kedaulatannya dan melawan setiap ancaman (Baldwin, 1985).
Insiden suar yang terjadi mencerminkan sikap militer Australia yang bertekad menjaga stabilitas regional dan menegakkan norma-norma hukum internasional. Komitmen Australia terhadap Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS), yang memastikan kebebasan navigasi dan penerbangan lintas batas, berawal pada keyakinan bahwa tatanan berbasis aturan harus tetap ditegakkan di Laut China Selatan. Bagi Australia, insiden suar tersebut bukan hanya tentang keamanan fisik pesawatnya, tetapi juga tentang menegaskan kepentingan keamanan nasionalnya, di mana dinamika kekuatan berpindah kepada China.
Dilema Keamanan: Eskalasi dan Kesalahan Persepsi
Salah satu konsep utama dalam realisme adalah dilema keamanan, yakni upaya suatu negara untuk meningkatkan keamanannya (termasuk kegiatan militer) yang membuat negara lain merasa terancam, sehingga tensi ini menghasilkan perlombaan senjata atau bahkan konflik (Jervis, 1978). Insiden suar antara China dan Australia menggambarkan dinamika yang terjadi.
Dari perspektif China, operasi pengawasan militer yang dilakukan Australia di Laut China Selatan dianggap sebagai tantangan terhadap kedaulatan teritorialnya. China menganggap tindakan Australia sebagai gangguan pada pengaruhnya, sehingga mendorong untuk merespons dengan langkah-langkah militer defensif.
Dengan melepaskan suar di dekat pesawat Australia, China mengirimkan pesan yang jelas: mereka tidak akan mentolerir aktivitas militer asing yang mengancam klaim teritorialnya di wilayah tersebut. Di sisi lain, kehadiran Australia di Laut China Selatan dipicu oleh upaya untuk melindungi keamanannya sendiri dan mempertahankan akses ke jalur perdagangan yang vital bagi kelangsungan ekonomi negara. Namun, dari sudut pandang China, operasi militer Australia dianggap sebagai ancaman langsung terhadap kedaulatan dan kontrolnya atas wilayah tersebut. Hal ini menciptakan situasi di mana kedua negara memandang tindakan satu sama lain sebagai ancaman, yang mengarah pada eskalasi ketegangan dan risiko konfrontasi lebih lanjut. Dilema keamanan yang nyata terlihat dalam konteks ini, di mana kedua negara terjebak dalam siklus aksi dan reaksi yang dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Sumber
Baldwin, D. A. (2020). Economic statecraft. Princeton University Press. https://www.researchgate.net/publication/229889891_A_Political_Theory_of_Economic_Statecraft
Jervis, R. (1978). Cooperation under the security dilemma. World Politics, 30(2), 167-214. https://doi.org/10.2307/2009978
Lee, L., Chen, X., & Needham, K. (2025, February 14). China accuses Australia of deliberate provocation in South China Sea. Reuters. https://www.reuters.com/world/asia-pacific/chinas-defence-ministry-accuses-australia-south-china-sea-provocation-2025-02-14/
Mearsheimer, J. J. (2001). The tragedy of great power politics. W.W. Norton & Company.
Waltz, K. (1979). Theory of international politics. Addison-Wesley.