Serangan Israel Ke Lebanon: Ancaman Dua Arah Bagi Warga Sipil
Pada 17-18 September 2024, masyarakat Lebanon digemparkan ketika 5,000 alat komunikasi elektronik tipe penyeranta dan portofon yang digunakan oleh organisasi bersenjata Hezbollah meledak seketika. Ledakan tersebut menewaskan 42 orang dan melukai 3,500 orang. Ledakan seketika ini terjadi beberapa saat setelah Menteri Pertahanan Israel Yoaf Gallant mengumumkan pemindahan pasukan Israel dari Gaza menuju perbatasan Israel-Lebanon mengamankan bagian utara negara dari serangan Hezbollah. Menurut seorang mantan pejabat Israel, serangan kuda trojan (trojan horse) yang terjadi pada 17-18 September merupakan serangan kejutan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh Badan Intelijen dan Keamanan Israel (Mossad) untuk melumpuhkan kekuatan tempur Hezbollah dan sebagai pendahuluan dari perang total untuk menghancurkan organisasi tersebut.
Beberapa hari setelah ledakan alat komunikasi elektronik tersebut, Israel melancarkan serangan udara yang masih berlanjut hingga saat ini. Menurut Panglima Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Herzi Halevi serangan udara tersebut merupakan persiapan invasi terhadap Hezbollah di Lebanon Selatan. Serangan udara ini telah berhasil menewaskan beberapa petinggi Hezbollah seperti Ibrahim Akil yang tewas setelah apartemen nya di Beirut dihancurkan oleh Angkatan Udara Israel pada 20 September 2024. Disamping itu, serangan udara ini juga telah menyebabkan banyak korban sipil. Berdasarkan pernyataan dari Unit Manajemen Risiko Bencana Lebanon, setidaknya 696 orang telah tewas dan 1,540 orang terluka akibat dari serangan udara Israel. Tidak hanya itu, serangan udara ini juga telah memaksa sekitar 90 ribu orang untuk mengungsi ke Utara Lebanon dan Suriah.
Dari penjelasan ini dapat dilihat serangan udara yang dilancarkan oleh Israel tanpa invasi dari pasukannya telah menyebabkan korban jiwa yang besar. Oleh karena itu jika Israel melancarkan invasi, korban sipil dapat meningkat secara drastis. Adanya korban sipil merupakan sesuatu yang seharusnya dapat diantisipasi oleh Israel dan Hezbollah namun kedua belah pihak memiliki rekam jejak buruk dalam mengurangi korban sipil. Saat ini kemungkinan terjadinya invasi sepertinya tinggal menunggu waktu saja karena Israel enggan untuk melakukan deeskalasi dengan Hezbollah. Hal tersebut dapat dilihat pada saat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak memedulikan desakan negara lain untuk melakukan deeskalasi dengan menyatakan bahwa dia akan menggunakan seluruh kekuatan yang ada untuk menghancurkan Hezbollah.
Jika sebuah invasi terjadi maka kelompok yang akan menjadi korban terbesar adalah warga sipil Lebanon seperti yang dijelaskan sebelumnya, serangan kuda trojan dan serangan udara yang dilakukan oleh Israel merupakan sebuah pendahuluan bagi perang total. Perang total merupakan sebuah konflik yang mana pihak yang bertempur rela mengerahkan seluruh sumber daya yang mereka miliki untuk mencapai kemenangan penuh atas lawan mereka. Alasan yang mendasari mengapa warga Lebanon menjadi korban terbesar dalam perang tersebut adalah pihak yang berseteru yaitu Hezbollah dan Israel. Di satu sisi terdapat Hezbollah, sebuah organisasi milisi yang diduga menyembunyikan persenjataan mereka di perumahan warga sipil. Di sisi lain terdapat IDF (Israel Defense Forces) yang tidak mempedulikan kemungkinan adanya korban sipil asalkan mereka dapat menghancurkan musuh.
Dalam konteks IDF, hal ini merupakan sesuatu yang tidak mengejutkan karena dalam standar operasi prosedur (SOP) mereka terdapat Protokol/Petunjuk Hannibal. Protokol Hannibal merupakan sebuah prosedur yang pertama kali dikeluarkan IDF pada tahun 1986 untuk mencegah penangkapan prajurit Israel dengan cara apapun agar mereka tidak dapat digunakan sebagai aset dalam negosiasi. Protokol ini memberikan kewenangan bagi prajurit Israel menggunakan kekuatan penuh untuk menghentikan penculikan, bahkan jika hal tersebut berisiko membunuh prajurit yang sedang diculik. Protokol Hannibal digunakan oleh IDF secara ekstensif pada serangan 7 Oktober 2023 yang menyebabkan korban sipil seperti 13 sandera yang tewas setelah tank Merkava menghancurkan rumah yang diduduki oleh Hamas. Implementasi lain dari protokol Hannibal adalah pada saat pasukan Israel diperintahkan untuk memastikan tidak ada kendaraan Hamas yang bisa kembali ke Gaza. Dalam konteks invasi Israel ke Lebanon, terdapat kemungkinan Protokol Hannibal akan digunakan IDF untuk menghancurkan kendaraan yang diduga digunakan oleh Hezbollah untuk mengirimkan pasukan dan persenjataan mereka. Hal ini dapat membahayakan warga sipil Lebanon yang berusaha melarikan diri dari zona perang menggunakan kendaraan mereka karena berdasarkan Protokol Hannibal, kendaraan mereka merupakan sebuah sasaran yang harus dihancurkan.
Selain Protokol Hannibal, aspek lain dari IDF yang membahayakan warga Lebanon adalah Doktrin Dahiya. Doktrin ini mengutamakan penggunaan kekuatan masif untuk menghancurkan infrastruktur sipil yang digunakan oleh musuh Israel. Pelopor dari doktrin tersebut, Gadi Eisenkot menyatakan bahwa siapapun yang menyerang Israel akan dimusnahkan seperti yang terjadi di Komplek Dahieh, Beirut karena berdasarkan perspektif Israel pemukiman manapun yang menembak pasukan atau negara mereka adalah pangkalan militer dan hal tersebut menjustifikasi penggunaan kekuatan masif untuk memusnahkan pemukiman tersebut. Penggunaan Doktrin Dahiyah sendiri telah dilakukan secara konsisten sejak Israel melancarkan invasinya ke Gaza dan hal ini telah menyebabkan ribuan korban sipil akibat dari penggunaan kekuatan masif yang dilakukan oleh IDF. Jika Israel melancarkan invasi mereka ke Lebanon, doktrin ini pasti akan digunakan untuk menekan Hezbollah dan mengurangi kekuatan tempur mereka. Hal ini dapat membahayakan warga sipil karena jika Hezbollah menembakkan sebuah roket atau rudal dari sebuah pemukiman di Lebanon, Israel dapat membalas serangan tersebut dengan memusnahkan pemukiman tersebut tanpa mengkhawatirkan warga sipil yang tidak dapat mengungsi.