Kerja Sama Industri Pertahanan Turki-Indonesia: Mencapai Kemandirian Industri Pertahanan
Pada 26 Agustus 2024, Menteri Pertahanan (Menhan) yang merupakan Presiden RI Terpilih Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Sekretariat Industri Pertahanan Turki (SSB) Haluk Gorgun, membahas tentang kerja sama industri pertahanan antara Indonesia dan Turki. Setelah pertemuan tersebut, Indonesia dan Turki diketahui menandatangani perjanjian kerja sama dengan beberapa perusahaan pertahanan, dengan membeli berbagai macam alat utama sistem senjata (alutsista) canggih.
Lebih lanjut, setelah penandatanganan kerja sama antara Indonesia dan Turki, berbagai badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik swasta (BUMS) yang bergerak di bidang pertahanan seperti PT. PAL, PT. Dirgantara Indonesia (PTDI), dan Republikorp juga menandatangani perjanjian kerja sama dengan perusahaan industri pertahanan Turki seperti Roketsan, Havelsan, dan Aselsan untuk mengembangkan alustista. Selain merupakan aksi nyata dari komitmen Prabowo untuk meningkatkan kerja sama pertahanan, kerja sama dengan Turki merupakan salah satu upaya dalam melaksanakan investasi pertahanan.
Investasi pertahanan merupakan sebuah paradigma baru dalam kebijakan pertahanan Indonesia yang pertama kali disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada pidato nya dalam rangka memperingati Upacara Ulang Tahun TNI ke-76 pada 5 Oktober 2021. Dalam paradigma baru ini, Presiden Joko Widodo meminta agar kebijakan belanja pertahanan yang dilakukan oleh Indonesia saat ini menjadi investasi pertahanan yang bersifat kebijakan jangka panjang, dirancang secara sistematis, serta dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan. Dalam konteks industri pertahahan, investasi pertahanan memiliki tujuan untuk memastikan bahwa dalam proses pembelian pengembangan alutsista, Indonesia dapat diuntungkan secara ekonomi dan dalam seluruh proses pembuatan alutsista.
Sebagai contoh, dalam kerja sama industri pertahanan dengan Turki, dapat dilihat bagaimana Indonesia diuntungkan dalam pembelian drone pengintai ANKA sebanyak 12 buah pada tahun 2023, dimana dalam pembelian drone tersebut, selain dengan mendapatkan transfer of technology, perakitan 6 buah drone dilaksanakan di Indonesia dengan kerja sama antara PTDI dan Turkish Aircraft Industries. Keuntungan yang didapatkan dari kerja sama ini tentu dapat memperkokoh paradigma investasi pertahanan karena selain meningkatkan perekonomian nasional, industri pertahanan Indonesia juga dapat berkembang dengan mempelajari contoh dari Turki.
Dengan mempelajari bagaimana Turki mengembangkan industri pertahanan mereka, dimana sebelumnya Turki memiliki ketergantungan besar terhadap impor alutsista dari Amerika Serikat, Jerman, dan negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) lainnya dalam hal kebutuhan pertahanan mereka, kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Turki yang saat ini dilakukan oleh Menhan Prabowo dapat dikategorikan sebagai bagian dari diplomasi pertahanan yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kemandirian industri pertahanan Indonesia.
Setelah invasi Cyprus pada tahun 1974, Amerika Serikat yang merupakan sekutu dan penyedia alutsista utama Turki pada saat itu memberlakukan embargo persenjataan pada Turki hingga memaksa Turki untuk mengembangkan industri pertahanannya dalam rangka mengurangi ketergantungan alutsista dari Amerika Serikat. Hasil dari pengembangan industri pertahanan ini terlihat pada tahun 2020 di Perang Nagorno-Karabakh dan pada tahun 2022 di Perang Rusia-Ukraina yang mana pada saat itu, drone pengintai dan penyerang TB-2 Bayraktar buatan Baykar berhasil menghancurkan tank, artileri, dan artileri pertahanan udara (arhanud) yang digunakan pasukan Armenia dan Rusia.
Dari hal tersebut, Indonesia dapat belajar banyak dari Turki untuk mengembangkan industri pertahanannya dalam menghadapi permasalahan terkait ketergantungan terhadap impor alutsista. Ketergantungan ini dapat menjadi kelemahan bagi Indonesia karena jika hubungan dengan negara yang menyediakan alutsista tersebut kemudian beralih pada hubungan yang kurang baik, maka mereka dapat melakukan embargo alutsista dan hal tersebut dapat mengurangi kesiapan operasional TNI. Sebagai contoh, Indonesia pernah mendapatkan embargo persenjataan dari Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1991 akibat dari pelanggaran HAM berat di Timor Leste. Embargo tersebut menjadi sebuah wake-up call bagi Indonesia untuk meningkatkan kapasitas industri pertahanannya dalam rangka mencapai kemandirian pertahanan. Akan tetapi, akibat dari berbagai faktor seperti keterbatasan anggaran, tidak adanya economies of scale untuk pengembangan alutsista, dan alokasi anggaran yang minim terhadap research and development, pengembangan alutsista pun belum dapat terlaksana secara optimal.
Kekurangan tersebut merupakan hambatan yang harus dihadapi, karena Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2012 memiliki mandat untuk mengembangkan industri pertahanan agar tidak terlalu bergantung terhadap alutsista dari luar negeri, dan mencapai kemandirian. Adapun pengembangan ini dapat dilakukan dengan dua cara; yang pertama, mengembangkan industri pertahanan secara mandiri dengan menginvestasikan kapital dan sumber daya manusia dalam jumlah besar yang diperkuat dengan komitmen politik tinggi untuk mengembangkan alutsista teknologi tinggi, dan kedua, bekerja sama dengan negara lain melalui diplomasi pertahanan untuk mempelajari bagaimana mereka mengembangkan industri pertahanan dengan berbagai cara seperti transfer of technology and knowledge, licensed production, dan students exchange.
Berdasarkan dinamika yang dihadapi oleh industri pertahanan saat ini, cara pertama mungkin agak sulit untuk dilakukan. Akan tetapi, Indonesia masih bisa merintis dengan menginvestasikan anggaran yang terbatas untuk mengembangkan alutsista atau kapabilitas yang dianggap paling prioritas. Disamping itu, cara kedua adalah yang terlihat dilakukan oleh Indonesia melalui kerja sama yang dilakukannya dengan Turki. Cara ini, walaupun tetap memerlukan komitmen tinggi dan investasi kapital dan sumber daya manusia yang cukup besar, merupakan cara yang lebih cost-effective karena Indonesia dapat mengembangkan industri pertahanan dengan mengikuti bagaimana Turki mengembangkan industri pertahanan mereka serta dengan melakukan kerja sama yang menekankan transfer of knowledge and technology. Walaupun demikian, hal ini merupakan investasi jangka panjang; sehingga perlu dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.