Menimbang Tawaran Kapal China dalam Dinamika Geopolitik dan Pertahanan Indonesia
Ditengah dinamika geopolitik regional yang semakin kompleks, termasuk di kawasan Laut China Selatan, Indonesia terus berupaya melakukan modernisasi militernya dalam memperkuat pertahanan dan memastikan kedaulatan negaranya. Pada saat bersamaan, berdasarkan laporan dari South China Morning Post, delegasi dari China State Shipbuilding Corporation (CSSC) telah beberapa kali mengunjungi Jakarta dalam beberapa bulan terakhir, dengan kunjungan terakhir yang dilaporkan terjadi pada 4 Juli dengan tujuan untuk menawarkan kapal selam diesel-listrik (SSK) S26T dan kapal perusak berpeluru kendali kepada Kementerian Pertahanan Indonesia yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, dengan harga yang lebih rendah.
Menurut Koordinator Penelitian dan Manajer Konsultan Semar Sentinel Indonesia, Anastasia Febiola, tawaran tersebut merupakan perkembangan yang menarik karena Indonesia baru saja menandatangani kontrak senilai USD 2 miliar dengan produsen Prancis Naval Group untuk dua kapal selam baru. PT PAL Indonesia dan Naval Group Prancis akan bersama-sama membangun kapal selam Scorpene berdasarkan kontrak yang telah ditandatangani Maret 2024 silam. Selain kesepakatan tersebut, Indonesia juga mendapatkan persenjataan militernya dari Italia, Swedia, Belgia, Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Indonesia berupaya untuk mendiversifikasi impor pertahanannya untuk menghindari ketergantungan yang berlebihan pada satu pemasok saja.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Verve Research, Natalie Sambi, mengatakan para pembuat keputusan pertahanan dan militer Indonesia biasanya lebih memilih persenjataan canggih Amerika dan Eropa meskipun harganya lebih mahal. Natalie juga menambahkan bahwa selama masa jabatan presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan sejak November 2019, dirinya menunjukkan preferensi terhadap alutsista, khususnya jet tempur dan kapal selam buatan Prancis. Para pengamat melihat bahwa Indonesia dinilai masih bersikap ‘suam-suam kuku’ dalam minatnya mengembangkan kemitraan industri pertahanan dengan Beijing.
Kepentingan Strategis China, serta Tantangan dan Peluang bagi Indonesia
Tawaran China untuk menyediakan kapal perang dan kapal selam kepada Indonesia, khususnya kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dapat dilihat sebagai bagian dari strategi diplomasi militer dan ekonomi China untuk memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara. China memiliki kepentingan strategis di kawasan Asia Tenggara, terutama terkait dengan Laut China Selatan. Dengan menawarkan kapal perang dan kapal selam, China tidak hanya berusaha memperkuat hubungan militer dengan Indonesia, tetapi juga berusaha mempengaruhi keputusan pertahanan Indonesia agar lebih selaras dengan kepentingan China. Tawaran ini dapat dilihat sebagai upaya China untuk menambah leverage terhadap Indonesia dalam isu-isu keamanan regional, serta untuk mencegah Indonesia bergabung terlalu dekat dengan koalisi negara-negara yang kritis terhadap klaim teritorial China di Laut China Selatan.
Bagi Indonesia, menerima tawaran ini dapat memberikan beberapa keuntungan, termasuk peningkatan kapabilitas pertahanan dengan biaya yang relatif terjangkau dibandingkan opsi lainnya. Namun, disamping keuntungan yang mungkin didapatkan, ada pula beberapa tantangan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, ketergantungan pada peralatan militer dari satu negara bisa menjadi risiko strategis jika terjadi ketegangan diplomatik. Kedua, kualitas dan kompatibilitas teknologi China dengan sistem militer Indonesia juga perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, termasuk potensi masalah pemeliharaan dan dukungan teknis jangka panjang. Ketiga, keputusan ini juga dapat mempengaruhi hubungan Indonesia dengan negara-negara lain, terutama mereka yang memiliki posisi berseberangan dengan China dalam isu-isu regional. Penerimaan tawaran ini dapat dilihat sebagai sinyal bahwa Indonesia semakin terbuka terhadap kerjasama militer dengan China, yang mungkin akan menyebabkan kekhawatiran di kalangan negara-negara ASEAN dan mitra-mitra strategis lainnya seperti Amerika Serikat, Australia, dan Jepang. Di sisi lain, Indonesia harus berhati-hati dalam menjaga prinsip kebijakan luar negerinya yang bebas dan aktif (non-aligned) agar tidak terjebak dalam pertarungan geopolitik antara kekuatan besar.
Hal ini akan menjadi menarik kedepannya, melihat Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan RI saat ini sekaligus Presiden terpilih untuk 2024-2029 dalam pembuatan keputusan kebijakan luar negeri; bagaimana Indonesia, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, merespons tawaran China, dengan faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi keputusan kebijakan luar negeri Indonesia.
Secara internal, dinamika politik domestik memainkan peran penting, jika Prabowo melihat bahwa menerima tawaran ini dapat memperkuat posisinya secara politik atau meningkatkan dukungan domestik, Ia mungkin lebih cenderung menyetujui tawaran tersebut. Namun, jika ada tekanan dari oposisi atau pihak lain yang skeptis terhadap China, hal ini bisa mempengaruhi keputusannya. Selain itu, preferensi militer Indonesia yang cenderung lebih menyukai alutsista dari Barat, serta dinamika dalam birokrasi pertahanan, juga akan memengaruhi proses pengambilan keputusan. Dalam konteks ekonomi, keterbatasan anggaran pertahanan juga menjadi pertimbangan penting, karena tawaran dari China yang lebih murah bisa menjadi solusi yang menarik meskipun ada kekhawatiran tentang kualitas dan ketergantungan jangka panjang.
Sedangkan dari sisi eksternal, hubungan Indonesia dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara ASEAN sangat mempengaruhi keputusan ini. Indonesia harus mempertimbangkan bagaimana keputusan untuk menerima tawaran China dapat mempengaruhi hubungan diplomatiknya dengan negara-negara tersebut, terutama jika langkah ini dianggap sebagai pergeseran yang lebih dekat ke arah Beijing. Selain itu, stabilitas regional di kawasan Laut China Selatan juga menjadi pertimbangan, karena peningkatan kerjasama militer dengan China bisa memperkuat posisi Beijing di kawasan tersebut, yang berpotensi menimbulkan ketegangan lebih lanjut dengan negara-negara ASEAN lainnya. Tekanan internasional dari negara-negara Barat dan komunitas global juga bisa berperan, karena mereka mungkin khawatir keputusan ini akan memperkuat pengaruh militer China di Asia Tenggara. Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, Indonesia harus menyeimbangkan kepentingan nasional, stabilitas domestik, dan dampak geopolitik dalam mengambil keputusan terkait tawaran militer dari China. Keputusan untuk menerima atau menolak tawaran ini harus dipertimbangkan dengan cermat, memperhitungkan kepentingan jangka panjang dalam bidang keamanan, diplomasi, stabilitas regional, serta pertimbangan atas risiko ketergantungan teknologi, implikasi geopolitik, dan dampak terhadap hubungan dengan negara-negara lain juga harus menjadi bagian dari evaluasi menyeluruh sebelum mengambil keputusan.