Kematian Haniyeh dan Shukr Memperkuat Kelompok, Apa Arti Kebijakan Luar Negeri Israel?
Kematian Ismail Haniyeh di Teheran merupakan kehilangan besar bagi organisasi politik Hamas. Pemimpin Hamas Khaled Meshaal menegaskan pembunuhan terhadap Ismail Haniyeh tidak akan membuat kelompok itu melemah atau mengakui Israel. Sebaliknya, kejadian itu justru “Hanya memperkuat rakyat kami,” “Kami tidak akan berkompromi pada prinsip dan tidak akan mengakui Israel. Rakyat kami akan mempertahankan persatuan nasional kami, melanjutkan jalan jihad, perlawanan, dan menuntut kembali hak-hak kami,” kata Meshall.
Haniyeh tewas pada hari Rabu di sebuah wisma di Teheran, ibu kota Iran. Hamas dan Iran telah menyalahkan Israel atas pembunuhan ini, namun Tel Aviv belum memberikan konfirmasi atau bantahan resmi.
Menurut Meshall, Israel tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu. Meskipun terus menyerang dan membunuh pemimpin-pemimpin kelompok mereka, Israel tidak pernah mencapai hasil yang diinginkan. “Setiap kali seorang pemimpin gugur, pemimpin lain segera bangkit, hanya memperkuat tekad rakyat kami,” ujarnya.
Disamping itu, wakil pemimpin Hamas, Khalil al-Hayya, yang dianggap sebagai calon penerus Haniyeh, juga mengatakan dengan yakin bahwa kepergian Haniyeh akan menjadi momentum kebangkitan bagi bangsa Palestina. “Kami percaya bahwa pengorbanan Haniyeh akan membawa kemenangan, kehormatan, dan kebebasan,” kata Al-Hayya, Jumat (2/8).
Pembunuhan Haniyeh terjadi beberapa jam setelah komandan Hizbullah Fuad Shukr tewas dalam serangan udara Israel di pinggiran selatan Beirut. Situasi ini kemudian meningkatkan kekhawatiran akan perang besar antara Israel dan Hizbullah di tengah serangan lintas perbatasan antara kedua belah pihak.
Keputusan serangan ke Lebanon muncul di tengah pasukan Israel dan kelompok Hizbullah di Lebanon yang terlibat baku tembak lintas batas.
Kelompok Hizbullah Lebanon yang merupakan sekutu Hamas ini telah terlibat baku tembak dengan Israel hampir setiap hari sejak 7 Oktober 2023 lalu. Menurut Guru Besar Kajian Timur Tengah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ibnu Burdah, “Gangguan atau serangan saling balas kecil-kecilan, tapi rutin dan makin intens itu yang membuat Israel marah, dan memutuskan untuk melakukan serangan lebih taktis terhadap kawasan Lebanon.” Puncak serangan Israel terjadi ketika Militer Israel mengatakan pada Selasa (30/7) bahwa pihaknya melancarkan sebuah serangan ke ibu kota Beirut, Lebanon, untuk menarget komandan kelompok militan, dan berujung menewaskan Fuad Shukr.
Dapat kita lihat bahwa dalam konteks konflik dengan Hizbullah, Israel mengadopsi pendekatan dengan fokus pada eliminasi ancaman potensial melalui serangan terhadap pemimpin-pemimpin kunci kelompok, termasuk Hizbullah. Tindakan ini dimaksudkan untuk melemahkan struktur komando dan mengurangi kemampuan operasional mereka. Namun, respons dari Hizbullah menunjukkan bahwa serangan ini sering kali memicu mobilisasi dan perlawanan lebih lanjut, yang mungkin tidak mencapai tujuan akhir yang diharapkan Israel. “Shukr mati syahid di jalan menuju Yerusalem,” dan menjadi “simbol utama perlawanan” terhadap Israel, kata Hizbullah.
Dengan membunuh pemimpin kelompok, Israel mungkin mencoba mencegah serangan lebih lanjut dengan menunjukkan kemampuan dan kemauan untuk melakukan tindakan balasan yang keras. Namun, jika kebijakan ini tidak disertai dengan upaya diplomasi dan penyelesaian konflik yang komprehensif, serangan balasan ini hanya memperkuat tekad perlawanan kelompok tersebut dan meningkatkan siklus kekerasan. Pembunuhan pemimpin seperti Fuad Shukr bisa dilihat sebagai bagian dari hard diplomacy Israel untuk menekan kelompok-kelompok ini agar menghentikan aktivitas militan mereka. Namun, tanpa adanya soft diplomacy yang bertujuan membangun dialog dan penyelesaian konflik yang damai, kebijakan ini dapat gagal mencapai stabilitas jangka panjang dan hanya memperkeruh situasi.
Kebijakan luar negeri Israel terhadap Hizbullah dan juga Hamas menunjukkan tantangan dalam menghadapi aktor non-negara yang tidak mudah diintimidasi atau dikalahkan melalui kekuatan militer konvensional. Hizbullah dan Hamas memiliki struktur yang fleksibel dan dukungan dari sebagian populasi, yang membuat mereka mampu bertahan dan beradaptasi meskipun mengalami serangan berat. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri yang efektif harus mempertimbangkan dinamika kompleks ini dan mungkin memerlukan pendekatan yang lebih inovatif dan multi-dimensi.
Kebijakan agresif Israel terhadap Hizbullah dan Hamas mungkin juga dipengaruhi oleh tekanan politik domestik untuk menunjukkan tindakan tegas terhadap ancaman keamanan, dimana tidak dapat dipungkiri bahwa kedua kelompok telah mengancam keamanan Israel dan sebagai negara yang berdaulat, Israel mencoba menjaga keamanan nasionalnya. Oleh karena itu, pemimpin politik di Israel mungkin merasa perlu mempertahankan citra kuat di mata publik dan koalisi politiknya dengan melakukan serangan terhadap pemimpin-pemimpin kelompok tersebut, namun, kebijakan tetap perlu dievaluasi tidak hanya dari segi respons militan tetapi juga dampaknya terhadap stabilitas politik domestik dan regional.
Hasil dari kebijakan luar negeri tidak selalu sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Israel dihadapkan dengan kelompok yang justru memperkuat tekad perlawanan dan sayangnya pada akhirnya akan saling merugikan satu sama lain. Kebijakan yang lebih efektif mungkin memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, yang mencakup diplomasi dan upaya penyelesaian konflik yang lebih luas, dari masing-masing pihak.
ibomma
August 8, 2024 @ 10:35 pm
I just could not depart your web site prior to suggesting that I really loved the usual info an individual supply in your visitors Is gonna be back regularly to check up on new posts