Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC) mengkonfirmasi kematian Ismail Haniyeh, pemimpin kelompok Hamas, hanya beberapa jam setelah Israel menyatakan mereka sudah membunuh komander Hizbollah di Beirut.
Pembunuhan ganda ini merupakan pukulan berat bagi Hamas dan Hizbullah, terutama bagi Iran, yang mendukung kedua kelompok tersebut dan telah bersumpah untuk membalas dendam. Peristiwa ini memicu kekhawatiran bahwa perang di Gaza dapat meningkat menjadi konflik regional yang lebih luas.
Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh media Iran, mereka menyatakan bahwa Iran akan “mempertahankan integritas teritorial, martabat, kehormatan, dan kebanggaannya, dan akan membuat penjajah teroris menyesali tindakan pengecut mereka.”
Seorang pejabat senior Hamas menggambarkan pembunuhan Haniyeh sebagai “tindakan pengecut yang tidak akan luput dari hukuman.” Mediator Qatar dan Mesir juga memperingatkan bahwa pembunuhan ini akan semakin menghambat pembicaraan mengenai gencatan senjata dan kesepakatan untuk membebaskan para sandera yang ditahan di Gaza.
Meski tidak ada yang segera mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, namun kecurigaan dengan cepat tertuju pada Israel, yang sebelumnya telah bersumpah untuk membunuh Haniyeh dan para pemimpin Hamas lainnya setelah serangan kelompok tersebut terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober yang menyulut perang di Gaza. Selain itu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa AS “tidak mengetahui atau terlibat dalam” pembunuhan Haniyeh.
Pasca insiden ini, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Israel “akan membayar mahal setiap agresi terhadap kami dari sisi manapun.” Pernyataan ini menjadi pernyataan publik pertamanya sejak pembunuhan pemimpin politik utama Hamas tersebut.
Hamas dan Iran dengan cepat menyalahkan Israel atas pembunuhan tersebut yang berisiko meningkat menjadi perang regional. Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengutuk pembunuhan Haniyeh, menyebutnya sebagai “tindakan pengecut” dan mendesak warga Palestina untuk bersatu melawan Israel.
“Presiden Mahmoud Abbas dari Negara Palestina mengutuk keras pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, dan menganggapnya sebagai tindakan pengecut dan eskalasi yang serius,” kata Abbas dalam sebuah pernyataan.
Siapa Haniyeh?
Haniyeh terpilih sebagai kepala biro politik Hamas pada tahun 2017, menggantikan Khaled Mashaal. Dia telah memantapkan dirinya sebagai tokoh terkemuka, setelah menjabat sebagai perdana menteri Palestina pada tahun 2006 setelah kemenangan tak terduga Hamas dalam pemilihan parlemen tahun itu. Selama konflik Gaza yang sedang berlangsung, ia melakukan misi diplomatik ke Iran dan Turki, di mana ia bertemu dengan presiden kedua negara tersebut.
Haniyeh dikenal memiliki hubungan yang kuat dengan para pemimpin dari berbagai faksi Palestina, termasuk faksi-faksi yang bersaing dengan Hamas. Sejak meninggalkan Jalur Gaza pada tahun 2019, ia tinggal di Qatar. Tokoh Hamas terkemuka di Gaza adalah Yahya Sinwar, yang mendalangi serangan 7 Oktober.
Pada bulan April, serangan udara Israel di Gaza mengakibatkan kematian tiga putra Haniyeh dan empat cucunya. Haniyeh menyatakan bahwa pembunuhan ini tidak akan memaksa Hamas untuk melunakkan pendiriannya dalam negosiasi gencatan senjata yang sedang berlangsung dengan Israel.