Delegasi level menengah Taliban, Afghanistan, dikabarkan berkunjung ke Indonesia dan dilaporkan berlangsung pada pertengahan Juli lalu. Hal ini dikonfirmasi oleh Juru Bicara Kementerian Luar RI Negeri Teuku Faizasyah, bahwa aktifitas itu memang benar terjadi.
“Kami mengantisipasi proses rekonsiliasi internal, proses demokratisasi yang lebih besar, dan akses pendidikan yang lebih baik bagi perempuan,” kata Faizasyah. Dikatakan bahwa Taliban berada di Jakarta untuk “kegiatan internal dengan misi mereka” dan bahkan tidak bertemu dengan kementerian luar negeri, kata Faizasyah kepada Nikkei Asia.
Kantor berita AFP juga melaporkan bahwa pihak Afghanistan mengonfirmasi telah melakukan pertemuan dengan politisi di ibu kota RI. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Afghanistan, Hafiz Zia disebut memimpin delegasi dan mempublikasikannya di Twitter. “Delegasi mengadakan pertemuan dan diskusi yang bermanfaat dengan beberapa cendekiawan, politisi, dan pengusaha di Indonesia,” tulisnya dimuat media tersebut
Selain bertemu dengan pejabat dari Indonesia, pihak Taliban juga bertemu dengan duta besar dari negara lain seperti Sri Lanka, Bangladesh, dan juga Singapura, dilansir dari media Afghanistan, Tolo News. Kunjungan itu, kata para analis, merupakan upaya Taliban “untuk mendapatkan dukungan untuk pengakuan internasional dan menarik investasi asing di Afghanistan untuk menopang ekonominya yang hancur” setelah diambil alih oleh Taliban.
Kepemimpinan Taliban menganggap legitimasi internasional sebagai “baik untuk dimiliki tetapi tidak harus dimiliki,” kata Nishank. “Perbedaan itu sangat penting untuk memahami motif mereka untuk jangkauan internasional mereka, yaitu untuk menopang ekonomi yang gagal untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka daripada membantu warga Afghanistan.”
Sebagai “negara” yang belum diakui, tentu Afghanistan Taliban kesulitan untuk menjalankan pemerintahannya, khususnya untuk menjalankan kepentingan nasional mereka di ranah internasional. Terlebih dengan kondisi ekonomi yang buruk, Taliban tidak dapat menjadi negara yang sepenuhnya terisolir seperti Korea Utara—yang bahkan memiliki hubungan erat dengan China—Taliban membutuhkan teman atau setidaknya mitra untuk menjadi peluang peningkatan kesejahteraan negaranya.
Hal ini terjadi karena geopolitik baru tatanan dunia cenderung bersifat ekonomis dalam arti direstrukturisasi sesuai dengan kekuatan pasar global. Kondisi telah memaksa Taliban, atau membuatnya merubah pola pikir yang sangat konservatif untuk mencari dukungan. Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam sepertinya menjadi pilihan yang aman untuk Taliban memperluas aktifitas internasionalnya.
Taliban percaya ada kelompok-kelompok Islam di negara-negara Muslim – termasuk Indonesia dan Malaysia – yang dapat dibujuk untuk mendengarkan cerita dari sisi mereka dan “mungkin diyakinkan” untuk melobi pemerintah mereka masing-masing untuk mendukungnya, kata Faran Jeffery, wakil direktur dan kepala divisi terorisme Asia Selatan di wadah pemikir Islamic Theology of Counter Terrorism yang berbasis di Inggris.