Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Kebijakan ini diumumkan pada tanggal 15 Mei 2023 sebagai langkah terpadu yang mencakup perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan terhadap sedimentasi di perairan laut.
Presiden Jokowi mengemukakan alasan utama di balik kebijakan ini, yaitu untuk meningkatkan kesehatan laut. Aturan ini dirancang dengan tujuan melindungi dan melestarikan lingkungan laut, serta mendukung keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesehatan ekosistem laut.
Salah satu ketentuan dalam kebijakan ini adalah izin ekspor pasir laut ke luar negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat Bab IV butir 2, di mana pemanfaatan pasir laut dapat digunakan untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan infrastruktur oleh sektor swasta, dan ekspor.
Persyaratan izin ekspor pasir laut, terutama bagi pelaku usaha
Meskipun izin ekspor pasir laut diberikan, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Misalnya, izin usaha pertambangan untuk penjualan harus diperoleh dari menteri yang bertanggung jawab dalam urusan mineral dan batubara, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 10 Ayat 4. Izin pemanfaatan pasir laut juga dapat diperoleh dari gubernur berdasarkan kewenangannya setelah melalui evaluasi oleh tim kajian dan memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan. Pelaku usaha yang mengajukan permohonan izin harus bergerak dalam bidang pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 11, pelaku usaha wajib memastikan kelangsungan hidup dan penghidupan masyarakat di sekitar lokasi pembersihan, menjaga keseimbangan pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta memberikan akses kepada masyarakat sekitar lokasi pembersihan.
Selain itu, pelaku usaha juga diwajibkan melaporkan volume pengangkutan dan penempatan pasir laut yang telah direalisasikan di tempat tujuan pengangkutan. Laporan ini harus disampaikan oleh nakhoda kapal pengangkut kepada Kementerian.
Pelaporan volume pengangkutan dan penempatan tersebut harus dilakukan setiap tujuh hari melalui e-logbook pengangkutan hasil sedimentasi di laut. Rincian lebih lanjut mengenai pelaporan ini diatur dalam Peraturan Menteri. Pengekspor pasir laut harus menggunakan awak kapal yang memiliki kewarganegaraan Indonesia. Namun, jika tidak tersedia awak kapal yang memiliki kewarganegaraan Indonesia, diizinkan menggunakan awak kapal asing sesuai kebutuhan, dengan syarat harus mendapatkan persetujuan dari menteri.
Sebelumnya dilarang, kini diperbolehkan
Sejak tahun 2003, pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan larangan total terhadap ekspor pasir laut melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Keputusan tersebut, yang ditandatangani oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Sumarno pada tanggal 28 Februari 2003 saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, mengemukakan alasan pelarangan ekspor tersebut untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.
Salah satu kerusakan lingkungan yang disebutkan adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil, terutama di sekitar daerah terluar batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau, sebagai akibat dari penambangan pasir laut.
Selain itu, alasan lain yang dicantumkan dalam SK tersebut adalah belum teraturnya batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura. Proyek reklamasi di Singapura yang menggunakan pasir laut dari perairan Riau juga dikhawatirkan dapat mempengaruhi penetapan batas wilayah antara kedua negara.
“Penghentian ekspor pasir laut seperti yang dijelaskan dalam ayat (1) akan dievaluasi kembali setelah tersusunnya program pencegahan kerusakan terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil, serta setelah penyelesaian penetapan batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura,” demikian disebutkan dalam SK tersebut.
Menurut laporan dari Harian Kompas, eksploitasi pasir laut di Kepulauan Riau menjadi sangat populer karena tingginya permintaan pasir laut. Mulai dari tahun 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepulauan Riau dieksploitasi untuk keperluan reklamasi di Singapura.
Volume ekspor pasir ke Singapura mencapai sekitar 250 juta meter kubik per tahun. Meskipun pasir dijual dengan harga 1,3 dollar Singapura per meter kubik, sebenarnya harga tersebut seharusnya bisa lebih tinggi, yaitu sekitar 4 dollar Singapura per meter kubik. Dengan selisih harga tersebut, Indonesia mengalami kerugian sekitar 540 juta dollar Singapura atau setara dengan Rp 2,7 triliun per tahun.
Meski pemerintah berargumen bahwa keputusan ini akan menghasilkan pendapatan yang sangat dibutuhkan, namun para aktivis berpendapat bahwa hal ini akan memperburuk degradasi ekosistem laut yang penting bagi negara.
Pengkampanye laut dari Greenpeace Indonesia, Afdillah, mengatakan bahwa peraturan ini merupakan upaya greenwashing, karena pemerintah memperlakukan ekspor pasir sebagai kegiatan konservasi untuk mengendalikan sedimentasi laut. Afdillah mengatakan bahwa langkah “cepat dan mudah” ini untuk mendapatkan pendapatan akan “melanggar hak ekosistem, masyarakat pesisir, dan nelayan”. Kurangnya pengawasan yang memadai dari pemerintah akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih besar, tambahnya.