Kapal induk China, Shandong telah melakukan latihan intensif di Laut China Selatan (LCS) setelah Angkatan Laut AS mengirim kapal induknya USS Nimitz ke wilayah tersebut minggu lalu. Berdasarkan laporan dari South China Morning Post, armada China tersebut memiliki kapal perusak rudal siluman Tipe 055 dan tiga kapal perusak rudal.
Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA Navy) China menyatakan bahwa latihan yang juga melibatkan penerbangan pesawat tempur J-15 tersebut berorientasi pada pertempuran realistis di wilayah LCS. Latihan yang dilakukan yakni latihan serangan dan pertahanan di permukaan, di udara, dan di bawah air.
Sebelumnya dilansir dari CNN, pejabat pertahanan AS mengatakan terdapat dua kapal China sudah membuntuti kelompok AS, yang terdiri dari kapal induk, kapal penjelajah rudal, dan tiga kapal perusak rudal tersebut.
Kelompok Tempur Kapal Induk atau Nimitz Carrier Strike Group dari AS memasuki Laut China Selatan untuk pertama kalinya guna memperkuat kehadirannya di kawasan dan menghalau kekuatan militer China yang juga sedang membuat modernisasi cepat, termasuk dalam kemampuan nuklirnya sendiri.
Perbedaan persepsi dalam melihat intensi negara
Analis militer China, Zhou Chenming, menyatakan terdapat sebuah pesawat mata-mata Boeing RC-135 milik AS yang melakukan penerbangan pengintaian jarak dekat di dekat kota Shanghai dan Qingdao di Tiongkok timur pada 7 Januari lalu, menurut Zhou Chenming.
Chenming menilai, akan sulit bagi Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) untuk memprediksi motivasi tindakan provokatif militer AS tersebut karena kedua negara juga belum menyelesaikan perbedaan pandangan atas tatanan maritim. Terutama dengan kejadian baru-baru mengenai adanya dua jet tempur PLA J-11 dan pesawat mata-mata AS di atas Laut China Selatan yang membuat kedua belah pihak saling menyalahkan.
Zhou menyatakan bahwa Amerika Serikat dapat melakukan kebebasan latihan navigasi dan penerbangan di wilayah tersebut tanpa batasan karena mereka belum menandatangani Konvensi PBB tentang Hukum Laut, yang menganggap perairan sebagai bagian dari zona ekonomi eksklusif China.
Tindakan kedua negara di wilayah LCS membuat tensi di di wilayah tersebut semakin meningkat, dan hanya akan memunculkan ketidakpercayaan dan perlombaan senjata di wilayah LCS. Kondisi ini tentunya tidak berdampak positif pada negara-negara di wilayah LCS, termasuk Indonesia yang mendukung kestabilan dan perdamaian di wilayah Indo Pasifik.