Indonesia melalui Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali pada Sabtu (14/1) mengonfirmasi bahwa pihaknya telah mengerahkan kapal perang ke Laut Natuna Utara. Upaya ini dilakukan guna memantau pergerakan kapal penjaga pantai China yang sudah secara aktif lalu lalang di wilayah dengan penuh sumber daya alam tersebut.
Indonesian Ocean Justice Initiative menyatakan bahwa berdasarkan data pelacakan kapal, terlihat kapal China Coast Guard atau CCG 5901 sudah berlayar di Laut Natuna, khususnya dekat ladang gas Blok Tuna dan ladang minyak serta gas Chim Sao Vietnam sejak 30 Desember 2022 lalu.
Kapal CCG 5901 merupakan kapal patroli terbesar di dunia, yang bahkan mengalahkan besarnya kapal cruiser kelas Ticonderoga milik Angkatan Laut Amerika Serikat, dan kepala penghancur rudal Arleigh Burke AS.
Dikutip dari Reuters, hingga saat ini, juru bicara kedutaan China di Jakarta masih enggan untuk berkomentar mengenai isu tersebut.
Selain mengirimkan sebuah kapal laut perang, Indonesia juga mengirimkan pesawat patroli dan drone untuk memantai aktivitas kapal patroli China tersebut. Muhammad Ali menilai hingga saat ini menilai Kapal China belum melakukan aktivitas yang mencurigakan, namun tetap perlu dipantau karena berada di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
Perlu digarisbawahi, pemantauan ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tentang hak bernavigasi.
Klaim China atas wilayah teritorialnya
Sebelumnya, aktivitas disekitar Natuna sesuai dengan perjanjian antara Indonesia dan Vietnam, serta persetujuan dari Indonesia untuk mengembangkan ladang gas Tuna di Laut Natuna dengan perkiraan total investasi lebih dari 3 miliar dollar AS hingga dimulainya produksi.
Namun di tahun 2021, kapal-kapal dari Indonesia dan China saling mengawasi di dekat anjungan munyak minyak yang melakukan observasi sumur di blok Tuna, di mana China mendesak Indonesia untuk menghentikan pengeboran dengan dasar wilayah kepemilikan China.
Indonesia dengan dasar hukum UNCLOS menilai ujung selatan Laut China Selatan adalah ZEE Indonesia, sehingga diberi nama Laut Natuna Utara pada 2017. Namun, China menolak pernyataan Indonesia menggunakan klaim teritorial ‘garis sembilan putus-putus’ atau Nine-Dash Line berbentuk U, yakni batas menurut Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag yang pada tahun 2016 tidak memiliki dasar hukum.
Kompleksitas permasalahan di Laut Natuna disoroti oleh pakar hubungan internasional Shafiah Muhibat yang menilai minimnya diskusi mengenai isu Laut China Selatan oleh Menlu RI Retno Marsudi. Muhibat menilai bahkan isu ini tidak disoroti dalam keketuaan ASEAN pada 2023 ini, padahal selama ini Indonesia memiliki peran penting dalam negosiasi Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan.