Pada 16 Januari 1991, di tengah malam adalah batas waktu PBB untuk penarikan Irak dari Kuwait, dan Amerika Serikat bersiap untuk memulai operasi ofensif untuk secara paksa mengeluarkan Irak dari pendudukan selama lima bulan di tetangganya yang kaya minyak.
Penarikan pasukan Irak itu tidak terjadi, hingga pada pukul 16:30 waktu setempat, pesawat tempur pertama diluncurkan dari Arab Saudi dan lepas landas dari kapal induk AS dan Inggris di Teluk Persia dalam misi pengeboman di Irak. Sepanjang malam, pesawat dari koalisi militer pimpinan AS menggempur wilayah di sekitar Bagdad.[1]
Pada pukul 19.00, Operasi Badai Gurun, nama kode untuk serangan besar-besaran pimpinan AS terhadap Irak, secara resmi diumumkan di Gedung Putih dalam sebuah pidato dari Oval Office, mengumumkan dimulainya Operasi Badai Gurun. Serangan itu menampilkan pengeboman presisi “terkejut dan kagum” di Baghdad oleh pesawat siluman bermesin ganda F-117 Nighthawk AS.[2]
Operasi itu dilakukan oleh koalisi internasional di bawah komando Jenderal AS Norman Schwarzkopf dan menampilkan pasukan dari 32 negara, termasuk Inggris, Mesir, Prancis, Arab Saudi, dan Kuwait. Selama enam minggu berikutnya, pasukan sekutu terlibat dalam perang udara besar-besaran melawan infrastruktur militer dan sipil Irak, dan menghadapi sedikit perlawanan efektif dari angkatan udara Irak.
Pasukan darat Irak tidak berdaya selama tahap perang ini, dan satu-satunya tindakan pembalasan yang signifikan dari pemimpin Irak, Saddam Hussein adalah peluncuran serangan rudal SCUD terhadap Israel dan Arab Saudi.[3] Rudal SCUD pertama kali dikembangkan oleh Soviet pada pertengahan 1960-an. Awalnya dirancang untuk membawa hulu ledak nuklir atau hulu ledak konvensional yang memiliki potensi untuk menahan senjata pemusnah massal.
Ketika Saddam Hussein menginvasi Kuwait pada Agustus sebelumnya, Bush berpendapat bahwa usahanya tidak akan bertahan lama. Hal ini juga mendapat dukungan dari Margaret Thatcher, perdana menteri Inggris, yang mengatakan kepadanya melalui telepon tiga minggu setelah invasi Irak dimulai.[4]
Pada tanggal 24 Februari, serangan darat koalisi besar-besaran dimulai, dan angkatan bersenjata Irak yang ketinggalan zaman dan kekurangan pasokan dengan cepat kewalahan.[5] Kuwait dibebaskan dalam waktu kurang dari empat hari, dan mayoritas angkatan bersenjata Irak menyerah, mundur ke Irak, atau dihancurkan. Pada 26 Februari, pasukan Irak mulai berangkat dari Kuwait, setelah mereka membakar 737 sumur minyaknya.[6]
Dua hari setelahnya, Presiden AS, George H.W. Bush mengumumkan gencatan senjata, dan Irak berjanji untuk menghormati koalisi masa depan dan persyaratan perdamaian PBB. Konvoi besar-besaran pasukan Irak yang mundur terbentuk di sepanjang jalan raya utama Irak-Kuwait. Meskipun orang Irak mundur, mereka dibom begitu banyak sehingga eksodus mereka dikenal sebagai “Jalan Raya Kematian”.[7] Secara keseluruhan, 125 tentara AS dari 540.000 yang dikerahkan untuk konflik tersebut tewas, dengan 25 lainnya dinyatakan hilang dalam peperangan tersebut.[8]
Pada Peringatan 30 Tahun Perang Teluk 1991, banyak yang cenderung merenungkan secara spesifik kampanye militer dengan pemikiran khusus tentang bagaimana hal itu menandai titik balik bersejarah yang membentuk kembali paradigma perang udara yang trerinspirasi oleh ahli teori Kekuatan Udara dan mantan Kolonel Angkatan Udara AS John Warden, “effects-based warfare”.
Strategi ini bertumpu pada konsep dimana target taktis khusus untuk mencapai “efek besar” medan perang, seperti melumpuhkan jalur pasokan, komando dan kontrol, kantor pusat, dan target bernilai tinggi lainnya.[9] Hal inini dilakukan dengan menggunakan serangan presisi dari udara, untuk menghindari kerusakan besar pada area yang diserang.
Penyempurnaan lebih lanjut dari teori udara strategis ini terjadi pada Perang Teluk, dimana operasi Badai Gurun berlangsung. Warden menarik beberapa pelajaran dari Perang Teluk yang akan memengaruhi pemikirannya. Di antara yang paling menonjol adalah:[10]
- Pentingnya serangan strategis dan kerapuhan negara di tingkat strategis.
- Akibat fatal dari hilangnya superioritas udara strategis dan operasional.
- Efek luar biasa dari peperangan paralel.
- Nilai persenjataan siluman dan presisi dalam mendefinisikan kembali prinsip massa dan kejutan.
- Dominasi kekuatan udara sebagai kekuatan kunci di sebagian besar
Strategi semacam ini, effects-based warfare telah mengilhami penggunaan serangan udara presisi dan telah menjadi taktik serangan udara selama bertahun-tahun, termasuk hal-hal seperti pengeboman landasan pacu dan jalan raya untuk mencegah musuh dapat mengirimkan pasukan untuk serangan itu.[11]
[1] “The Persian Gulf War begins”, History, https://www.history.com/this-day-in-history/the-persian-gulf-war-begins
[2] “Persian Gulf War begins, Jan. 16, 1991”, Politico, https://www.politico.com/story/2019/01/16/this-day-in-politics-january-16-1098796
[3] “History Flashback: How Iraq Used Russian-Made Scud Missiles During The Gulf War “, Shafaq, https://shafaq.com/en/Economy/History-Flashback-How-Iraq-Used-Russian-Made-Scud-Missiles-During-The-Gulf-War
[4] Op. Cit., Politico
[5] Op. Cit., History
[6] Op. Cit., Politico
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Kris Osborn, “These are the Most Important Tactics Implemented During the Gulf War”, National Interest, https://nationalinterest.org/blog/these-are-most-important-tactics-implemented-during-gulf-war-178253
[10] John Boyd and John Warden Air Power’s Quest for Strategic Paralysis, David S. Fadok, School of Advanced Airpower Studies, https://media.defense.gov/2017/Dec/27/2001861508/-1/-1/0/T_0029_FADOK_BOYD_AND_WARDEN.PDF
[11] Op. Cit., Osborn
polototo
September 14, 2023 @ 2:47 pm
These are actually fantastic ideas in on the topic of
blogging. You have touched some pleasant points
here. Any way keep up wrinting.