Tingkat penjualan senjata dan layanan militer oleh 100 perusahaan pertahanan terbesar dunia naik 1,9 persen menjadi $592 miliar pada tahun 2021 meskipun masalah rantai pasokan yang menghambat pengiriman komponen penting, menurut data baru dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).[1]
Peningkatan tersebut, meningkat 1,1 persen dari penjualan pada 2019-2020, menandai tahun ketujuh berturut-turut peningkatan penjualan senjata global, menurut laporan tersebut pada yang dirilis pada awal Desember 2022.[2] Menurut laporan tersebut, rantai pasokan mulai terhambat sejak tahun lalu dan diperkirakan akan memburuk akibat perang Ukraina. SIPRI mengatakan masalah rantai pasokan terus menghambat perdagangan pada 2021 dan kemungkinan akan menjadi lebih buruk akibat perang Ukraina.
“Baik perusahaan senjata yang lebih besar dan lebih kecil mengatakan bahwa penjualan mereka terpengaruh sepanjang tahun. Beberapa perusahaan, seperti Airbus dan General Dynamics, juga melaporkan kekurangan tenaga kerja.” kata Lucie Béraud-Sudreau, direktur Program Pengeluaran Militer dan Produksi Senjata SIPRI.[3]
Untuk negara-negara Barat, tercatat bahwa Rusia merupakan pemasok signifikan bahan mentah yang digunakan dalam produksi senjata. “Ini dapat menghambat upaya yang sedang berlangsung di Amerika Serikat dan Eropa untuk memperkuat angkatan bersenjata mereka dan untuk mengisi kembali persediaan mereka setelah mengirimkan amunisi dan peralatan lain senilai miliaran dolar ke Ukraina,” tambah Sudreau.[4]
Tetapi Rusia, yang meningkatkan produksi karena perang, juga terpengaruh karena sanksi terkait perang yang mempersulit pabrikan di sana untuk mengakses semikonduktor dan menerima pembayaran untuk pengiriman mereka.[5]
Di sisi lain, perusahaan di Amerika Serikat mendominasi daftar dengan penjualan 40 perusahaan AS dalam daftar dengan total $299 miliar pada tahun 2021, menurut SIPRI, meskipun penjualan sedikit lebih rendah secara riil sebagai akibat dari inflasi yang tinggi. Melanjutkan pola yang ditetapkan pada 2018, lima perusahaan di bagian atas daftar semuanya berbasis di AS: Lockheed Martin, Raytheon Technologies, Boeing, Northrop Grumman, dan General Dynamics.
Tetapi laporan tersebut juga mencatat lonjakan besar dalam penjualan dari produsen China, dengan delapan perusahaan senjata China dalam daftar tersebut memiliki total penjualan senjata sebesar $109 miliar, meningkat 6,3 persen dari tahun sebelumnya. “Ada gelombang konsolidasi dalam industri senjata China sejak pertengahan 2010-an,” kata Xiao Liang, seorang peneliti SIPRI, dalam sebuah pernyataan.[6] Bahkan pada tahun 2021 perusahaan CSSC yang dimerger dengan CSIC China menjadi pembuat kapal militer terbesar di dunia dengan penjualan senjata sebesar $11,1 miliar.[7]
Pabrikan Korea Selatan juga melihat pertumbuhan penjualan di atas rata-rata, dengan empat perusahaan dalam daftar SIPRI melaporkan penjualan gabungan 3,6 persen di atas tahun sebelumnya sebesar $7,2 miliar, dipimpin oleh produsen mesin Hanwha Aerospace. Penjualannya melonjak 7,6 persen menjadi $2,6 miliar dan diharapkan tumbuh secara signifikan di tahun-tahun mendatang setelah menandatangani kesepakatan senjata besar dengan Polandia awal tahun ini.
Grup Penerbangan Dassault Prancis juga mencatat pertumbuhan yang kuat, dengan penjualan naik 59 persen menjadi $6,3 miliar pada tahun 2021, didorong oleh pengiriman 25 pesawat tempur Rafale. Ada 27 perusahaan dengan kantor pusat di Eropa dalam 100 teratas; penjualan senjata gabungan mereka meningkat sebesar 4,2 persen mencapai $123 miliar.
Sedangkan enam perusahaan Rusia di 100 teratas melihat penjualan mereka naik tipis 0,4 persen menjadi $17,8 miliar. Hal ini dikarenakan adanya tanda-tanda stagnasi di seluruh industri senjata Rusia. “Ada tanda-tanda stagnasi meluas di seluruh industri senjata Rusia,” kata laporan itu. Pembaruan tahun ini mencatat bahwa perusahaan ekuitas swasta tampaknya membeli lebih banyak perusahaan senjata, yang dapat menimbulkan risiko transparansi karena mereka tidak diharuskan untuk terbuka tentang keuangan mereka seperti perusahaan publik.[8]
Akan ada invasi militer lainnya?
Jika dilihat dari geopolitik saat ini, blok Rusia dan China—yang diikuti oleh Korea Utara—memiliki pengaruh yang mulai meningkat setelah sebelumnya Moskow berusaha sekuat tenaga menghadapi berbagai sanksi yang dijatuhkan pihak barat. Secercah keberhasilan ini juga menjadi motivasi negara-negara “lawan” Amerika Serikat seperti China dan Korea Utara yang tengah memperkuat persenjataan mereka.
Kondisi ini dapat juga dilihat bahwa AS mulai kekurangan pengaruhnya di ranah internasional walaupun bukan berarti kekuatan militernya menurun. Seperti dapat dilihat sebelumnya bahwa perusahaan senjata AS masih mendominasi penjualan senjata. Tetapi melihat kondisi yang ada, dengan ketegangan di Taiwan yang meningkat dan keinginan Korea Utara untuk menjadi negara dengan nuklir terkuat di dunia memperlihatkan security dilemma yang nyata dan secara perlahan “melawan” arus yang dibuat oleh AS.
Namun konflik Ukraina-Rusia sendiri telah menyita dunia terutama negara-negara NATO yang membantu memasok persenjataan untuk Kyiv. Terganggunya pasokan mungkin dapat memperlambat keinginan tindakan “agresif” lebih lanjut oleh China ke Taiwan maupun Korea Utara ke Korea Selatan. Namun, peningkatan penjualan senjata secara jelas dapat menimbulkan dilema keamanan dan jika terus terjadi, sensitifitas terhadap negara lain yang meningkatkan pertahanannya akan membuat negara-negara lain merasa terancam dan terjadi perlombaan senjata.
Transparansi yang rendah dari perusahaan swasta juga berkontribusi pada perlombaan senjata, hal ini berkaitan dengan pengawasan persenjataan yang dilakukan sejak era Perang Dingin. Selama dua dekade terakhir, pilar-pilar utama rezim kontrol senjata adidaya yang didirikan selama Perang Dingin telah runtuh, satu per satu: Perjanjian Rudal Anti-Balistik, Perjanjian Angkatan Bersenjata Konvensional di Eropa, Perjanjian Angkatan Nuklir Jarak Menengah, dan Perjanjian Langit Terbuka. Perjanjian terpenting AS-Rusia yang tersisa, New START, dapat menjadi korban perang Presiden Rusia Vladimir Putin di Ukraina.[9] Era baru ini tentu dipenuhi tantangan terutama ketika dikatikan dengan perkembangan tekonologi yang pesat apalagi di sektor industri persenjataan.
[1] “Global arms sales rise for 7th year despite supply chain issues”, Al Jazeera, 5 Desember 2022, https://www.aljazeera.com/news/2022/12/5/global-arms-sales-rise-for-7th-year-despite-supply-chain-issues
[2] “Arms sales of SIPRI Top 100 arms companies grow despite supply chain challenges”, SIPRI, 5 Desember 2022 https://sipri.org/media/press-release/2022/arms-sales-sipri-top-100-arms-companies-grow-despite-supply-chain-challenges
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Op. Cit., Al Jazeera
[6] Op. Cit. SIPRI
[7] Dorian Archus, “China Established World’s Largest Shipbuilder by Merging CSIC&CSCC”, Naval Post, 1 Desember 2019, https://navalpost.com/china-established-worlds-largest-shipbuilder-by-merging-csiccscc/
[8] Op. Cit., Al Jazeera
[9] Hal Brands, “The Art of the Arms Race”, Foreign Policy, 1 Juli 2022, https://foreignpolicy.com/2022/07/01/arms-control-race-cold-war-geopolitical-rivalry/