Sebuah pawai pada Minggu, 6 Juni 2022 untuk memperingati pembentukan kontrol Israel atas Yerusalem Timur pada tahun 1967 terhenti akibat insiden kekerasan dan kebencian yang membuat pawai tersebut terganggu. Polisi Israel memperkirakan bahwa lebih dari 70.000 orang turun ke jalan-jalan kota untuk pawai bendera Hari Yerusalem.[1]
Beberapa peserta pawai terlihat melontarkan hinaan, pukulan dan benda ke arah warga Palestina, wartawan dan polisi. Pada satu titik, kelompok-kelompok meneriakkan “kematian bagi orang Arab,” dan kata-kata kasar lainnya, bahkan membahas kematian seorang reporter Al Jazeera, Shireen Abu Akleh yang terbunuh saat meliput serangan militer Israel di Tepi Barat.
Bentrokan pun kemudian pecah dan mengacaukan suasana di jalan-jalan sempit Kota Tua antara peserta pawai dengan warga Palestina serta polisi Israel. Tim CNN di lapangan menyaksikan beberapa baku hantam dimana pengunjuk rasa menyerang warga Palestina dan wartawan dengan semprotan merica serta tongkat dan botol yang sedang meliput pawai.[2]
Pada satu titik, sekelompok pria mengenakan baju hitam dan topi hitam muncul yang diindikasi sebagai anggota La Familia, kelompok penggemar rasis yang mendukung Beitar Jerusalem FC. Mereka menyalakan beberapa obor kuning dan melemparkannya dengan liar ke kerumunan. Salah satunya mendarat di bawah kereta dorong bayi yang menyebabkan kepanikan ketika.[3]
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengutuk tindakan-tindakan tersebut dalam sebuah pernyataan dengan mengatakan bahwa “minoritas yang datang untuk mengacaukan wilayah itu,”.[4] sementara Menteri Luar Negeri Yair Lapid mengatakan kelompok-kelompok ekstremis La Familia dan Lehava, yang benderanya dikibarkan selama prosesi, “tidak layak untuk membawa bendera Israel.” Hal ini mengisyaratkan bahwa hanya oknum-oknum tertentu yang bertindak radikal dan menimbulkan kekacauan, bukan masyarakat Israel secara umum.
Menteri Keamanan Omer Bar-Lev membela hal ini dengan menyetujui rute pawai melalui kawasan Muslim Kota Tua. Lewat sebuah tweet, Bar-Lev menulis “perilaku rasis jelek yang tidak bisa ditoleransi.” Di sisi lain, Bar-Lev mendukung pawai tersebut sebagai suatu gerakan yang menguatkan Israel dan memberikan pandangan bahwa wilayah tersebut adalah wilayahnya. “Jika kita menyerah pada ancaman terorisme untuk tidak mengibarkan bendera Israel di ibu kota kita, kita tidak akan tahu suatu hari nanti … kita akan menemukan diri kita tertindas di masa depan.”
Israel menganggap sektor timur dan barat Yerusalem sebagai ibu kotanya yang “tidak terbagi” dengan pihak manapun. Walaupun begitu, wilayah Yerusalem Timur sendiri memiliki populasi orang Palestina yang cukup besar, yang menginginkan bagian kota itu menjadi ibu kota negara masa depan Palestina. Melihat kekacauan pada pawai tersebut, Yaakov Katz, pemimpin redaksi surat kabar Inggris Jerusalem Post, menulis dalam sebuah kolom bahwa “ada kesimpulan menyedihkan yang tidak dapat kita abaikan: Israel memiliki masalah rasisme, dan hal itu muncul pada Hari Yerusalem.”[5]
Rasisme sendiri dapat dikatakan sebagai nasionalisme yang ‘keterlaluan’ dalam kasus ini. Baik konsep rasisme dan nasionalisme memiliki kemiripan pada landasan bahwa keduanya membagi manusia ke dalam kelompok-kelompok dan memiliki kecenderungan bahwa satu kelompok lebih unggul dari yang lain.[6] Walaupun begitu, rasisme sejak awal adalah konsepsi dan sebuah produk sosial yang salah. Penjelasan dalam hal superioritas dan inferioritas rasial biologis alami tidak secara tepat mencerminkan realitas objektif dalam masyarakat manusia; perbedaan sebenarnya adalah fenomena sosial, yang mencerminkan kontradiksi antara basis ekonomi dan suprastruktur, kontradiksi antara kekuatan produktif dan hubungan produksi dan kontradiksi kelas.[7]
Konflik berkepanjangan atas sengketa wilayah antara Israel dan Palestina sendiri melahirkan perasaan nasionalisme tinggi yang membuat keduanya kerap berkonflik. Kejadian ini juga dapat dikatakan mengarah pada apa yang disebut chauvinisme yang berangkat dari nasionalisme ekstrim. Dimana chauvinisme adalah kepercayaan yang tidak masuk akal pada superioritas atau dominasi kelompok yang dianggap kuat dan ‘lebih baik’, sementara yang lain dianggap lemah, tidak layak, atau inferior.
[1] Hadas Gold dan Abeer Salman, “Israelis lament ‘racism problem’ as Jerusalem march turns ugly”, CNN, https://edition.cnn.com/2022/05/30/middleeast/israel-march-jerusalem-mime-intl/index.html
[2] Ibid.
[3] Yaakov Katz, “Israel has a racism problem – and it comes out on Jerusalem Day – comment”, The Jerusalem Post, 29 Mei 2022, https://www.jpost.com/opinion/article-707999
[4] Op. Cit.
[5] Op. Cit., Katz
[6] Peter Rutland, “Racism and Nationalisme”, Nationalities Papers, Cambridge University Press, 2 Desember 2021, https://www.cambridge.org/core/journals/nationalities-papers/article/abs/racism-and-nationalism/B41832A63712E513B3B5F3C09B8DEEF5
[7] Workers Viewpoint Organization, “Racism, Nationalism and Race Theory: Relations Between Material Base and Ideology”, The Afro-American National Question, Volume II, n.d., Marxist Internet Archive, https://www.marxists.org/history/erol/ncm-8/wvo-race-theory.htm