Pengaruhi Milisi menyerahkan Diri, Langkah Nyata TNI mendukung Kehidupan Damai di Kongo
Dampak penyerahan diri Milisi Kongo bagi TNI dan Indonesia?
Sabtu (14/5), satuan tugas Batalyon Gerak Cepat (Satgas BGC) Konga TNI XXXIX-D/Monusco kembali memfasilitasi penyerahan diri kelompok milisi Maï Maï RUMA pimpinan Mr. Mukungilwa Katiba kepada Disarmament Demobilization Repatriation (DDR) di desa Khasika yang berjarak 68 Km dari Combat Operation Base (COB) Walungu, Kongo, Afrika. (Puspen TNI, 2022) Kelompok milisi yang menyerahkan diri tersebut terdiri dari tujuh orang dengan persenjataan tiga pucuk tombak, satu pucuk senjata AK-47, tiga pucuk senjata Garand, dua buah senjata tajam, dua set jaket loreng milisi, lima butir amunisi, dan perlengkapan pribadi serta jimat tradisional.
Kelompok milisi Maï Maï (yang secara harfiah berarti air-air) tidak mengacu pada gerakan politik tertentu tetapi merujuk kepada berbagai kelompok bersenjata yang aktif di provinsi Kivu Utara dan Selatan (Charlotte Boitiatiaux, 2012). Milisi ini dibentuk oleh panglima perang lokal, pemimpin suku, kepala desa atau pejuang bermotivasi politik dan menyandang nama seperti the Kivu Resistance and Defence Frontdan the Movement Against the Aggression of Zaïre. Kelompok-kelompok ini menjadi sangat aktif ketika komunitas mengorganisir perlindungan diri mereka terhadap gelombang kekerasan yang meningkat di wilayah tersebut.
Sebelumnya, Satgas Batalyon Gerak Cepat (BGC) Konga TNI XXXIX-D/Monusco pada Selasa (10/5/2022) memfasilitasi penyerahan diri kelompok milisi RM Mabala pimpinan Mr Justin Mabala kepada Disarmament Demobilization Repatriation (DDR) di Desa Nyalubemba yang berjarak sekitar 77 Km dari Combat Operation Base (COB) Walungu, (Puspen TNI, 2022). Milisi RM Mabala yang menyerahkan diri ini terdiri dari sembilan pria, mereka juga menyerahkan 12 pucuk senjata api jenis AK-47, satu pucuk jenis PKM, 15 magazen AK-47, 607 butir amunisi Cal 7,62 mm dan satu buah senjata tajam.
Apa Dampak penyerahan diri Milisi Kongo bagi TNI dan Indonesia?
Menyerahnya kelompok milisi RM Mabala dan Maï Maï RUMA merupakan hasil upaya terencana dari kegiatan Satgas yang dilaksanakan secara bertahap dan terintegrasi dari seluruh personel Satgas BGC dengan berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan secara bertahap dan selalu diintegrasikan dengan UN Staff. Upaya Penyerahan diri milisi berdampak positif bagi warga dan masyarakat sekitar, sehingga menimbulkan kepercayaan warga desa Khasika terhadap Satgas BGC Konga TNI XXXIX-D/Monusco, disisi lain dengan adanya penyerahan senjata tersebut diharapkan akan menekan angka kriminalitas bersenjata dan ancaman tindak kekerasan terhadap warga sipil di wilayah Area of Responsibility (AoR) Walungu.
Mengingat Benua Afrika merupakan kawasan yang sangat rawan terjadinya konflik, baik konflik antar etnis maupun konflik bersenjata. Dimana dari 6 dari 12 misi perdamaian dalam Operasi Pemeliharaan Perdamaian Dunia/OPPD yang merupakan “flagship enterprise” PBB yang dibentuk sebagai perpanjangan tangan PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional berada di Benua Afrika.
Kontribusi Indonesia salah satunya dalam bentuk pasukan atau satuan tugas yang saat ini dilaksanakan di Republik Demokratik Kongo (MONUSCO) meliputi 1 (satu) satuan Batalyon Gerak Cepat (Rapidly Deployable Battalion/RDB) dan 1 (satu) satuan Kompi Zeni serta di Afrika Tengah (MINUSCA).
Keterlibatan TNI dalam OPPD menjalankan pelaksanaan amanat salah satu tugasnya dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang tercantum dalam UU RI Nomor 34 tentang TNI; melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan luar negeri Pemerintah Indonesia. Pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian di bawah bendera PBB menunjukkan komitmen kuat bangsa Indonesia terhadap perdamaian sekaligus memberi arti penting dalam pelaksanaan hubungan luar negeri dan implementasi politik luar negeri bebas aktif serta meningkatkan citra Indonesia di dunia internasional.
Indonesia telah menjadi salah satu negara yang sangat aktif dalam pengiriman pasukan penjaga perdamaian PBB. Hal ini terbukti dari banyaknya kontingen yang dikirimkan baik berupa pasukan penjaga perdamaian maupun personil dalam misi pengawasan Indonesia, dalam hal ini mendasarkan keikutsertaan dalam pasukan penjaga perdamaian sesuai amanat pembukaan UUD 1945. Namun, selain itu pengiriman pasukan ini juga ditujukan untuk membawa Indonesia lebih dekat kepada masyarakat di negara lain, khususnya di negara dimana pasukan tersebut ditempatkan.
Eksistensi Indonesia dalam upaya pemeliharaan perdamaian yang ditunjukan dengan jumlah pengiriman pasukan penjaga perdamaian menempatkan Indonesia diposisi yang sangat strategis dalam politik internasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini negara-negara besar seperti AS maupun negara-negara di Eropa tidak lagi memiliki kontribusi signifikan dalam misi perdamaian khususnya dalam pengiriman pasukan dibawah mandat PBB.
Kondisi ini tentu akan memberikan keuntungan tersendiri bagi Indonesia khususnya dalam upaya untuk menunjukan eksistensi khususnya dalam aktivitas yang berada dalam ruang lingkup PBB sebagai organisasi yang memiliki peran signifikan dalam perdamaian dunia. Dalam definisi yang dikemukakan oleh Gyorgy Szondi diplomasi publik berkembang seputar strategi untuk melakukan promosi dan persuasi yang sangat erat kaitannya dengan kepentingan dan impresi yang ingin ditampilkan (Gyorgy Szondi, 2009). Kondisi ini yang kemudian sulit untuk dilakukan melalui diplomasi formal atau resmi yang dilakukan oleh pemerintah. Kekakuan dari diplomasi formal ini, dapat dicairkan dengan menggunakan individu baik yang ditunjuk oleh negara ( duta resmi negara ) maupun dilakukan secara mandiri dengan mengedepankan people-to-people contact ( P to P ).
Pentingnya people to people contact dalam diplomasi publik mampu menjembatani komunikasi antar masyarakat dari satu negara dengan masyarakat di negara lain. Keterlibatan dari masyarakat atau individu sebagai representasi negara akan mempermudah pembangunan citra positif di mata negara atau khsususnya masyarakat di negara lain. Pembangunan citra positif dalam prespektif masyarakat di negara lain menjadi tujuan utama dalam membangun kesepahaman dan saling pengertian, yang dalam konsepsi Joseph Nye Jr (2014) dikenal dengan softpower.
Pembuktian mengenai kemampuan TNI dalam melaksanakan operasi perdamaian ditunjukan dengan relatif stabilnya wilayah yang menjadi tanggung jawabnya dari berbagai ancaman gangguan keamanan dari kedua belah pihak. Upaya ini menjadi sangat penting mengingat dalam dekade terakhir Indonesia khususnya pihak TNI tengah berada dalam sorotan masyarakat Internasional seiring dengan tuduhan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) pada kasus G 30S/PKI dan Timor-Timur serta era Dwi Fungsi ABRI, (Aisah Putri Budiarti dkk., 2019) yang ini kemudian senantiasa dilekatkan dengan instrumen represif dari pemerintah. Sorotan ini membuat citra Indonesia dan khususnya TNI terpuruk bahkan beberapa negara memutuskan untuk menghentikan pasokan persenjataan serta kerjasama pertahanan dengan Indonesia. Demikian pula dengan Indonesia berbagai tekanan senantiasa ditujukan kepada pemerintah Indonesia untuk menegakan HAM yang oleh masyarakat Internasional dijadikan sebagai salah satu indikator bagi terciptanya perdamaian dunia.
Kondisi ini tentunya perlu untuk mendapatkan perhatian dimana Indonesia harus keluar dari bayang-bayang tuduhan sebagai pelanggar HAM dan kembali menguatkan citranya dimata dunia melalui komitmen terhadap perdamaian dunia. Keterlibatan aktif Indonesia dalam Operasi Misi Perdamaian di berbagai negara. Dengan terlibat dalam operasi perdamaian, tentara Indonesia ikut melakukan proses diplomasi dan politik luar negeri RI. Atas peran perdamaian yang dijalankan, pasukan Indonesia turut menyumbang softpower berupa pencitraan baik di dunia.