Demo Anti-Pemerintah di Kepulauan Solomon Ricuh

Sentimen anti-China di Kepulauan Solomon memakan korban jiwa. Protes sipil sejak Rabu (21/11) minggu lalu berkaitan dengan perubahan politik dari Taiwan ke China. Meski diawali dengan damai, namun kondisi berubah menjadi kekerasan dan kerusuhan yang membuat para pendemo merusak berbagai fasilitas umum. Tiga orang tewas terbakar ditemukan di sebuah bangunan yang dibakar di Honiara.
Polisi melemparkan gas air mata dan menembakkan peluru karet pada demonstran dari Malaita setelah para demonstran membakar Gedung Parlemen Nasional dan gedung lainnya di wilayah Ibu Kota Kepulauan Solomon, Honiara.
Protes diawali pada saat masyarakat dari Distrik Chinatown (Pecinan Kota) di ibu kota Honiara menginginkan agar Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, mengundurkan diri dari jabatannya. Tuntutan ini didasari buruknya pelayanan publik, kasus korupsi, dan pemberian lapangan kerja pada pekerja asing yakni China dibandingkan masyarakat asli Kepulauan Solomon.
Kekuatan keamanan Solomon tidak mampu mengendalikan protes di Honiara. Pemerintah Kepulauan Solomon akhirnya memberlakukan jam malam dan menyarankan seluruh pegawai negeri sipil untuk tetap berada di rumah. Jam malam berlangsung dari jam 7 malam hingga jam 6 pagi, sehingga selama masa ini berlangsung hanya petugas resmi yang diperbolehkan berkeliaran di jalan.
Konflik Politik Domestik Memicu Kerusuhan
Sogavare menilai ada peran Taiwan dan Amerika dalam memprovokasi protes domestiknya, namun banyak pihak juga menilai China memiliki peran yang mendorong protes terjadi. Sogavare memang mendukung pemimpin China, sedangkan pemimpin Malaita mendukung Taiwan.
Dukungan Sogavare pada China terjadi saat Sogavare kecewa dengan penolak Amerika Serikat (AS) untuk memberikan bantuan dana langsung untuk Malaita, pulau dengan populasi terbanyak di Solomon, dan menawarkan agar jalur bantuan diberikan melalui pulau utama.
Sogavare lalu membuka hubungan dengan China sejak 2019, sehingga menimbulkan eskalasi politik dengan pemimpin dari provinsi dengan populasi terbanyak di Solomon yakni Malaita. “Saya merasa kasihan dengan masyarakat saya di Malaita karena mereka dipengaruhi oleh berbagai berita salah dan bohong.” kata Sogavare.
Pemimpin provinsi Malaita menolak keputusan pemerintah pusat untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan membangun hubungan resmi dengan China. Pemimpin Malaita menilai pulaunya diberlakukan tidak adil, terutama untuk permasalahan investasi pemerintah sejak perubahan pandangan politik dari Taiwan ke China, sehingga memprovokasi protes untuk meminta mundurnya Perdana Menteri Sogavare. Selain itu, masyarakat Malaita meminta agar pemerintah menghargai hak menentukan nasib sendiri dari masyarakat Malaita, membatasi hubungan dengan China, dan mempercepat proyek pembangunan di Malaita.
Peneliti dari Lowy Institute menilai kerusuhan dikarenakan ketimpangan pengembangan infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan dasar di Honiara dan wilayah lain, terutama dengan mayoritas pekerja Asia di sektor konstruksi.
Respons Internasional terkait Kerusuhan di Solomon
China menyatakan kekhawatirannya mengenai keadaan di kepulauan Solomon, termasuk serangan yang dialami masyarakat China dan dampaknya pada bisnis di Honiara. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, menyatakan otoritas setempat sudah meminta pemerintah lokal untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi keamanan masyarakat China.
Zhao menambahkan bahwa China percaya di bawah kepemimpinan PM Sogavare, keadaan sosial dan keamanan di kepulauan Solomon akan kembali stabil dengan cepat.
Di sisi lain, sesuai permintaan dari Perdana Menteri setempat, Australia mengirimkan bantuan yakni sekitar 100 anggota polisi dan militer Australia untuk mengamankan situasi. Pengiriman bantuan ke pulau Pasifik ini didasari perjanjian keamanan bilateral untuk mendampingi dan mendukung Kepolisian Kepulauan Solomon atau Royal Solomon Islands Police Force (RSIPF). Kepolisian Australia mulai mengambil kendali di titik-titik penting di sekitar Honiara.
Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne, menyatakan ketidaksetujuan mengenai negara asing yang memprovokasi kerusuhan. Payne menambahkan bahwa Australia tidak menginginkan adanya kekerasan dan berharap keadaan menjadi lebih stabil. Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, menyatakan Australia akan membantu polisi mengembalikan keadaan dengan melindungi infrastruktur kritis, namun Australia tidak akan melindungi bangunan nasional atau parlemen untuk menunjukkan kenetralan Australia.
Hubungan Australia-Kepulauan Solomon sudah dibentuk sejak tahun 2017 lalu disaat Sogavare meminta bantuan Australia menjadi penjaga perdamaian di Kepulauan Solomon. Pada tahun 2017 lalu, Australia memimpin Regional Assistance Mission to Solomon Islands atau Misi Bantuan Regional untuk Kepulauan Solomon untuk membantu isu konflik etnis sejak tahun 2003 lalu. Hubungan tersebut masih dibangun hingga sekarang.