Upaya Pembunuhan Perdana Menteri Irak, Kediaman Dilempar Roket
Upaya pembunuhan pada politisi di Irak hampir memakan korban jiwa. Rumah Perdana Menteri Irak, Mustafa al-Kadhimi, diserang oleh pesawat tanpa awak pada hari Minggu (7/11) pagi.
“Terdapat tiga pesawat tanpa awak yang digunakan, di mana dua di antaranya berhasil dilumpuhkan, namun satu lainnya berhasil menyerang kediaman PM Irak.” jelas seorang juru bicara dari Kementerian Dalam Negeri Irak.
Wilayah yang diserang merupakan Green Zone atau zona hijau yang dilindungi ketat oleh kekuatan militer. Wilayah ini merupakan wilayah terdiri dari pemukiman, gedung pemerintahan, dan gedung kedutaan.
Sebuah video keamanan menunjukkan kerusakan di rumah al-Kadhimi yakni mobil yang terparkir di luar rusak parah, pecahan-pecahan kaca dan kerusakan dinding, balkon, serta atap rumah.
Insiden ini meningkat beberapa minggu pasca pemilihan umum yang menimbulkan konflik antara Irak dan kelompok bersenjata Iran. Para kekuatan keamanan Irak menggunakan gas air mata dan amunisi pada masyarakat dan anggota militer bersenjata yang memprotes hasil pemilihan umum. Pemimpin kelompok bersenjata menyalahkan al-Kadhimi karena menggunakan kekerasan yang menewaskan satu orang demonstran.
Belum ada pihak yang menyatakan bertanggung jawab dengan insiden serangan tersebut. Namun, perwakilan kantor PM Irak menyatakan serangan teroris yang menargetkan rumah perdana menteri tadi malam dengan tujuan membunuh merupakan kejahatan dari kelompok kriminal bersenjata. Untungnya, PM Irak al-Kadhimi berhasil menyelamatkan diri tanpa luka berarti, namun enam penjaga di rumahnya terluka.
Unsur Politik Penyerangan Rumah PM al-Kadhimi
Percobaan pembunuhan PM al-Kadhimi terjadi menyusul tensi partai politik yang menginginkan pembentukan pemerintahan baru pasca pemilihan umum. Meskipun belum ada pengumuman hasil akhir, namun pemilihan umum yang dilaksanakan bulan lalu tersebut disinyalir terdapat unsur kecurangan. Para pendukung yang merupakan kelompok militer yang didukung Iran melancarkan protes dengan berkemah di luar Zona Hijau untuk mendorong pemilihan umum ulang. Analis politik melihat serangan ini dikarenakan upaya dan posisi PM al-Kadhimi yang ingin menyeimbangkan hubungan Irak di antara Iran dan Amerika Serikat, terutama karena al-Kadhimi menginginkan kepemimpinan di periode selanjutnya.
Pendukung Iran, Aliansi Fatah, hanya memiliki 16 kursi yang turun dari awalnya 48 kursi yang mendorong kemarahan para pendukung. Dilandir Spectrum News 1, kelompok militer sudah kehilangan dukungan sejak tahun 2018 lalu dikarenakan penekanan pada protes anti-pemerintah yang dilakukan masyarakat muda dan melangkahi otoritas negara. Pemimpin Fatah, Hadi al-Amiri, selanjutnya mengutuk serangan tersebut dan menuntut adanya investigasi menyeluruh untuk mencari dalang penyerang.
Namun kritik muncul dari Abu Ali al-Askari, pemimpin garis keras pro Iran, Kataib Hezbollah, yang mempertanyakan apakah dugaan percobaan pembunuhan merupakan upaya al-Kadhimi untuk berperan sebagai “korban.”
Di sisi lain, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran yakni Ali Shamkhani menyatakan serangan tersebut didorong ketidaksetujuan terkait kedekatan dengan “pihak asing.”
Dunia internasional mengutuk Serangan pada al-Kadhimi
Presiden AS Joe Biden mengutuk serangan pada al-Kadhimi dan mendorong dilakukannya dialog untuk melindungi keutuhan negara, termasuk memperkuat demokrasi di Irak. Pemimpin lain seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron, Raja Yordania Abdullah II dan Perdana Menteri Inggris Borish Johnson juga turut mengutuk serangan pada al-Kadhimi.
Selain itu, Arab Saudi juga tutur berkomentar dengan menilai serangan tersebut sebagai aksi terorisme. Lalu, Presiden Mesir, Abdel Fattah el-Sissi, juga mendorong semua pihak di Irak untuk bekerja sama menjaga stabilitas negara Irak.