Ambisi “Made in China 2025” Xi Jinping: Domestik dan Internasional
Investasi dalam perkembangan teknologi digital terutama pada masa ini menjadi sangat penting, mengingat transformasi industri manufaktur akan mendorong pertumbuhan perekonomian dan perlindungan keamanan nasional. Salah satunya yakni kebutuhan produk manufaktur seperti chip atau semikonduktor yang sedang meningkat karena berbagai peralatan seperti ponsel, laptop, mobil, pesawat, satelit, dsb., membutuhkan teknologi chip. Berkaitan dengan itu, Xi Jinping sejak tahun 2015 lalu mengungkapkan ambisi “Made in China 2025” sebagai upaya mengurangi ketergantungan teknologi dari negara lain dan memproduksi sendiri kebutuhan pengembangan manufakturnya. Namun, ambisi ini akan sulit dicapai pada tahun 2025 nanti dikarenakan adanya hambatan baik dari domestik dan internasional.
Made in China 2025: Domestik China masih tertinggal
Komponen chip yang kecil ternyata sangat sulit diproduksi dan meskipun terdapat ratusan perusahaan yang memproduksi, namun hanya sedikit perusahaan yang mampu memproduksi dalam jumlah besar dan memasarkannya pada pasar global. Dilihat menggunakan konsep kepentingan nasional, tiga komponen penting yang menjadi fokus negara adalah pencapaian dan perlindungan aspek keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan sosial yang ketiga aspek ini saling berkaitan.[1] Dengan perkembangan digitalisasi saat ini, digitalisasi ekonomi, pertahanan dan sosial politik negara mendorong adanya kompetisi antar negara untuk menguasai pasar, sekaligus mengembangkan teknologi demi kepentingan keamanan dan ekonominya. Hal ini menunjukkan pentingnya pengembangan teknologi karena tidak hanya untuk memperkuat kebutuhan nasional, namun juga memperkuat posisi dan penguasaan teknologi global. Termasuk dalam hal ini China dengan ambisi “Made in China 2025” menginginkan penguasaan teknologi untuk memenuhi kebutuhan domestik, sekaligus menguasai global.
Hingga saat ini, perusahaan produksi manufaktur dan chip terbesar kebanyakan berada di Asia, terutama Taiwan dan Korea Selatan yang memproduksi 20 persen semikonduktor global dan lebih dari 90 persen chip berteknologi tinggi.[2] Taiwan mendominasi dalam suplai chip bersama dengan Samsung dari Korea Selatan dan Intel dari Amerika Serikat (AS). Kerja sama ekonomi ketiga negara ini membantu Intel dan Samsung dalam jangkauan pasar global, di mana produksi AS memiliki penjualan terbesar, disusul oleh Korea Selatan.[3] Hampir semua perusahaan teknologi AS saat ini juga berada di Taiwan dikarenakan tidak bisa dibuat di AS dan untuk menghemat biaya produksi.[4] Di sisi lain, China juga menjadi salah satu konsumen terbesar chip dari Taiwan, sehingga ketergantungan akan bagian penting pengembangan teknologi ini meningkatkan nilai tawar Taiwan dalam hubungan ekonomi, politik, dan keamanannya bersama AS dan China.
Kondisi pandemi mendorong kelangkaan chip yang berdasarkan data IHS Markit mampu menghambat produksi peralatan maupun kendaraan global pada kuartal pertama.[5] Dengan permintaan yang meningkat namun suplai menurun, maka harga-harga barang elektronik dan kebutuhan lainnya bisa semakin meningkat dan mengganggu arus pasar global. Berdasarkan konsep ekonomi impor, kebijakan impor menjadi upaya pemenuhan kebutuhan domestik yang didasari beberapa alasan yakni bahan maupun teknologi yang tidak ada maupun kurang, kebutuhan peningkatan kualitas barang dan jasa, penurunan biaya produksi atau harga yang lebih murah, maupun kurangnya suplai untuk kebutuhan domestik.[6] Agar bisa membiayai impor, maka negara memerlukan kredit ekspor asing, investasi asing, dan bantuan dana agar terjadi penyeimbangan konsumsi dan produksi. Langkah impor ini yang juga dilakukan China, mengingat produksi chip domestik China hanya mampu memenuhi seperlima dari permintaan domestiknya. Ketergantungan ini yang membuat China disatu sisi ingin mengembangkan kemandiriannya dalam teknologi, namun juga masih mengimpor sebagian besar kebutuhannya dari luar.
Berdasarkan data Administrasi Pajak Umum, impor chip China mengalami penurunan 7 persen pada April lalu yakni sebanyak 54,7 miliar unit semikonduktor senilai USD33,1 miliar.[7] Penurunan impor ini berkaitan dengan tensi geopolitik antara AS dan China yang mengarah pada kompetisi dagang dan teknologi kedua negara. Dengan dinamika politik ini, China melalui “Made in China 2025” menunjukkan adanya rencana strategis China guna mengurangi ketergantungan pada teknologi asing dan sekaligus mempromosikan teknologi manufaktur China dalam pasar global.[8] Maka dari itu, China terus memberikan investasi dan insentif pada perkembangan industri chip, di mana kemunculan perusahaan semikonduktor meningkat tiga kali lipat pada Mei lalu, namun Beijing masih tetap jauh dari kemandirian dalam produksi chip.[9] Bahkan jika China mampu mendesain chip, namun chip tersebut tidak bisa digunakan untuk kebutuhan domestik tanpa mesin untuk manufaktur. Ketidakmampuan memproduksi mesin dan teknologi ini yang setidaknya akan menghambat ambisi “Made in China 2025.”
Perang teknologi AS – China: sanksi tidak akan menghentikan China
Dilihat dari sisi AS, tensi geopolitik AS- China turut mempengaruhi suplai chip untuk China, di mana AS memberikan sanksi ekonomi pada China, sehingga perusahaan AS atau aliansinya tidak akan memberikan izin pada perusahaan China untuk membeli mesin manufaktur untuk semikonduktor. Seperti contoh tekanan AS pada perusahaan Belanda agar tidak menjual produk Advanced Semiconductor Materials International (ASML) Holding NV yakni mesin sistem ultraviolet litografi untuk meningkatkan kualitas mikroprosesor pada China. Mesin seharga USD150 juta dengan berat 180 ton tersebut digunakan oleh perusahaan besar lain seperti Intel dan Samsung untuk menghasilkan chip untuk ponsel dan komputer. Namun, dikarenakan adanya tekanan dari AS untuk membatasi lisensi ekspor pada China, perusahaan Belanda enggan mengambil risiko tersebut.[10] Sebagai upaya melindungi kepentingan ekonomi dan militernya, tindakan pembatasan dan sanksi ekonomi dijadikan AS untuk semakin menekan upaya pengembangan produksi chip China, terlebih jika sudah diberikan lisensi untuk ekspor manufaktur, kemungkinan besar China akan berupaya “menduplikasi” mesin tersebut, sehingga tidak hanya berisiko pada sekadar lisensi, namun kompetisi ekonomi, teknologi, dan keamanan negara.
Dalam upaya mempertahankan posisi dan kekuatan ekonomi pasar chipnya yakni Intel, AS juga melakukan pembatasan pada perusahaan domestik AS untuk mengekspor teknologi dan membeli saham pada daftar hitam perusahaan manufaktur China yang diblokir AS, termasuk perusahaan terbesar di China yakni Semiconductor Manufacturing International Corp (SMIC) dan perusahaan manufaktur drone SZ DJI.[11] Pembatasan ini dikhususkan pada akses teknologi untuk memproduksi semikonduktor tingkat terdepan yakni level 10 nanometer ke bawah. Dampaknya saham SMIC menurun 5,2 persen, diikuti oleh perusahaan-perusahaan lain yang ikut terdampak. Melalui kebijakan ini, baik kepemimpinan AS semasa Trump maupun Biden, keduanya sama-sama menilai tensi yang sedang bereskalasi semakin memperumit kerja sama teknologi kedua negara dikarenakan AS tidak akan membiarkan teknologi mutakhir AS membantu peningkatan perekonomian dan kekuatan militer China.
China dengan ambisi globalnya juga menekankan pada AS untuk menghentikan tekanan-tekanan pada perusahaan China tersebut dan China akan terus menggunakan cara untuk melindungi haknya. Tidak dipungkiri, hambatan ekonomi AS memperlambat perkembangan ekonomi perusahaan dan pengembangan manufaktur atau chip di China, namun hal ini juga tidak akan menghentikan upaya pengembangan domestik China. Meskipun ambisi “Made in China 2025” sulit tercapai, namun dengan berbagai kekuatan ekonomi dan politik China, maka investasi dan bantuan asing di China akan terus dipergunakan untuk semakin meningkatkan riset dan pengembangannya dalam chip guna mencapai kemandirian domestik.
[1] Gordon de Brewaur, (2020), Bringing Security and Prosperity Together in the National Interest, CSIS, https://www.csis.org/analysis/bringing-security-and-prosperity-together-national-interest
[2] Jeanne Whalen, (2021), Three months, 700 steps: Why it takes so long to produce a computer chip, Washington Post, https://www.washingtonpost.com/technology/2021/07/07/making-semiconductors-is-hard/
[3] Statista, (2021), Leading semiconductor companies (including foundries) from 2019 to 2020, by sales revenue, Statista, https://www.statista.com/statistics/283359/top-20-semiconductor-companies/
[4] Kate Sullivan-Walker, (2020), The semiconductor industry is where politics gets real for Taiwan, The Interpreter Lowy Institute,https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/semiconductor-industry-where-politics-gets-real-taiwan
[5] Reuters, (2021), Explainer: Why is there a global chip shortage and why should you care?, Reuters, https://www.reuters.com/article/chips-shortage-explainer-int-idUSKBN2BN30J
[6] Valentino Piana, (2001), Imports, Economics Web Institute, http://www.economicswebinstitute.org/glossary/imports.htm
[7] Celia Chen, (2021), China semiconductor imports decline slightly in April, but global chip sales continue to boom, South China Morning Post, https://www.scmp.com/tech/tech-trends/article/3132621/china-semiconductor-imports-decline-slightly-april-global-chip
[8] Claudio Ramadori, (2021), Made in China 2025 – Everything You Need to Know, New Horizons, https://nhglobalpartners.com/made-in-china-2025/
[9] Josh Ye, (2021), New Chinese semiconductor firms have tripled in 2021 as Beijing and Washington jockey over technological supremacy, South China Morning Post, https://www.scmp.com/tech/tech-war/article/3136660/new-chinese-semiconductor-firms-have-tripled-2021-beijing-and
[10] Stu Woo, (2021), China Wants a Chip Machine From the Dutch. The U.S. Said No., Wall Street Journal, https://www.wsj.com/articles/china-wants-a-chip-machine-from-the-dutch-the-u-s-said-no-11626514513
[11] CNBC, (2020), U.S. blacklists dozens of Chinese firms including SMIC, DJI, CNBC, https://www.cnbc.com/2020/12/18/us-adds-chinese-drone-company-dji-to-economic-blacklist-.html