Biden Mengakui Genosida Armenia, Dubes AS untuk Turki Dipanggil
Pengakuan terhadap tindak kejahatan di masa lampau seperti penjajahan dan genosida menjadi dilema bagi negara karena tidak semua negara mau secara terbuka mengakui tindakan pelanggarannya, terlebih jika negara lain yang mengakuinya. Salah satunya, kasus genosida masyarakat Armenia pada masa Kerajaan Ottoman Turki tahun 1915 lalu yang menewaskan 1,5 juta orang Armenia. Peristiwa “genosida” ini sudah lama menjadi perdebatan negara internasional, namun Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, mendekati hari ke-100 kepemimpinannya, mengakui tindakan kejadian genosida Turki atas Armenia. Namun, mengapa baru sekarang AS mengakui genosida tersebut?
Genosida Masyarakat Armenia dan Perbedaan Perspektif
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Konvensi Genosida tahun 1948 mendefinisikan genosida sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk memusnahkan seluruh, sebagian, atau sekelompok etnis, nasional, dan agama yang terdiri dari elemen mental dan fisik.[1] Genosida Armenia hingga saat ini diakui oleh tiga puluh negara dari Asia dan Eropa termasuk AS. Baik dari Turki, Armenia, dan global memiliki perbedaan persepsi terkait sejarah yang terjadi, di mana Turki menyatakan jumlah masyarakat yang tewas hanya sekitar 500,000 orang, sedangkan masyarakat Armenia menyatakan tiga kali lipatnya.[2] Meski banyak negara dan sejarawan menilai kematian ini menjadi peristiwa genosida, namun Turki menolak menyatakan “genosida” dan menilai hanya terjadi deportasi massal dan konflik kekerasan, sehingga kematian tersebut bukan sesuatu yang direncanakan.
Peristiwa ini cukup kompleks dan panjang yang berawal dari “upaya mengatasi permasalahan Armenia,” sehingga Ottoman memimpin ratusan ribu tentara Armenia untuk masuk ke wilayah gurun Suriah pada tahun 1915-1916 yang membuat ribuan orang dikumpulkan di seluruh wilayah kerajaan dan dieksekusi. Pada abad ke-19 tersebut, wilayah Armenia terbagi tiga menjadi wilayah Ottoman, Rusia, dan Persia, di mana masyarakat Armenia menjadi minoritas di kerajaan Ottoman. Melihat tingginya pajak bagi para petani dan pedagang Armenia guna membayar militer Ottoman yang membantu aspek keamanan pada masa itu, demonstrasi warga Armenia dibalas baku tembak oleh tentara Ottoman. Ottoman juga mengerahkan masyarakat Armenia saat perang dengan Rusia untuk membantu invasi tentara Rusia, namun malah menyalahkan tentara Armenia saat Ottoman kalah dari Rusia. Sentimen anti-Armenia semakin meningkat, di mana Ottoman mulai melakukan deportasi sebanyak 800,000 tentara Armenia di wilayah Timur kerajaan Ottoman, termasuk Jerman yang sudah meminta maaf karena tidak melakukan tindakan untuk menghentikan genosida tersebut.[3] Banyaknya aktor yang terlibat membuat banyak juga sudut pandang sejarah yang terjadi.
Biden mengakui Genosida Armenia, mengapa sekarang?
Dalam melihat keputusan Biden mengakui genosida Armenia dapat dilihat melalui kondisi domestik dan internasional. Tidak dipungkiri, pengakuan “genosida” sangat sensitif karena berkaitan dengan sejarah, citra, dan politik negara Turki dan AS. Pengakuan ini juga bisa menjadi “bumerang” bagi AS karena memiliki kejadian serupa yang bisa dipertanyakan kembali oleh internasional. Aktor internasional sudah sering menekan negara dengan nilai Hak Asasi tersebut untuk mengakui genosida Armenia, namun tidak mudah bagi AS untuk mengakui dan menggunakan kata “genosida” dalam peristiwa Armenia.[4] Terlebih, hubungan AS dan Turki juga masih cukup baik dan melihat posisi Turki sebagai aliansi strategis di antara Eropa dan Rusia. Ditambah, Turki juga sudah mengingatkan AS terkait pengakuan tersebut yang bisa saja mengubah hubungan AS-Turki, termasuk dalam isu militer.
Mengingat genosida Armenia diperingati setiap 24 April, isu ini terus disuarakan oleh para turunan dan diaspora Armenia yang menuntut negara-negara yang mendukung HAM untuk mengakui hak dan martabat masyarakat Armenia. Baik sejak Barack Obama dan Trump, AS tidak pernah mengakui genosida tersebut, namun kepemimpinan Biden seakan memberi angin segar bagi masyarakat Armenia dan turunan Armenia-AS. Biden menyatakan “Masyarakat Amerika menghargai semua masyarakat Armenia yang mengalami genosida 106 tahun lalu, maka dari itu mari bersama menghindari kejadian serupa terjadi kembali dimanapun.”[5] Selain adanya tekanan dari internasional yang seakan “berharap banyak” pada kepemimpinan AS yang baru, momen ini juga dijadikan Biden sebagai upaya implementasi pendekatan multilateral dan nilai HAM yang selalu dijunjung dan diprioritaskan oleh Biden dalam pemerintahannya. Isu-isu berkaitan HAM menjadi sangat penting sebagai wujud kepemimpinan di domestik dan global, sekaligus untuk memperlihatkan perhatian Biden pada lingkup globalnya bahwa AS akan terus memimpin dan mendorong penegakkan nilai-nilai HAM. Biden juga seakan ingin meninggalkan sebuah “peninggalan” berarti atas nama HAM bagi Amerika dan global, salah satunya melalui isu Armenia ini.
Bagaimana respons Turki?
Turki jelas menolak dan mengecam pernyataan AS. Meskipun banyal individu dan peneliti sudah mengakui tindakan genosida, namun Turki tetap membantah mengakui peristiwa tersebut sebagai “genosida.” Mereka bahkan memberikan “dana penelitian” pada para akademisi untuk menyebarkan sejarah dari “sudut pandang berbeda,” baik melalui pembelajaran dan tulisan-tulisannya.[6] Bahkan, akademisi yang menulis terkait genosida dibawa ke pengadilan dengan tuduhan menghina Turki dan masyarakatnya. Merespons pernyataan Biden, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menyatakan menolak setiap pernyataan Biden dengan menekankan bahwa Turki tidak akan belajar dari negara lain terkait sejarah Turki sendiri.[7] Turki juga menyatakan politik oportunis merupakan sebuah pengkhianatan tersebar pada perdamaian dan keadilan. Pernyataan ini menunjukkan kekecewaan dan ketegasan Turki merespons Biden yang mengusik isu domestiknya.
Masa lalu Turki dengan Armenia sudah cukup kompleks, ditambah lagi dengan AS yang sudah diperingatkan untuk tidak mengakui membuat Turki semakin dicap sebagai “pelanggar HAM.” Hal ini akan semakin memperburuk citra dan keinginan Turki dalam upaya bergabung dengan Uni Eropa sejak dulu. Turki lalu memanggil duta besar AS di Ankara sebagai bentuk protes keputusan presidennya. Turki menegaskan pernyataan tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional yang jelas dan melukai masyarakat Turki, sehingga seakan membuka luka lama dari hubungan AS-Turki yang malah memperburuk hubungan AS-Turki.[8] Isu sensitif ini menjadi pembuka telepon pertama Biden dengan Erdogan yang penting bagi masa depan hubungan AS-Turki.
[1] United Nations Office on Genocide Prevention and the Responsibility to Protect, (n.d), Definitions, United Nations, https://www.un.org/en/genocideprevention/genocide.shtml.
[2] DW, 2019, US lawmakers recognize killing of Armenians as genocide, DW, https://www.dw.com/en/us-lawmakers-recognize-killing-of-armenians-as-genocide/a-51041829
[3] Mirjam Gehrke dan Thomas Latschan, 2021, A look at the Armenian genocide, DW, https://www.dw.com/en/a-look-at-the-armenian-genocide/a-57299201.
[4] Miriam Berger, 2021, What it means for the U.S. to recognize massacre of Armenians as genocide, The Washington Post, https://www.washingtonpost.com/world/2021/04/22/armenia-genocide-recognize-biden-turkey/.
[5] Ibid.,
[6] Facing History and Ourselves, n.d., Genocide Denied, Facing History, https://www.facinghistory.org/holocaust-and-human-behavior/chapter-11/genocide-denied
[7] Miriam Berger, Op.cit.
[8] Al Jazeera, 2021, Turkey summons US ambassador after Armenian ‘genocide’ statement, AlJazeera, https://www.aljazeera.com/news/2021/4/25/turkey-summons-us-ambassador-after-armenian-genocide-statement