Isu Lingkungan

July 24 2023

Cadangan Nikel Kolombia: Sebuah Berkah dan Kutukan

Rifani Agnes Eka Wahyuni America, Economy, Health, Think Ekonomi, Isu Lingkungan, Kolombia, Nikel 0

Pemerintah Kolombia sangat ingin memperluas dan mendiversifikasi industri pertambangan negaranya dengan mengeksploitasi mineral-mineral penting, termasuk nikel, yang saat ini hanya ditambang di Cerro Matoso. Mengingat tingginya permintaan global terhadap mineral penting ini, nikel dapat menjadi sangat menguntungkan bagi industri pertambangan dan perekonomian Kolombia. Namun, pemerintah Kolombia tidak dapat mengabaikan isu-isu yang berkaitan dengan pertambangan nikel, termasuk perusakan lingkungan dan masalah kesehatan bagi para pekerja dan penduduk setempat. Bahkan kekerasan telah menjadi hal yang biasa terjadi di sekitar Cerro Matoso.

Nikel Kolombia

Operasi penambangan nikel Kolombia berpusat di tambang Cerro Matoso,[1] wilayah bagian departemen Cordoba, yang memiliki sekitar dua ribu pekerja dan mulai berproduksi pada tahun 1982. “Total cadangan di tambang ini berjumlah sedikit di bawah 300 kiloton nikel. Tambang ini merupakan salah satu tambang feronikel terbuka terbesar di dunia. Pada tahun 2023, tambang ini diperkirakan akan memproduksi 43,5 kiloton nikel, naik 4% dari tingkat produksi tahun 2022 sebesar 41,7 kiloton,” menurut laporan akhir Desember 2022. Demikian pula, dalam sebuah wawancara pada bulan September 2022 untuk El Colombiano,[2] Ricardo Gaviria, presiden Cerro Matoso, menjelaskan bahwa tambang tersebut diperkirakan akan menghasilkan lebih dari 41.000 ton nikel pada tahun 2022 dan diperkirakan akan melampaui 45.000 ton pada tahun 2023. Kolombia memiliki cadangan nikel terbesar kesepuluh di dunia.

Ekonom Tomás González, mantan menteri dan direktur Pusat Studi Energi Regional Kolombia (Centro Regional de Estudios de Energía: CREE),[3] menjelaskan kepada departemen Kolombia La Razon tentang pentingnya departemen Cordoba, di mana Cerro Matoso berada, untuk transisi energi Kolombia:

“Nikel adalah salah satu mineral dasar untuk transisi [energi global], semua sistem yang akan diperlukan untuk menghasilkan energi rendah emisi … nikel [akan diperlukan untuk memproduksinya], dan nikel ada di Cordoba, dan kita harus memikirkannya, tidak hanya tentang gas tetapi juga mineral strategis untuk transisi [energi].”[4]

Masa Depan Pertambangan Nikel di Kolombia

Pemerintah Kolombia ingin menciptakan sebanyak 30 area pertambangan baru di seluruh negeri.[5] Sebagai contoh, mengenai departemen Santander, laporan berita menunjukkan bahwa emas dapat ditambang di sana.[6] Pemerintahan Petro telah mengembangkan Rencana Pembangunan Nasional (Plan Nacional de Desarrollo: PND),[7] yang mencakup tujuan dan strategi untuk Kementerian Pertambangan dan Energi Kolombia (Ministerio de Energia y Minas). Menurut harian Kolombia El Colombiano, rencana tersebut menyatakan bahwa kebijakan pertambangan negara tersebut “akan diperbarui dengan penekanan pada penggunaan dan pengelolaan mekanisme untuk pengelolaan pertambangan yang berwawasan lingkungan” dan juga akan mempromosikan dan memprioritaskan “eksplorasi, ekstraksi, dan komersialisasi formal dari mineral-mineral strategis seperti tembaga, nikel, kobalt, dan litium.[8]

Dengan kata lain, nikel sangat penting bagi Bogota. Faktanya, nikel masuk dalam daftar mineral strategis pemerintah Kolombia. Menurut media Kolombia, Bogota berencana untuk menerbitkan Undang-Undang Pertambangan (Ley Minera) yang baru untuk mendukung perusahaan-perusahaan pertambangan kecil dan menengah, dengan fokus pada eksploitasi mineral-mineral penting, termasuk nikel.[9]

Entitas-entitas seperti Kamar Dagang Amerika-Kolombia (Camara de Comercio Colombo-Americana) mendukung penambangan nikel. Dalam sebuah siaran pers yang dikeluarkan pada tanggal 30 Mei lalu, Kamar Dagang Kolombia berpendapat bahwa Undang-Undang Pengurangan Inflasi 2022 di AS, yang mempromosikan teknologi ramah lingkungan untuk memerangi perubahan iklim, dapat meningkatkan penambangan tembaga dan nikel Kolombia.[10] Kamar Dagang Kolombia juga mencatat bahwa permintaan AS untuk nikel terus meningkat, dan Kolombia saat ini berada di peringkat ke-28 sebagai pemasok nikel terbesar di AS. Tambang-tambang nikel baru di seluruh Kolombia tidak diragukan lagi akan berarti bahwa pasokan ke AS akan meningkat, mengingat hubungan bilateral yang jelas antara kedua negara, termasuk Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) antara kedua negara. “Kolombia sudah menjadi produsen nikel kecil dan dapat mengalihkan produksi feronikelnya ke nikel sulfat, yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik (EV).”[11]

Menanggapi pertanyaan tentang di mana lagi nikel dapat ditemukan di negara Amerika Selatan karena Cerro Matoso adalah satu-satunya tambang yang memproduksi nikel, presiden tambang Gaviria optimis. “Dengan kebijakan perdamaian total oleh Presiden Gustavo Petro, kami berharap dapat mulai mengembangkan pekerjaan eksplorasi di [daerah lain] negara yang saat ini sangat kompleks karena masalah ketertiban umum, seperti Tarazá dan Ituango (Antioquia), serta di utara Nariño dan selatan Cauca … masih ada nikel yang dapat diekstraksi di seluruh negeri,” pungkasnya.[12]

Mengenai masa depan tambang nikel di departemen Cordoba, harian Kolombia El Tiempo mencatat pada tanggal 24 April yang lalu bahwa terdapat tiga deposit di Cordoba (Cerro Matoso, Planeta Rica, dan Uré) dan tiga deposit di departemen Antioquia (Ituango, Pelon, dan Medellin).[13] Gaviria dari Cerro Matoso mengatakan: “Kami sedang melakukan beberapa studi prospeksi di daerah yang dekat dengan proyek Queresas dan Provenir karena … mineral telah ditemukan. Kami sedang melakukan analisis akhir, tetapi ada sumber daya yang cukup untuk kemungkinan produksi.” Di sisi lain, ia mencatat bahwa proyek San José de Uré dibatalkan “karena tingkat prospeknya tidak cukup untuk berinvestasi dalam mengekstraksi nikel.” Pejabat senior tambang tersebut menegaskan bahwa Cerro Matoso akan mengikuti tujuan pemilik tambang South32 untuk mempromosikan operasi pertambangan yang berkelanjutan secara lingkungan dan mengurangi jejak karbon operasi hingga lebih dari 50% pada tahun 2030.[14]

Meskipun Cerro Matoso menguntungkan, tambang tersebut sering menjadi sasaran kritik karena beberapa alasan.

Kekayaan dan Kematian di Cerro Matos

Selain membawa keuntungan ada sisi lain dari dampak tambang Cerro Matoso di kota Montelíbano, Córdoba. “Jika Montelíbano dikenal karena satu hal, maka itu adalah tambang Cerro Matoso… di sepanjang rute menuju kota, truk-truk berdesakan satu sama lain di jalan-jalan sempit, mengangkut feronikel ke kota pelabuhan Cartagena. Dari sini, nikel dikirim ke Cina, Amerika Serikat, dan Eropa, di mana nikel digunakan untuk memproduksi produk baja tahan karat,” demikian penjelasan dari analisis harian Spanyol El Pais.[15]

Meskipun Cerro Matoso sangat penting bagi industri nikel bagi Kolombia sebagai sumber lapangan kerja dan pendapatan, tambang ini “dikecam oleh anggota masyarakat, jurnalis, dan kelompok-kelompok aktivis karena dampak negatifnya terhadap kesehatan dan lingkungan hidup pada masyarakat sekitar… Cerro Matoso menempati hampir 85 hektar lahan di tengah-tengah cagar alam milik masyarakat adat Zenu de l’Alto San Jorge. Beberapa masyarakat adat mengelilingi tambang, termasuk satu desa – Puerto Colombia – yang terletak hanya 750 meter dari tambang.”[16] Tinggal di sebelah tambang telah menyebabkan masalah kesehatan yang parah bagi penduduk.

Perusahaan tambang telah membantah semua tuduhan mengenai polusi udara. Namun, penduduk setempat dan karyawan tambang dilaporkan jatuh sakit, “banyak gas yang dilepaskan selama operasi ini… Gas-gas tersebut mengandung zat-zat yang seringkali bersifat karsinogenik, termasuk silika kristal yang dapat menyebabkan kanker,” ujar Victor Pineda,[17] mantan karyawan tambang. Pemilik tambang, South32, telah berjuang di pengadilan untuk melawan dugaan perusakan dan polusi yang disebabkan oleh tambang Cerro Matoso. Universitas Externado di Kolombia telah menganalisa salah satu kasus hukum yang menentang perusahaan tersebut.[18]

Selain itu, terdapat tuduhan bahwa perusahaan tambang tersebut membayar sebuah para militer yakni Klan Teluk (Cartel del Golfo) untuk diizinkan beroperasi, dan, pada gilirannya, paramiliter mengancam, melukai, dan bahkan membunuh orang-orang yang memprotes operasi tambang tersebut. Contoh kasus, jurnalis Kolombia Rafael Moreno dibunuh pada Oktober 2022, dilaporkan karena karya jurnalistiknya tentang korupsi di departemen Cordoba, termasuk tambang Cerro Matoso. Sejauh ini, kasusnya belum terselesaikan.[19]

Kolombia berfokus pada eksploitasi sumber daya mineralnya selama pemerintahan Petro. Rencana pembangunan baru pemerintah dan usulan undang-undang pertambangan menunjukkan bahwa pertambangan di seluruh negeri akan berkembang di tahun-tahun mendatang. Saat ini, hanya tambang Cerro Matoso di Cordoba yang menambang nikel di negara Amerika Selatan ini, tetapi pencarian cadangan baru sedang dilakukan. Kolombia tidak diragukan lagi dapat memperoleh keuntungan dari lebih banyak tambang nikel, dan Amerika Serikat, sekutu dekatnya, pasti akan menjadi importir yang bersedia mengimpor mineral penting ini; tetapi kita tidak boleh melupakan perusakan lingkungan hidup, dampak terhadap kesehatan manusia, dan bahkan kekerasan yang berkaitan dengan pertambangan nikel.

[1] Cerro matoso, Recognition of The Minsitry of Mines and Energy to Cerro Matoso, https://www.cerromatoso.com.co/

[2] El Colombiano, “We would look for nickel in Antioquia, Nariño and Cauca”: Cerro Matoso, 19 September 2022, https://www.elcolombiano.com/negocios/buscariamos-niquel-en-antioquia-narino-y-cauca-HK18654210

[3]CREE, Roadmap for the Energy Transition in Colombia 2050, Centro Regional de Estudios de Energía, https://creenergia.org/

[4] Larazon, ordoba is a strategic department for the country’s energy transition, https://larazon.co/cordoba/cordoba-es-un-departamento-estrategico-para-la-transicion-energetica-del-pais/

[5] El Colombiano, Copper, nickel, lithium and cobalt: Petro’s bet on energy transition, 5 Mei 2023, https://www.elcolombiano.com/negocios/economia/cobre-niquel-litio-y-cobalto-apuesta-para-la-transicion-GA21304534

[6] Vanguardia, What are the minerals for the energy transition in Colombia? Santander has a golden opportunity, 18 Februari 2023, https://www.vanguardia.com/economia/local/cuales-son-los-minerales-para-la-transicion-energetica-en-colombia-santander-tiene-una-oportunidad-de-oro-JN6294290

[7] DNP, National Development Plan 2022-2026, https://www.dnp.gov.co/plan-nacional-desarrollo/pnd-2022-2026

[8] El Colombiano, Copper, nickel, lithium and cobalt: Petro’s bet on energy transition, 5 Mei 2023, https://www.elcolombiano.com/negocios/economia/cobre-niquel-litio-y-cobalto-apuesta-para-la-transicion-GA21304534

[9] Ibid.

[10]AMCHAM Colombia, Copper and Nickel, the new export opportunities for Colombia in view of the energy transition in the U.S., 30 Mei 2023, https://amchamcolombia.co/es/noticias-colombia/cobre-y-niquel-las-nuevas-oportunidades-de-exportacion-para-colombia-ante-transicion-energetica-en-ee-uu/

[11] Wood Mackenzie, Colombia Could Lead Latin America Through The Energy Transition, Forbes, 22 Mei 2023, https://www.forbes.com/sites/woodmackenzie/2023/05/22/colombia-could-lead-latin-america-through-the-energy-transition/?sh=ba1b6ad37ed6

[12]El Colombiano, “We would look for nickel in Antioquia, Nariño and Cauca”: Cerro Matoso, 19 September 2022, https://www.elcolombiano.com/negocios/buscariamos-niquel-en-antioquia-narino-y-cauca-HK18654210

[13] Luz Ángela Domínguez Coral, Due to the adjustments made in some of the mines, nickel production has increased, El Tiempo, 24 April, 2023. https://www.eltiempo.com/economia/sectores/minas-de-niquel-en-colombia-en-2023-762178

[14] El Colombiano, “We would look for nickel in Antioquia, Nariño and Cauca”: Cerro Matoso, 19 September 2022, https://www.elcolombiano.com/negocios/buscariamos-niquel-en-antioquia-narino-y-cauca-HK18654210

[15]Aïda Delpuech, Rafael Project:How mining Companies bleed the land dry in Colombia, El Pais, 18 April 2023, https://english.elpais.com/international/2023-04-18/rafael-project-how-mining-companies-bleed-the-land-dry-in-colombia.html

[16] Ibid.

[17] Opt.Ibid.

[18] Juan Manuel López Guarín, Yury Moncayo Cabrera, Cerromatoso and the environmental and socioeconomic impacts of nickel mining on the surrounding communities: a look at judgment T-733 of 2017., Universidad Externado de Colombia, 10 November 2021. https://derechos-humanos-y-empresas.uexternado.edu.co/2021/11/10/cerromatoso-y-los-impactos-ambientales-y-socioeconomicos-por-la-extraccion-de-niquel-a-las-comunidades-aledanas-una-mirada-a-la-sentencia-t-733-de-2017/

[19]France 24, Six months after the assassination of Colombian journalist Rafael Moreno, his investigations revealed, 18 April 2023, https://www.france24.com/es/am%C3%A9rica-latina/20230418-a-seis-meses-del-asesinato-del-periodista-colombiano-rafael-moreno-sus-investigaciones-se-revelaron

March 30 2023

Water Insecurity: Negara-negara Asia harus bekerja sama untuk mengatasinya

Rifani Agnes Eka Wahyuni Asia Pacific, Climate, Think Air, Asia, Isu Lingkungan, Kekeringan 0

Ancaman laten akan kelangkaan air sedang dihadapi seluruh negara khususnya di Asia. Secara global dunia saat ini sedang menghadapi krisis air yang akan segera terjadi. Sebuah laporan terbaru dari Komisi Global untuk Ekonomi Air memperingatkan bahwa permintaan global akan air tawar akan melebihi pasokan sebesar 40% pada akhir dekade ini.

Begitupun Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa Indonesia akan mengalami musim kemarau 2023 yang lebih kering dibandingkan tiga tahun terakhir. Hal ini dikarenakan kondisi La Nina selama tiga tahun sejak 2020 hingga 2022 yang berdampak pada iklim basah intensitasnya mulai melemah. Efek daripada peningkatan kekeringan ini maka dapat berpotensi menimbulkan terjadinya kebakaran hutan di Indoensia. Sehingga pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah antisipatif untuk meminimalkan potensi dampak kekeringan sebagai konsekuensi kondisi curah hujan rendah tersebut.

Beberapa instasi terkait telah mengupayakan langkah antisipasi seperti yang disampaikan oleh BRIN yang mempersiapkan Teknologi Modifikasi Cuaca dan menjalin komunikasi dengan kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan beberapa pengelola waduk. Dimana PUPR telah membentuk badan pengelolaan bendungan guna mensiagakan semua bendungan yang ada untuk meminimalisir dampak kekeringan. Selain itu PUPR menginventarisasi sarana prasarana yang sudah ada untuk pengelolaan dan melakukan kegiatan operasi pemeliharaan seluruh sumur eksisting yang ada. BRIN juga menjalin kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KHLK) dan Badan Restorasi Gambut Dan Mangrove (BRGM) untuk keperluan pembasahan lahan gambut guna mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan.

Di Asia sendiri, sebagian besar air berasal dari Dataran Tinggi Tibet dan wilayah Hindu Kush-Himalaya di sekitarnya yang dikenal sebagai ‘menara air Asia’, dimana merupakan sumber mata air dari 10 sungai utama. Kawasan ini menyimpan cadangan salju dan es terbesar ketiga di dunia setelah Kutub Utara dan Antartika, dan menyediakan air bersih bagi hampir 2 miliar orang, atau sekitar 25% dari populasi global. Namun, itu masih belum cukup. Lebih dari 50% populasi dunia yang tinggal di Asia, namun pasokan air tawar di kawasan ini hanya mencapai 3.920 meter kubik per orang per tahun-kurang dari benua mana pun selain Antartika. Dampak dari perubahan iklim, pertumbuhan penduduk yang cepat, dan permintaan air yang bersaing dari rumah tangga, pertanian, dan industri memberikan tekanan yang semakin besar terhadap sumber daya air yang terbatas di Asia.

Selain itu, pembagian sumber daya air antar negara dapat memperburuk ketegangan geopolitik. Air secara inheren terkait dengan pembangunan ekonomi, perubahan iklim, dan pertumbuhan populasi, dan pola aliran air dapat bergerak melintasi batas-batas politik dan berfluktuasi dalam volume sepanjang tahun. Akses dan kontrol terhadap saluran air dan sumber air dapat memberikan dukungan strategis dan stabilitas domestik bagi suatu negara. Hal ini pada gilirannya dapat memberikan pengaruh terhadap negara lain dan pengaruh yang lebih besar terhadap proyeksi militer dan perdagangan.

Masalah ini diperparah oleh proyek-proyek mega-hydroengineering seperti bendungan pembangkit listrik tenaga air di sungai-sungai besar lintas negara. Selain memaksakan rasa kekuasaan dan nasionalisme, proyek-proyek ini dapat meningkatkan kekhawatiran akan kelangkaan air di negara-negara tepi sungai, meningkatkan persaingan untuk mendapatkan akses dan kontrol atas sumber daya. China, ‘negara adidaya hulu’ dan hegemon hidro regional, telah membangun banyak bendungan pembangkit listrik tenaga air di sungai-sungai lintas batas tanpa mengadopsi kebijakan sungai lintas batas yang independen atau menandatangani perjanjian air lintas batas internasional. Hal ini membuat negara-negara di bagian hilir khawatir. Namun, China tidak sendirian. India, Tajikistan, dan Laos juga telah menerapkan pendekatan yang berfokus pada teknik untuk pengelolaan air domestik, yang membuat negara-negara tetangganya khawatir.

Selain itu, negara-negara Asia lainnya juga harus khawatir dengan peristiwa cuaca yang disebabkan oleh perubahan iklim yang memperburuk tekanan air, polusi air, dan eksploitasi air tanah, yang secara signifikan mengganggu kestabilan pasokan air, makanan, dan energi.

Pada tahun 2022, kekeringan di lembah Sungai Yangtze di China berdampak pada sekitar 900 juta orang di 17 provinsi. Kekeringan ini juga mengancam rantai pasokan industri di luar negeri, terutama ke Eropa dan Amerika Serikat, karena pabrik-pabrik tutup dan permukaan air di sungai-sungai di Tiongkok menjadi terlalu rendah untuk dilayari oleh kapal-kapal. Sungai Yangtze mengangkut kargo tahunan lebih dari 3 miliar ton, sehingga kekeringan memaksa China untuk mengganti kapal-kapal menjadi sejumlah besar truk untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Aksesbilitas air di prediksi akan terus memburuk di tahun-tahun mendatang. Berdasarkan lintasan dan tren saat ini, sumber daya air tawar akan terus berkurang, meningkatkan persaingan untuk sumber daya di masing-masing negara dan lintas batas. Proyek-proyek nasional yang sedang berlangsung untuk mengalihkan air, seperti proyek Red Flag River di China, akan berdampak lebih jauh pada pasokan di negara-negara tetangga.

Kawasan Asia selama ini tidak melakukan cukup banyak hal untuk mengatasi masalah ini-kebijakan yang lemah dan kurangnya kolaborasi yang kuat antar pemerintah di Asia. Negara-negara Asia harus memperlakukan air sebagai kepentingan bersama dan meningkatkan praktik pengelolaan air, tidak hanya untuk mengatasi krisis saat ini dan memenuhi permintaan di masa depan, tetapi juga untuk menghindari ketidakstabilan sosial ekonomi dan gejolak politik.

Di dalam negeri, negara-negara Asia perlu menggalang dukungan institusional, meningkatkan efisiensi air, dan berinvestasi pada solusi alternatif seperti penggunaan kembali air untuk pasokan air minum dan nonminum. Selain itu pemerintah negara-negara Asia termasuk Indonesia juga perlu membangun kerangka kerja yang mengakui peran sentral air dalam membentuk perubahan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan, serta meningkatkan kesadaran publik dan menyiapkan program pendidikan.

Di tingkat regional, pemerintah Asia harus mengoordinasikan kebijakan, berkolaborasi dalam proyek-proyek bersama, dan berbagi data secara real-time. Hal ini sangat penting dalam menghadapi kejadian cuaca ekstrem seperti banjir, karena akan memungkinkan negara-negara yang berbatasan langsung dengan sungai untuk mengelola sumber daya dalam negeri dengan lebih baik dan mengurangi paparan risiko terhadap tekanan lintas batas. Hal ini juga akan membantu meredakan ketegangan antara negara hulu dan hilir dan mendorong negara-negara tepi sungai untuk menghindari ketergantungan yang berlebihan pada sumber daya air lintas batas. Organisasi bilateral dan multilateral di kawasan ini juga harus menjadikan kerja sama air dan inisiatif diplomasi terkait sebagai prioritas utama.

Ketidakamanan air akan menjadi salah satu isu geopolitik utama abad ini, terutama di Asia. Pemerintah di negara Asia harus bertindak sekarang dan mengadopsi pendekatan yang lebih radikal dalam menilai dan mengelola pasokan air.

June 28 2021

China Menyusul Eropa dalam Pengembangan Energi Terbarukan?

Chatrine Debora News China, Energi terbarukan, Eropa, Isu Lingkungan, Lingkungan 0

Pembahasan terkait transisi penggunaan energi “kotor” merujuk pada batu bara, minyak bumi ke penggunaan energi “bersih” yakni energi terbarukan seperti dari sinar matahari, panas bumi, angin, dll., terus digalakkan. Hal ini dilakukan agar dunia semakin mengembangkan riset dan teknologinya dalam mendukung transisi energi global yang menghasilkan emisi dan polusi ke sumber energi terbarukan demi menjaga lingkungan dan aspek lain yang turut terdampak seperti ekonomi.

China dan Amerika Serikat (AS) menjadi dua negara tertinggi penghasil emisi karbon, di mana riset tahun 2019 dari Grup Rhodium menyatakan China menghasilkan sebesar 27 persen emisi, disusul Amerika yang berkisar kurang dari setengahnya yakni 11 persen. Indonesia juga menjadi negara teratas kelima setelah negara anggota Uni Eropa yang menghasilkan emisi sebanyak 3,4 persen di dunia.

Data dari Carbon Brief menunjukkan bahwa China masih menempati peringkat teratas penghasil emisi, meskipun sempat turun sebanyak 3 persen dikarenakan pandemi, namun mengingat pemulihan ekonomi China yang cukup cepat, jumlah emisi yang dihasilkan juga turut meningkat. Bahkan di kuartal pertama 2021 saja, emisi karbondioksida China naik menjadi 14,5 persen karena tingginya permintaan dan impor untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Target “Netralitas Karbon”

Sama seperti kebanyakan negara, terdapat target dari negara untuk mencapai pengurangan emisi karbon, termasuk China yang menargetkan “netral karbon” atau net zero emission pada tahun 2060. Netral karbon sendiri didefinisikan sebagai penghilangan semua emisi gas rumah kaca buatan manusia dari atmosfer sehingga suhu global menjadi lebih stabil. Memang perlu digaris bawahi, upaya netralitas dan transisi ke energi terbarukan tidaklah mudah dan murah, namun juga bukan berarti tidak bisa dilakukan. Transisi energi ini memerlukan pengembangan riset dan teknologi canggih, kekuatan kebijakan politik, dan investasi pasar yang mendukung di semua sektornya. Selain itu, diperlukan juga komitmen negara dan perusahaan-perusahaan yang masih sulit lepas dari energi “kotor” dalam aktivitas operasionalnya.

Meskipun begitu, China cukup menganggap serius energi terbarukan, terutama penggunaan angin yang bisa digunakan untuk irigasi pada aspek pertanian. China berhasil menjadi negara kapasitas listrik terbesar dengan kapasitas 100GW yang mana 1 GW saja mampu memberikan daya ke lebih dari 300,000 rumah. Hal ini dikarenakan adanya transisi energi angin dengan pembangunan fasilitas energi angin sejak 2020 lalu di wilayah Gansu yang lebih banyak dibandingkan negara-negara lain di Asia dan juga Eropa yang sudah lebih dahulu menggunakan energi angin di negaranya.

Secara hukum dan kebijakan, China mengembangkan pengaturan terkait agenda energi hijaunya, termasuk mendorong investasi perusahaan dalam mendukung strategi inovasi energi tersebut. Hal ini dikarenakan pengaturan di China cenderung lebih cepat dibanding di Eropa yang “lambat dan rumit” karena memerlukan “integrasi” internal dan kolektif.

Pembangunan fasilitas energi angin China juga tidak hanya dilakukan di domestik, namun di wilayah Asia yakni Kazahktan dan Afrika Selatan. Berbagai pembangunan di wilayah domestik dan global ini tidak hanya memberikan solusi pada situasi di domestik, namun juga menunjukkan upaya China mencapai kepemimpinan politik lingkungan China dalam mengatasi urgensi krisis iklim di berbagai wilayah global.