Satu keluarga Palestina dipindahkan dari rumah mereka sendiri di wilayah Sheikh Jarrah di Jerusalem Timur. Keluarga ini dipindahkan oleh Polisi Israel, penggusuran itu dilakukan setelah persetujuan pengadilan distrik bahwa wilayah tersebut akan menjadi wilayah sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus setempat.
Penggusuran direncanakan akan berjalan pada 17 Januari 2022. Hal ini akan dikerjakan oleh Polisi Israel dibantu oleh pekerja kota dan buldoser serta mesin berat lainnya. Namun masyarakat Palestina di daerah tersebut yang menentang penggusuran rumah keluarga tersebut berusaha mempertahankannya dengan berdiri di atas atap rumah yang akan digusur. Rumah tersebut diisi oleh seorang suami bernama Mahmud Salhiya, istri dan lima anaknya.
Karena tentangan dari pemilik rumah, penggusuran itu dimulai kembali pada Rabu, 19 Januari 2021 dengan menggusur keluarga Palestina tersebut. Dalam rekaman audio yang didistribusikan ke media lokal berbahasa Arab, Meital istri Sahilya, yang berbicara bahasa Arab, mengatakan keluarga itu dibangunkan Rabu pagi oleh suara ledakan keras dan polisi telah memutuskan aliran listrik yang dibenarkan oleh saksi mata. Akibatnya aksi protes terjadi, Polisi Israel menangkap sedikitnya 18 orang saat mereka melakukan perintah pengusiran kontroversial di lingkungan Sheikh Jarrah Rabu pagi.
Rencana penggusuran ini telah diinformasikan sejak tahun 2017 oleh pihak Israel. Menurut pihak berwenang Israel, masyarakat di wilayah ilegal tersebut telah diberi banyak kesempatan oleh Pemerintah Jerusalem untuk menyerahkan tanahnya dengan persetujuan. Namun, para keluarga tersebut menolak dan bersikeras tinggal di wilayah tersebut.
Perwakilan Uni Eropa di Yerusalem yang memimpin delegasi diplomat menunjukkan dukungan bagi keluarga itu pada Senin. Mereka meminta pihak berwenang untuk meredakan situasi. Tindakan ini dinilai merusak perdamaian di wilayah tersebut.
Pada Mei tahun 2021, permasalahan yang sama memicu perang 11 hari antara pihak Israel dan faksi-faksi bersenjata Palestina di Gaza. Pertentangan atas penggusuran rumah-rumah itu merupakan simbol oposisi masyarakat Palestina terhadap pendudukan Israel.
Wakil Wali Kota Yerusalem Fleur Hassan-Nahoum mengatakan kepada AFP, bahwa penggusuran rumah Salhiya kali ini “benar-benar berbeda” dari peristiwa di bulan Mei tahun 2021, ketika orang-orang Palestina dipaksa untuk menyerahkan sebidang tanah kepada pemukim Yahudi.
Direktur Human Rights Watch Israel dan Palestina Omar Shakir menyebut “pengusiran paksa keluarga Salhiyah” sebagai “kejahatan perang.” Shakir mencatat bahwa keluarga itu sebelumnya telah dipaksa keluar dari rumah mereka di Yerusalem barat selama pembentukan Israel pada tahun 1948, dan penggusuran pada hari Rabu membuat mereka menjadi “pengungsi dua kali”.