Langkah ekonomi terbaru Presiden Donald Trump, yang dijuluki Liberal Day atau “Hari Pembebasan” menjadi langkah Trump untuk menerapkan tarif besar-besaran pada berbagai macam impor ke Amerika Serikat (AS). Meskipun rinciannya masih belum pasti, tujuan pemerintah jelas: memberlakukan tarif yang cukup besar dalam upaya untuk memperbaiki ‘ketidakseimbangan perdagangan global’ dan menghasilkan pendapatan tambahan untuk restrukturisasi pemerintah yang radikal.
Namun, para ahli ekonomi memperingatkan bahwa tarif ini dapat menjadi bumerang, membebani konsumen Amerika dengan harga yang lebih tinggi dan berpotensi memicu resesi. Para kritikus khawatir bahwa langkah ini dapat memicu tarif pembalasan dari sekutu-sekutu AS, yang akan semakin mengganggu perdagangan global. Beberapa ahli juga mengkritik Trump dengan menyatakan Trump tidak mengerti ekonomi.
Tanggapan Eropa: Pembalasan di Depan Mata
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen telah mengisyaratkan bahwa Uni Eropa siap untuk melawan kebijakan proteksionisme Trump. “Eropa belum memulai konfrontasi ini,” katanya, menekankan bahwa meskipun Uni Eropa tidak mencari konflik, Uni Eropa akan merespons jika diperlukan.
Sentimen publik di seluruh Eropa bergeser dalam menanggapi tarif Trump. Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan meningkatnya sentimen anti-AS di Prancis dan Jerman, dengan konsumen Eropa mempertimbangkan untuk memboikot barang-barang Amerika. Kanada, di bawah Perdana Menteri Mark Carney yang baru terpilih, juga telah menjauhkan diri dari AS, dengan Carney menyatakan bahwa hubungan yang telah berlangsung lama antara kedua negara “telah berakhir.”
Beda dengan Eropa, Rusia tidak kena tarif impor Trump. Pejabat AS menyatakan hal ini dikarenakan sanksi dari perang Ukraina sudah membuat perdagangan kedua negara jadi nol.
China: Penerima Manfaat yang Tak Terduga
Ketika ketegangan antara AS dan Eropa meningkat, China melihat sebuah peluang. Para analis di Beijing percaya bahwa tarif Trump dapat merusak hubungan transatlantik lebih lanjut, yang berpotensi mendorong Eropa untuk menjalin hubungan ekonomi yang lebih dekat dengan China. Pemerintahan Biden sebelumnya telah berupaya menyelaraskan Eropa dengan pendekatan Washington ke Beijing, tetapi kebijakan perdagangan Trump tampaknya mengurai kemajuan tersebut.
Kekuatan ekonomi Asia, Jepang dan Korea Selatan, juga mengikuti perkembangan ini. Setelah pengumuman tarif Trump, Tokyo, Seoul, dan Beijing terlibat dalam dialog ekonomi strategis pertama mereka dalam lima tahun terakhir. Meskipun Jepang dan Korea Selatan tetap mewaspadai China, kebijakan Trump dapat mendorong mereka untuk bersikap lebih kooperatif dengan Beijing.
Amerika Serikat: Pergeseran Menuju Proteksionisme
Kebijakan-kebijakan Trump merupakan perubahan besar dari strategi ekonomi tradisional AS. Para ahli seperti Michael Froman, presiden Dewan Hubungan Luar Negeri, berpendapat bahwa AS sekarang merangkul nasionalisme ekonomi yang sangat mirip dengan model yang dikendalikan oleh negara di China. “Amerika Serikat sekarang beroperasi sebagian besar sesuai dengan standar Beijing,” tulis Froman, menyoroti ketergantungan Washington yang semakin meningkat pada tarif, subsidi, dan kebijakan industri.
Memang, pergeseran ke arah proteksionisme ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pendekatan Trump. Meskipun pemerintahannya berharap tarif akan membawa pekerjaan manufaktur kembali ke AS, bukti historis menunjukkan sebaliknya. Sebuah studi tahun 2024 oleh peneliti Federal Reserve, Aaron Flaaen dan Justin Pierce, menemukan bahwa tarif Trump pada tahun 2018 atas impor China menyebabkan hilangnya pekerjaan di bidang manufaktur daripada keuntungan karena biaya input yang lebih tinggi dan tarif pembalasan lebih besar daripada keuntungan dari proteksi impor.
Selain itu, pendekatan Trump yang tidak dapat diprediksi terhadap kebijakan perdagangan, menerapkan tarif di satu hari dan mencabutnya di hari berikutnya, telah menciptakan ketidakpastian bagi dunia usaha. Banyak perusahaan lebih memilih lingkungan regulasi yang stabil untuk merencanakan investasi jangka panjang, dan perubahan kebijakan yang sering terjadi dapat membuat perusahaan domestik dan asing enggan untuk memperluas operasi mereka di AS.
Indonesia dan ASEAN
Kementerian Luar Negeri Indonesia pada Kamis (3/4/2025) menyatakan bahwa Indonesia sudah menyiapkan langkah untuk merespons kebijakan baru Trump, termasuk dengan melakukan komunikasi dengan Malaysia guna mendiskusikan langkah bersama negara-negara ASEAN terkait dampak pengenaan tarif AS.
Trump mengenakan tarif timbal balik pada negara-negara anggota ASEAN dengan persentase berbeda; seperti untuk Indonesia sebesar 32 persen, Malaysia 24 persen, Singapura 10 persen, dan lain-lain. Menanggapi hal ini, Indonesia menyatakan akan terus melakukan komunikasi dengan pemerintah AS dalam berbagai tingkatan guna melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah AS. Tarif timbal balik akan memberi dampak pada daya saing ekspor Indonesia ke AS, di mana produk ekspor Indonesia yakni elektronik, tekstil, alas kaki, palm oil, dan lain-lain.