Upaya Melindungi Generasi Muda Australia: Kontroversi dan Tantangan Larangan Media Sosial untuk Anak
![66d90c08a2731 66d90c08a2731](https://dip.or.id/wp-content/uploads/2024/12/66d90c08a2731-1024x683-1024x585.jpg)
Australia telah mengesahkan undang-undang yang melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan platform media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, Snapchat, dan X (sebelumnya Twitter). Undang-undang ini disetujui oleh DPR pada 27 November 2024 dan Senat pada 28 November 2024. Dalam peraturan tersebut, anak-anak di bawah 16 tahun tidak diperbolehkan memiliki akun media sosial. Perusahaan teknologi yang melanggar aturan ini pun dapat dikenakan denda hingga AU$50 juta atau sekitar Rp516 miliar. Adapun uji coba untuk metode pencegahan akses anak-anak ke media sosial akan dijadwalkan mulai Januari 2025, sementara larangan resmi akan diberlakukan satu tahun setelahnya.
Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menyatakan bahwa undang-undang ini bertujuan untuk melindungi kesehatan mental dan kesejahteraan anak-anak, serta memberikan pelindungan dari dampak negatif media sosial. Namun, langkah ini memicu reaksi beragam. Sementara banyak pihak mendukungnya sebagai langkah pelindungan generasi muda, sejumlah aktivis hak digital mengkritik kebijakan tersebut. Mereka menilai larangan ini mungkin tidak efektif dan berpotensi mengesampingkan manfaat positif media sosial dalam hal pendidikan serta interaksi sosial.
Australia menjadi negara pertama yang menerapkan pembatasan usia ini secara total tanpa pengecualian izin orang tua, berbeda dengan kebijakan di negara lain seperti Prancis dan beberapa wilayah di Amerika Serikat yang masih memberikan syarat tertentu. Langkah ini bertujuan melindungi kesehatan mental dan fisik anak-anak Australia, dengan menekankan bahwa tanggung jawab ada pada platform, bukan pada orang tua atau anak-anak.
Meskipun demikian, terdapat kekhawatiran mengenai bagaimana platform akan memverifikasi usia pengguna tanpa melanggar privasi. Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini dapat mendorong anak-anak beralih ke sudut internet yang kurang aman. Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai verifikasi usia pengguna tanpa melanggar privasi. Platform tidak diizinkan untuk meminta bukti identitas seperti KTP digital, yang dapat menyulitkan mereka dalam memastikan bahwa pengguna memenuhi batas usia minimum. Beberapa pihak juga mencemaskan bahwa kebijakan ini dapat mendorong anak-anak beralih ke “sudut gelap internet,” di mana mereka mungkin lebih rentan terhadap risiko keamanan online. Pemerintah Australia menegaskan bahwa undang-undang ini dirancang untuk mendukung orang tua dan melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial, seperti risiko kesehatan mental dan paparan konten yang tidak pantas.
Langkah pelindungan kesehatan mental
Penggunaan media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, namun dampaknya terhadap kesehatan mental sering kali menimbulkan kekhawatiran. Salah satu isu utama adalah tekanan dan perbandingan sosial yang muncul dari paparan unggahan kehidupan yang tampak sempurna. Hal ini dapat membuat individu merasa rendah diri atau tidak memadai, sehingga memicu perasaan cemas dan depresi. Selain itu, penggunaan media sosial yang berlebihan sering kali menyebabkan kecanduan, yang tidak hanya berdampak pada waktu yang dihabiskan tetapi juga mengganggu keseimbangan kehidupan nyata dan kualitas tidur. Cahaya layar gawai, terutama saat digunakan sebelum tidur, menghambat produksi hormon melatonin yang penting untuk istirahat yang optimal, sehingga berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental.
Fenomena seperti cyberbullying juga menambah beban psikologis pengguna. Anonimitas di media sosial sering digunakan untuk melakukan pelecehan, yang dapat menyebabkan stres, depresi, dan bahkan trauma jangka panjang. Tak hanya itu, melihat unggahan orang lain yang tampak lebih sukses atau bahagia dapat mengikis rasa percaya diri, menimbulkan ketidakpuasan terhadap diri sendiri, dan meningkatkan risiko depresi serta kecemasan. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang menggunakan media sosial lebih dari tiga jam per hari memiliki kemungkinan lebih besar mengalami gangguan mental. Penggunaan media sosial yang tidak terkendali juga berpotensi menghilangkan kontrol atas waktu, mengabaikan aktivitas dunia nyata, dan memperburuk kualitas hidup secara keseluruhan.
Pengesahan undang-undang yang melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan platform media sosial oleh pemerintah Australia merupakan langkah berani untuk melindungi kesehatan mental generasi muda. Meskipun memiliki tujuan yang jelas, implementasi undang-undang ini menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan utama adalah memastikan verifikasi usia tanpa melanggar privasi pengguna. Larangan meminta dokumen identitas seperti KTP digital membuat perusahaan teknologi harus mencari solusi inovatif yang tidak mengancam privasi data,diiringi dengan adanya kekhawatiran bahwa pembatasan ini dapat memicu anak-anak mencari alternatif di sudut internet yang kurang aman atau menggunakan akun palsu.
Tantangan lainnya adalah dampak terhadap akses anak-anak ke manfaat positif media sosial. Platform ini dapat menjadi alat edukasi, eksplorasi minat, dan koneksi sosial yang bermanfaat. Tanpa strategi mitigasi, kebijakan ini dapat mengesampingkan manfaat tersebut, terutama bagi anak-anak yang menggunakannya secara sehat dan bertanggung jawab.
Kebijakan ini memicu reaksi beragam. Pendukungnya memuji langkah ini sebagai perlindungan terhadap generasi muda dari risiko jangka panjang. Namun, para kritikus, termasuk aktivis hak digital, menilai kebijakan ini terlalu keras dan berpotensi tidak efektif dalam mengatasi akar masalah. Mereka mengusulkan pendekatan yang lebih seimbang, seperti peningkatan literasi digital dan edukasi tentang penggunaan media sosial yang sehat.
Australia menjadi pelopor dalam pembatasan usia yang total tanpa pengecualian izin orang tua. Langkah ini menarik perhatian global dan dapat memengaruhi negara lain untuk mempertimbangkan kebijakan serupa. Jika berhasil, kebijakan ini dapat menjadi model untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman bagi anak-anak, namun dengan tetap memikirkan solusi agar manfaat positif yang bisa didapatkan dari media tersebut dapat tetap didapatkan dengan cara aman lainnya.