Dampak Taktis dan Strategis Akibat Prototipe Pesawat Tempur Generasi Ke-6 China
Pada 26 Desember 2024 dunia penerbangan militer dikejutkan pada saat prototipe pesawat tempur generasi ke-6 buatan Republik Rakyat China (RRC) melaksanakan penerbangan perdana dengan pengawalan pesawat tempur generasi ke-5 Chengdu J-20. Penerbangan perdana tersebut dilaksanakan di dekat Kota Chengdu, Provinsi Sichuan. Berdasarkan video yang telah diunggah di media sosial X/Twitter, prototipe pesawat tempur generasi ke-6 tersebut memiliki desain unik karena tidak memiliki ekor dan memiliki bodi yang terintegrasi dengan sayap delta. Selain itu terdapat video lain yang menunjukan China melakukan penerbangan perdana bagi prototipe serupa dengan ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan pesawat yang terbang melewati Chengdu. Beredarnya kedua video tersebut merupakan kejutan besar bagi dunia penerbangan militer karena hal tersebut menunjukan China telah melampaui negara-negara barat dalam pengembangan pesawat tempur generasi ke-6.
Sebelumnya pada September 2022 kepala Komando Pertempuran Udara (ACC) Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) Jendral Mark D. Kelly menyampaikan bahwa pesawat tempur generasi ke-6 buatan China akan memiliki kapabilitas siluman dan sensor yang lebih baik karena pesawat akan memiliki kapabilitas system of systems. Kapabilitas ini tidak hanya dimiliki oleh prototipe buatan China karena program pesawat tempur generasi ke-6 negara-negara lain yang masih berlanjut seperti Next Generation Air Dominance (NGAD) Amerika Serikat dan program Global Combat Air Programme (G-CAP) juga memiliki kapabilitas serupa. Jika China berhasil menyelesaikan uji coba pesawat tempur generasi ke-6 mereka dan melaksanakan produksi massal, hal tersebut akan memberikan keuntungan strategis dan taktis waktu damai dan perang. Dalam konteks waktu damai, pesawat tempur generasi ke-6 China dapat digunakan sebagai instrumen tameng (deterrence) untuk menghalau negara-negara lain yang berpotensi menyerang China. Sementara itu dalam konteks waktu perang, pesawat tempur generasi ke-6 force multiplier yang dapat mengimbangi kekuatan musuh yang lebih kuat.
Berdasarkan analisis yang diterbitkan oleh The Warzone pesawat yang sedang melakukan penerbangan perdana kemungkinan merupakan prototipe bagi program pesawat taktis JH-XX. Program ini merupakan upaya yang dilakukan oleh China untuk mengimbangi perimbangan kekuatan (balance of power) di kawasan Indo-Pasifik. Tujuan dari program JH-XX adalah untuk mengembangkan sebuah pesawat tempur pengebom taktis siluman yang dapat menghancurkan target di kawasan regional dan global. Untuk mencapai target tersebut pesawat program JH-XX diperkirakan memiliki jangkauan terbang sejauh 4,000 hingga 5,000 mil dan mampumengangkut berbagai persenjataan presisi tinggi dalam bodi mereka seperti bom berpemandu, rudal anti-radar, rudal anti-kapal, dan rudal penjelajah. Persyaratan yang diberikan merupakantantangan besar bagi lembaga pengembangan dan industri pertahanan China karena mereka harus merancang sebuah desain yang dapat mengakomodasi seluruh persyaratan yang dituntut oleh Angkatan Udara China (PLAAF).
Atas persyaratan tersebut dapat dilihat bahwa prototipe yang terbang melewati Chengdu, yang dinamakan J-36, memiliki badan yang lebih besar sehingga dapat disimpulkan pesawattersebut mampu terbang tinggi, membawa bahan bakar dalam jumlah besar, serta mengangkut persenjataan presisi tinggi yang banyak. Kapabilitas ini merupakan sebuah indikasi bahwa J-36akan digunakan sebagai pesawat pengebom siluman seperti F-117 Nighthawk, B-2 Spirit, dan B-21 Raider buatan Amerika Serikat. Sebagai pesawat pengebom siluman, tugas utama dari J-36adalah untuk menghancurkan alat utama sistem persenjataan (alutsista) strategis musuh seperti kapal tanker, kargo, sistem pertahanan udara yang dapat membantu pasukan musuh dalam melancarkan serangan mereka. Selain itu J-36 juga bisa digunakan sebagai instrumen power projection karena pesawat tersebut memiliki kapabilitas siluman yang unggul dibandingkan dengan pesawat tempur generasi ke-5 seperti Chengdu J-20, F/A 22 Raptor, dan F-35 Lightning. Kapabilitas siluman ini dapat digunakan oleh J-36 untuk mengintai dan menyerang infrastruktur musuh agar kapabilitas logistik dan command and control (C2) mereka tergerus. Kedua kapabilitas ini merupakan ancaman besar bagi USAF karena prototipe J-36 dapat digunakan oleh Angkatan PLAAF sebagai force multiplier untuk menggerus keuntungan supremasi udara yang selalu dimiliki oleh Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) dalam waktu perang.
Untuk menghadapi ancaman baru ini hal yang perlu dilakukan Amerika Serikat dan negara sekutunya adalah untuk mempercepat pengembangan program NGAD dan G-CAP untuk mengimbangi perimbangan kekuatan di kawasan Indo-Pasifik. Dalam konteks ini nasib G-CAP cukup terang karena negara-negara yang berkontribusi dalam program tersebut yakni Jepang, Italia, dan Inggris telah sepakat untuk mempercepat pengembangan pesawat tempur tersebut. Akan tetapi nasib dari program NGAD kurang jelas karena terdapat kritik dari berbagai pihakterhadap biaya yang perlu dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat untuk mengembangkan pesawat tempur generasi ke-6 tersebut. Selain itu terdapat juga dorongan dari beberapa pihakuntuk menghentikan proyek tersebut. Untuk memastikan bahwa hal tersebut tidak terjadi Presiden Donald Trump perlu diyakinkan bahwa program tersebut dapat menguntungkan Amerika Serikat dan sekaligus menghemat biaya. Menanggapi kritik tentang penghematan biaya program NGAD, Kepala Departemen Angkatan Udara Kementerian Pertahanan Amerika Serikat Frank Kendall menyatakan terdapat kemungkinan pesawat yang dihasilkan dari program NGAD dapat diproduksi massal dengan harga yang lebih murah dibandingkan F-35 Lightning. Akan tetapi Kendall juga menyatakan penghematan tersebut dapat dilakukan jika program NGAD mengorbankan beberapa aspek yang sebelumnya harus dimiliki oleh pesawat tersebut seperti jarak tempur jauh dan kemampuan untuk mengangkut persenjataan presisi tinggi yang banyak.