Uni Eropa menyatakan akan menarik duta besarnya untuk Niger di tengah-tengah meningkatnya ketegangan politik kedua pihak dikarenakan permasalahan alokasi bantuan kemanusiaan sebesar 1,3juta Euro. Langkah ini diambil menyusul tuduhan dari junta militer Niger bahwa Uni Eropa telah mengabaikan otoritas lokal dengan mengarahkan bantuan untuk korban banjir langsung ke organisasi lokal setempat. Uni Eropa mengumumkan bahwa mereka telah memanggil kembali Salvador Pinto da França, duta besarnya untuk Niger, untuk melakukan konsultasi di Brussel, menggarisbawahi ketegangan yang semakin meningkat dalam hubungan tersebut.
Menanggapi tuduhan ini, badan urusan luar negeri Uni Eropa, European External Action Service (EEAS), dengan tegas menolak tuduhan tersebut. EEAS menekankan komitmen mereka untuk terus mendukung penduduk Niger melalui bantuan kemanusiaan yang diberikan ‘secara netral, tidak memihak, dan independen’ melalui badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), organisasi internasional, dan organisasi lokal. Uni Eropa juga menekankan tidak perlunya mempolitisasi bantuan-bantuan tersebut.
Sebelumnya, Niger berada di bawah kekuasaan militer sejak junta mengambil alih kekuasaan dalam kudeta pada Juli 2023. Sejak mengambil alih kekuasaan tersebut, para pemimpin militer negara ini telah menjauhkan diri dari mantan penguasa kolonial mereka, Prancis, dan hubungan dengan Uni Eropa juga semakin tegang.
Sejak kudeta tersebut, Uni Eropa juga mengumumkan sanksi kepada junta militer yang dinilai sudah menyebabkan instabilitas politik dan memperparah krisis keamanan di Niger. Sanksi ini ditujukan kepada pejabat militer yang dianggap telah melanggar sistem demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Selain itu, sanksi lainnya juga yakni larangan perjalanan ke negara-negara anggota Uni Eropa, pembekuan aset, dan lain-lain.