Tantangan Militer Yang Dihadapi China Dalam Skenario Invasi Taiwan
Pada 14 Oktober 2024 Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China menggelar latihan perang Joint Sword-2024B di perairan sekitar Taiwan sebagai peringatan bagi pulau tersebut untuk tidak melakukan aksi-aksi separatisme. Menurut Juru Bicara dari Komando Timur PLA Kapten Xi Li latihan ini memiliki fokus untuk meningkatkan kapasitas anti-kapal, anti-udara, serta kemampuan untuk melaksanakan blokade dan operasi pendaratan amfibi. Latihan ini dilakukan satu minggu setelah presiden ke-8 Taiwan Lai Ching Te menyatakan dalam sebuah pidato yang diberikan di hari nasional Republik China. Dalam pidato tersebut Presiden Lai menyatakan bahwa Taiwan dan China memiliki pendirian yang setara dan tidak berada di bawah satu sama lain. Pernyataan ini mendapatkan kecaman dari China yang menganggap hal tersebut sebagai aksi separatisme.
Dari penjelasan di atas dijelaskan bahwa salah satu fokus utama latihan perang yang dilakukan oleh China di perairan sekitar Taiwan adalah untuk meningkatkan kemampuan operasi pendaratan amfibi dari PLA. Pada tahun 2022 Presiden Republik Rakyat China (RRC) yang juga Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC) Xi Jinping memberikan arahan kepada PLA untuk bersiap menghadapi perang akibat dari meningkatnya ketegangan antara China dan Taiwan. Sementara itu berbagai pejabat intelijen dan perwira militer Amerika Serikat menyatakan China ingin mempersiapkan diri untuk menginvasi Taiwan pada tahun 2027 jika upaya reunifikasi secara damai gagal. Untuk melancarkan invasi tersebut China akan melaksanakan sebuah operasi pendaratan amfibi yang dibantu dengan blokade maritim terhadap pulau tersebut agar mereka tidak mendapatkan suplai dan amunisi dari luar negeri. Selain operasi pendaratan amfibi China juga akan melakukan operasi terjun payung dan operasi air assault menggunakan helikopter. Jika seluruh operasi ini dilaksanakan secara serentak Taiwan pasti akan kalah karena China dapat menggunakan keunggulan jumlah mereka yang diperkuat dengan combined arms untuk menghancurkan garis pertahanan Taiwan. Akan tetapi pelaksanaan operasi ini tidak mudah karena diperlukan kapal pendaratan dengan jumlah yang cukup, sumber daya manusia yang banyak dan terlatih, kapasitas logistik yang memadai untuk mempertahankan tempo operasional, koordinasi antara berbagai cabang angkatan bersenjata, serta analisis akurat dari kondisi cuaca dan topografi daratan yang akan diserbu agar pendaratan berhasil dilancarkan.
Di atas kertas PLA unggul dari segala aspek dibandingkan dengan militer Taiwan, tetapi dari segi personel aktif dan cadangan terdapat perbedaan yang mencolok. Menurut data terkini China memiliki sekitar 2 juta prajurit aktif dan 500 ribu dalam status cadangan. Sementara itu Taiwan memiliki sekitar 169 ribu prajurit aktif dan 1,6 juta prajurit cadangan. Dari segi alutsista terdapat juga perbedaan besar karena alutsista China secara keseluruhan lebih banyak dibandingkan dengan Taiwan. Hal yang sama juga terlihat dalam aspek maritim karena China merupakan sebuah negara yang memiliki kapasitas industri besar sehingga wajar bagi mereka untuk dapat membangun banyak kapal perang.
Akan tetapi walaupun China memiliki banyak kapal perang, jumlah kapal yang diperlukan untuk melancarkan sebuah operasi pendaratan amfibi dan mempertahankan tempo operasional kurang memadai karena saat ini China hanya memiliki sekitar 57 kapal kelas landing ship tank (LST) dan amphibious transport dock (LPD), 3 kapal landing helicopter assault (LHA), dan 21 kapal landing ship medium (LSM). Walaupun kekurangan ini dapat ditutupi dengan menggunakan kapal sipil sebagai kapal pendaratan amfibi, hal ini tidak disarankan karena kapal sipil tidak dapat memiliki pertahanan yang setara dengan kapal-kapal militer. Oleh karena itu sebelum China melancarkan invasi langkah pertama yang perlu mereka lakukan adalah membangun kapabilitas pendaratan amfibi dengan membangun lebih banyak LST, LHA, dan LSM. Selain itu China juga perlu membangun lebih banyak kapal kelas LPD seperti kapal Kelas Yuzhao/Tipe 71 yang dapat mempertahankan tempo operasional dari pasukan invasi. Selain kapal seperti Kelas Yuzhao, China juga perlu membangun armada pelabuhan portabel seperti Mullberry Harbor milik Sekutu di perang dunia ke-2 karena pelabuhan tersebut akan mempermudah logistik jika pelabuhan laut (deep sea ports) Taiwan yang China ingin kuasai seperti Pelabuhan Keelung, Taipei, dan Taichung dihancurkan secara sistematis oleh Militer Taiwan agar fasilitas tersebut tidak dapat digunakan China untuk mempermudah invasi mereka.
Tantangan lain yang dihadapi oleh China dalam skenario invasi Taiwan adalah kondisi geografis dan cuaca pulau tersebut. Taiwan merupakan sebuah pulau dan fakta tersebut merupakan sebuah keuntungan bagi mereka karena hal ini meminimalisir keuntungan jumlah pasukan yang dimiliki oleh PLA terhadap Militer Taiwan. Selain itu Selat Taiwan yang pasti akan dilalui oleh armada invasi China merupakan sebuah selat dengan kedalaman rendah dan memiliki kondisi cuaca dinamis dengan badai dan ombak tinggi, hal ini dapat mempengaruhi kecepatan dan kesiapan tempur dari armada invasi China karena kapal-kapal mereka dapat terbawa arus dan mendarat di lokasi yang salah. Cuaca yang buruk juga dapat menghentikan operasi terjun payung karena angin kencang dapat membuat pasukan yang terjun akan melayang jauh dari zona penerjunan dan hal tersebut dapat meningkatkan resiko penerjun payung tewas karena tenggelam dibandingkan dengan tewas akibat dari tembakan musuh. Cuaca buruk ini juga berdampak buruk bagi operasi air assault karena seharusnya helikopter yang menyerang terbang di ketinggian rendah agar mereka tidak dapat terdeteksi oleh artileri pertahanan udara (arhanud) musuh akan tetapi karena cuaca di Selat Taiwan cenderung buruk helikopter tersebut harus terbang lebih tinggi dan hal ini membuat mereka lebih rawan terhadap arhanud Militer Taiwan (MIM-104 Patriot dan Arhanud Antelope) dan pesawat tempur Angkatan Udara Taiwan (F-16V Falcon, Mirage 2000, dan F-CK-1 Ching-kuo).
Selain perairan Taiwan yang menantang bagi armada invasi, Pulau Taiwan juga menjadi tantangan besar invasi China karena pulau tersebut memiliki medan yang terjal dan daerah urban padat. Kedua fitur ini merupakan sebuah tantangan tambahan bagi pasukan invasi China karena mobilitas mereka dapat terhambat dari topografi yang ada. Selain itu medan yang dimiliki oleh Taiwan juga cukup mendukung pihak yang bertahan karena mereka dapat menggunakan taktik defense in depth atau mobile defense untuk menghancurkan kekuatan musuh dengan menggunakan force multipliers (FGM-148 Javelin, BGM-71 TOW II, dan FIM-92 Stinger) dan secara bersamaan menjaga kapabilitas ofensif dari pihak yang bertahan. Secara keseluruhan hal ini merupakan beberapa masalah besar yang akan dihadapi oleh China jika mereka melancarkan invasi amfibi terhadap Taiwan.