Topan Yagi Menambah Krisis Myanmar, Bagaimana Peran Diplomasi Kemanusiaan dan Bencana?
Topan Yagi, salah satu badai tropis yang muncul di kawasan Asia Tenggara, telah menyebabkan dampak signifikan di berbagai negara, termasuk Myanmar. Topan ini menimbulkan kerusakan infrastruktur, gangguan ekonomi, dan bencana kemanusiaan.
Myanmar, dengan kondisi geografisnya yang rentan terhadap bencana alam seperti banjir dan badai, menghadapi tantangan serius ketika topan ini melanda wilayahnya. Topan ini menyebabkan banjir luas di banyak wilayah, termasuk Naypyidaw, dengan kenaikan pada permukaan air sungai dan anak sungai. Akibatnya, lebih dari 158.000 rumah terendam dan ribuan orang mengungsi, mencari perlindungan di kamp-kamp bantuan[1][2].
Hingga pertengahan September 2024, Topan Yagi telah menewaskan sedikitnya 226 orang di Myanmar, dengan lebih dari 70 orang dilaporkan hilang. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa sekitar 631.000 orang telah terdampak akibat banjir dan longsor yang dipicu oleh badai ini[3][4]. Topan ini juga menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur, dengan lebih dari 160.000 rumah dilaporkan rusak atau hancur. Selain itu, lebih dari 1.000 sekolah serta sejumlah bangunan pemerintah juga terkena dampak[5]. Banjir pun telah menenggelamkan sebagian besar lahan pertanian, memperburuk ketahanan pangan di negara yang sebelumnya jutaan orang sudah menghadapi kelaparan[6]. Sebelum badai ini, lebih dari 13 juta orang di Myanmar sudah menghadapi ketidakamanan pangan akibat konflik sipil.
Konflik sipil yang sedang berlangsung di Myanmar memperumit situasi karena banyak wilayah telah menghadapi krisis kemanusiaan imbas perpindahan akibat konflik. Junta militer Myanmar pun dikabarkan telah meminta bantuan internasional untuk mendukung upaya pemulihan. Disamping itu, Program Pangan Dunia (WFP) sedang mempersiapkan distribusi jatah makanan darurat untuk mencapai hingga setengah juta orang yang terdampak[7].
Dampak pasca-Topan Yagi menghadirkan krisis kemanusiaan yang kompleks di Myanmar, di mana kerentanan yang ada akibat perang sipil diperparah oleh bencana alam ini. Kebutuhan akan makanan, air bersih, pasokan medis, dan tempat berlindung menjadi sangat penting ketika upaya pemulihan dimulai di tengah tantangan yang berkelanjutan.
Diplomasi Bencana dan Kemanusiaan untuk Myanmar
Diplomasi kemanusiaan muncul pada awal 2000-an[8] dan didefinisikan sebagai upaya untuk meyakinkan para pengambil keputusan dan pemimpin agar bertindak demi kepentingan orang-orang yang rentan, dengan menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan[9]. Konsep ini berkembang akibat intensifikasi kegiatan kemanusiaan dalam konteks intervensi bersenjata, operasi internasional untuk melindungi warga sipil, bencana alam, dan konflik bersenjata internal[10]. Diplomasi kemanusiaan memainkan peran penting dalam merespons bencana alam dengan memfasilitasi akses ke populasi yang terkena dampak dan memastikan pengiriman bantuan. Diplomasi ini juga memfasilitasi negosiasi dan advokasi untuk memastikan bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana atau Humanitarian Assistance and Disaster Relief (HADR) dikirimkan dengan cepat dan efektif.
Selain diplomasi kemanusiaan, terdapat pula konsep lain yang disebut diplomasi bencana, yang mengeksplorasi bagaimana kegiatan terkait bencana dapat mendorong kerja sama antara pihak-pihak yang sebelumnya berseteru atau mengurangi konflik[11]. Ancaman bencana dapat membuka peluang untuk memperkuat kerja sama internasional, terutama di antara negara-negara yang berselisih. Meskipun diplomasi bencana dapat memengaruhi proses diplomatik, namun hal ini biasanya tidak cukup kuat untuk dapat memulai inisiatif diplomatik baru tetapi bertindak sebagai katalis untuk mempercepat kerja sama yang ada[12].
Dampak dari topan yang diperburuk oleh kerentanan yang sudah ada di Myanmar, termasuk ketidakstabilan politik dan konflik internal yang sedang berlangsung, terutama krisis Rohingya menyoroti peran diplomasi kemanusiaan dan bencana dalam menghadapi tantangan multifaset yang dihadapi Myanmar.
Diplomasi kemanusiaan di Myanmar harus berfokus pada respons cepat terhadap kebutuhan para korban, termasuk penyediaan makanan, air bersih, dan tempat berlindung. Permintaan junta militer terkait bantuan internasional untuk mendukung upaya pemulihan telah memperlihatkan Upaya tersebut, Disamping itu, terlihat pula bahwa Organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Program Pangan Dunia (WFP) telah memainkan peran dalam pengiriman bantuan. Sayangnya, upaya bantuan dapat terhambat oleh infrastruktur yang rusak dan bentrokan militer yang terus berlangsung[13], distribusi yang efektif sulit dilakukan, terutama di daerah terpencil.
Dalam hal ini, negosiasi antara entitas internasional dan junta militer Myanmar sangat penting untuk memberikan akses bagi lembaga bantuan. Meskipun junta telah meminta bantuan internasional, lanskap politik yang kompleks membuat upaya ini menjadi rumit. Negara-negara dan organisasi dapat ragu untuk terlibat sepenuhnya karena kekhawatiran tentang pelanggaran hak asasi manusia terhadap minoritas seperti Rohingya, menciptakan lingkungan yang menantang bagi operasi kemanusiaan.
Disamping itu, diplomasi bencana dapat menawarkan peluang unik untuk mendorong kerja sama internasional setelah bencana alam. Kerusakan akibat Topan Yagi dapat berfungsi sebagai saluran untuk keterlibatan antara Myanmar dan negara-negara yang secara historis berada dalam konflik dengan pemerintahnya, atas dasar kemanusiaan.
Namun, tantangan akan tetap ada. Konflik bersenjata yang sedang berlangsung dapat memperumit upaya diplomasi bencana, jika daerah-daerah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak dihadapkan akses terbatas terhadap bantuan, serta bentrokan antara pasukan militer dan kelompok oposisi yang juga dapat menghalangi inisiatif bantuan. Walaupun demikian, diplomasi bencana bertujuan untuk menciptakan peluang dalam dialog dan kerja sama di wilayah yang terdampak.
Lebih lanjut, diplomasi bencana juga dapat berfungsi sebagai katalisator untuk upaya pembangunan perdamaian di Myanmar. Krisis kemanusiaan yang dipicu oleh Topan Yagi memberikan kesempatan bagi masyarakat internasional untuk mendorong reformasi politik yang lebih inklusif dan strategi penyelesaian konflik. Bantuan dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong pemerintah Myanmar meningkatkan perlindungan bagi populasi rentan, termasuk Rohingya.
Dengan mengintegrasikan bantuan kemanusiaan dengan inisiatif pembangunan perdamaian, ada potensi untuk mendorong stabilitas jangka panjang dan ketahanan dalam komunitas yang terkena dampak oleh bencana alam maupun konflik.
Pada akhirnya, Topan Yagi menyoroti pentingnya diplomasi bencana dan kemanusiaan dalam merespons situasi krisis yang melibatkan bencana alam dan konflik politik. Meskipun bantuan kemanusiaan sangat penting untuk upaya pemulihan sesegera mungkin, lanskap politik rumit di Myanmar—termasuk konflik sipil dan diskriminasi etnis—memperumit strategi respons internasional. Diplomasi bencana menawarkan jalur untuk meningkatkan kerja sama lintas batas tetapi memerlukan navigasi hati-hati terhadap konflik internal dan masalah hak asasi manusia sehingga dapat terjalin efektif. Memperkuat keterlibatan diplomatik bersamaan dengan upaya kemanusiaan akan sangat penting untuk mengurangi krisis masa depan di Myanmar.
[1] Khine Lin Kyaw, “Typhoon Yagi Leaves Over 220 Dead, 70 Missing in War-Torn Myanmar,” Bloomberg, last modified 2024, https://time.com/7021889/typhoon-yagi-death-toll-myanmar-civil-war/.
[2] WFP, “WFP to Launch Myanmar Flood Response to People Affected by Typhoon Yagi,” The United Nations World Food Programme (WFP), last modified 2024, https://www.wfp.org/news/wfp-launch-myanmar-flood-response-people-affected-typhoon-yagi.
[3] Kyaw, “Typhoon Yagi Leaves Over 220 Dead, 70 Missing in War-Torn Myanmar.”
[4] Sai Aung Main, “UNICEF Says Six Million Children in Southeast Asia Affected by Typhoon Yagi,” Al Jazeera, last modified 2024, https://www.aljazeera.com/news/2024/9/18/unicef-says-six-million-children-in-southeast-asia-affected-by-typhoon-yagi.
[5] Aleks Phillips, “100 Dead in Myanmar Floods after Typhoon Yagi,” BBC News, last modified 2024, https://www.bbc.com/news/articles/cx2kkdpnyp4o.
[6] WFP, “WFP to Launch Myanmar Flood Response to People Affected by Typhoon Yagi.”
[7] WFP, “WFP to Launch Myanmar Flood Response to People Affected by Typhoon Yagi.”
[8] Antonio De Lauri, “Humanitarian Diplomacy: A New Research Genda,” CMI BBIEF, no. 4 (2018): 1–4, https://www.cmi.no/publications/6536-humanitarian-diplomacy-a-new-research-agenda.
[9] International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societies, Humanitarian Diplomacy Policy, 2015, http://www.ifrc.org/Global/Governance/Policies/Humanitarian_Diplomacy_Policy.pdf.
[10] O. Bogatyreva, “Humanitarian Diplomacy: Modern Concepts and Approaches,” Herald of the Russian Academy of Sciences 92, no. 1 (2022): S1349–S1366.
[11] Arfin Sudirman and Animbyo Cahya Putra, “Disaster Diplomacy as an Alternative Approach for Indonesia’s Instrument of Foreign Policy in ASEAN,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional 14, no. 1 (2018): 1.
[12] Ilan Kelman, Beyond Disaster, beyond Diplomacy, 1st Editio. (London: Routledge, 2003).
[13] Main, “UNICEF Says Six Million Children in Southeast Asia Affected by Typhoon Yagi.”