Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan bahwa sejak sepuluh bulan setelah konflik di Gaza, jumlah korban tewas di Palestina telah melampaui 40.000 orang. Kementerian menambahkan bahwa setidaknya 92.401 terluka dalam perang ini. Mayoritas korban tewas adalah warga sipil dengan jumlah korban yang mewakili hampir dua persen dari populasi Gaza sebelum perang.
Tentunya angka ini tidak menggambarkan keseluruhan kerugian dari sisi Palestina. Dr. Marwan al-Hams, direktur rumah sakit lapangan di Kementerian Kesehatan Palestina, menekankan bahwa angka 40.000 korban jiwa tersebut hanya mencakup jenazah yang telah ditemukan dan dikuburkan. Berbagai upaya sedang dilakukan dalama upaya mengembangkan prosedur baru guna menghitung mereka yang hilang atau terjebak di bawah reruntuhan, namun hal ini masih sulit dilakukan. Hamas juga memperkirakan terdapat sekitar 10.000 korban masih terjebak di bawah reruntuhan bangunan, namun dengan sumber daya yang terbatas semakin menyulitkan proses evakuasi.
Hingga pertengahan Agustus, 32.280 korban konflik telah diidentifikasi namanya, dengan sebagian besar adalah warga sipil karena usia atau jenis kelamin mereka. Termasuk di antaranya yakni 10.627 anak-anak, 5.956 perempuan, dan 2.770 orang lanjut usia. Korban sipil lainnya termasuk 168 jurnalis, 855 staf medis, dan 79 paramedis. Di sisi lain, Israel tidak memberikan perkiraan jumlah korban sipil di Gaza, namun melaporkan telah menewaskan sekitar 15.000 pejuang Hamas.
Komisaris Jenderal Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, menyebut situasi di Gaza sebagai “tonggak sejarah yang sangat suram di mata dunia” dan menyoroti bahwa hal ini merupakan “akibat langsung dari kegagalan kolektif dalam mencapai gencatan senjata.”
Keraguan untuk mencapai kesepakatan perdamaian meningkat menyusul pembunuhan tokoh-tokoh senior Hamas dan Hizbullah baru-baru ini yang telah mengguncang kepemimpinan kedua organisasi tersebut.
Mediator Mesir dan Qatar baru-baru ini menginformasikan kepada para pejabat Israel bahwa Yahya Sinwar, yang mengambil alih kepemimpinan biro politik Hamas setelah pembunuhan Ismail Haniyeh di Teheran, sedang mengupayakan sebuah kesepakatan gencatan senjata.
Israel telah mengindikasikan bahwa mereka akan mengirimkan delegasi untuk berpartisipasi dalam perundingan yang akan datang. Namun, Hamas telah mengumumkan bahwa mereka tidak akan ikut serta dalam perundingan meskipun mereka tetap terbuka agar bisa berbicara dengan para mediator jika ada “perkembangan atau tanggapan serius dari Israel.
Meskipun demikian, Hamas menyatakan bahwa mereka telah mendesak para mediator untuk mengimplementasikan rencana gencatan senjata berdasarkan proposal sebelumnya, seperti yang disarankan oleh Presiden AS Joe Biden dan Dewan Keamanan PBB pada bulan Juli lalu.
Tekanan internasional terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mencapai kesepakatan dengan Hamas semakin meningkat. Kritik dari para pemimpin Barat semakin meningkat, terutama setelah terpilihnya pemerintahan Partai Buruh di Inggris dan konfirmasi Wakil Presiden AS Kamala Harris sebagai calon Partai Demokrat dalam pemilihan presiden mendatang. Pernyataan Harris mengenai Gaza mengindikasikan adanya potensi pergeseran dari dukungan Biden yang konsisten terhadap Israel.