Eskalasi Konflik Israel-Hamas dan Dampaknya terhadap Warga Sipil
Sejak serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, konflik di Gaza kemudian kembali menjadi pembicaraan yang sangat serius dalam dunia Internasional. Meskipun Israel menyebutkan bahwa serangan yang mereka lakukan kemudian merupakan respon balasan atas serangan yang dilakukan Hamas pada saat itu, sebaliknya Hamas menyebutkan bahwa serangan yang mereka lakukan merupakan balasan atas segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan yang telah dilakukan Israel kepada warga Palestina selama bertahun-tahun belakangan.
Hingga kini, konflik tersebut telah mengalami peningkatan kekerasan yang signifikan, dengan operasi militer Israel dan serangan militan Palestina yang menyebabkan kerusakan besar dan tidak sedikit sipil yang menjadi korban. Dalam laporan melalui infografis Al Jazeera yang ditulis sejak tanggal 9 Oktober 2023 dan terus diperbaharui, per tanggal 3 Juli 2024, tercatat setidaknya 37.953 orang telah tewas di Gaza, termasuk lebih dari 15.000 anak-anak. Disamping itu, lebih dari 87.266 orang terluka dan lebih dari 10.000 orang hilang[1]. Serangan yang dilakukan Israel juga diketahui telah merusak lebih dari separuh rumah di Gaza, 80% fasilitas komersial, 88% gedung sekolah, dan 17 dari 35 rumah sakit sedang beroperasi secara parsial.
Kekerasan semakin meningkat, menyebabkan krisis kemanusiaan serta dampak buruk terhadap warga sipil dan infrastruktur. Krisis kemanusiaan ini semakin diperburuk oleh serangan tanpa henti dari militer Israel terhadap fasilitas medis dan pembatasan ketat terhadap bantuan kemanusiaan. Médecins Sans Frontières (MSF) yang hadir sebagai pemberi bantuan medis dalam konflik di Gaza terpaksa mengevakuasi 12 fasilitas kesehatan selama tujuh bulan, termasuk sembilan fasilitas kesehatan yang diserang dan secara signifikan telah mengurangi kapasitas untuk memberikan layanan medis kepada masyarakat [2] Selain itu, penutupan total penyeberangan Rafah sejak 7 Mei telah sangat membatasi pengiriman bantuan kemanusiaan, dengan hanya beberapa truk yang diizinkan melewati penyeberangan Kerem Shalom, yang dikendalikan oleh militer Israel, telah mengurangi aliran bantuan kepada masyarakat yang sudah terkepung dan mengakibatkan kekurangan pasokan penting, termasuk makanan, obat-obatan, serta bahan bakar[3]. Disisi lain, kelompok militan Palestina pun telah menembakkan ribuan roket ke Israel, menyebabkan kerusakan besar dan korban warga sipil.
Respon Internasional
Dalam sebuah laporan komisi yang didukung PBB menemukan bahwa pasukan Israel dan kelompok militan Palestina telah melakukan kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia sejak tanggal 7 Oktober. Laporan tersebut menuduh Israel sengaja menargetkan warga sipil dan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, sementara kelompok Palestina dituduh sengaja mengarahkan serangan terhadap warga sipil[4]. Disamping itu, puluhan ribu pengunjuk rasa pro-Palestina di berbagai negara juga telah menyuarakan tuntutan untuk gencatan senjata dalam konflik antara Israel dan Hamas, mencerminkan solidaritas global dengan isu tersebut[5]. Konflik ini memang menarik perhatian internasional karena telah berlangsung lama dan menunjukkan masalah kemanusiaan. Konflik Israel-Hamas telah merampas hak asasi banyak warga sipil yang tidak bersalah, mereka telah kehilangan untuk melanjutkan kehidupan yang layak, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial dan kesehatan[6].
Dalam beberapa konteks, konflik antara Israel dan Hamas juga telah melanggar teori “perang yang adil” atau disebut juga dengan prinsip perang yang benar (theory of just war). Kerangka utama dari teori ini dipecah menjadi dua bagian utama yaitu jus ad bellum (hak untuk berperang) dan jus in bello (perilaku yang benar dalam perang). Dalam konteks Konvensi Jenewa dan Hukum Humaniter Internasional, fokus utamanya adalah pada prinsip-prinsip yang mengatur perilaku perang dan perang yang adil, serta perlindungan terhadap mereka yang tidak terlibat langsung dalam konflik; dalam kondisi apa suatu perang dapat dibenarkan dan bagaimana perang tersebut harus dilakukan agar tetap adil. Adapun penerapan “perang yang adil” dalam konflik Israel-Hamas menghadapi kompleksitas yang mendalam dan narasi yang diperdebatkan. Kedua belah pihak berusaha untuk membenarkan tindakan mereka dalam kerangka pembelaan diri dan perlawanan. Penafsiran dan penerapan prinsip-prinsip “perang yang adil” juga seringkali menimbulkan masalah etika dan kemanusiaan yang signifikan. Disamping itu, menurut Dyah Lupita Sari pada tahun 2014, konflik antara Israel dan Hamas adalah konflik asimetris. Dalam konflik ini, Hamas sengaja menggunakan taktik untuk mengubah pusat kota berpenduduk padat menjadi zona pertempuran dan bersembunyi di antara warga sipil, sehingga menyulitkan pasukan Israel untuk memproyeksikan serangan mereka hanya terhadap Hamas dan bukan terhadap warga sipil[7].
Masyarakat internasional menyadari, yang dilakukan Israel terhadap Palestina khususnya terhadap warga sipil merupakan bentuk pelanggaran Hukum Humaniter Internasional yang merupakan protocol tambahan dari Konvensi Jenewa 1949[8]. Mengacu pada teori “perang yang adil,” situasi di Gaza menunjukkan bahwa Israel dan Hamas telah melakukan tindakan yang melanggar prinsip-prinsip dasar dari jus ad bellum dan jus in bello. Serangan Israel pada infrastruktur sipil dan fasilitas medis tidak sejalan dengan prinsip proporsionalitas dan diskriminasi. Begitu pula dengan Hamas, penggunaan taktik yang menempatkan warga sipil di tengah-tengah konflik dan peluncuran roket yang menargetkan wilayah sipil di Israel melanggar prinsip-prinsip dasar dari hukum humaniter internasional.
Antara Keamanan Nasional dan Solusi Perdamaian
Serangan Israel yang terus berlanjut didorong oleh persepsi bahwa tindakan tersebut diperlukan untuk melindungi kedaulatan dan keamanannya. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menekankan perlunya kontrol keamanan penuh atas wilayah Palestina untuk memastikan bahwa Gaza tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel. Sayangnya, sikap ini bertentangan langsung dengan pembentukan negara Palestina merdeka sebagai komponen kunci dari solusi dua negara. Posisi Netanyahu berakar pada keyakinannya bahwa Israel harus mencapai “kemenangan penuh” atas Hamas dan memastikan bahwa Gaza didemiliterisasi untuk menjamin keamanan Israel. Pendekatan ini telah menyebabkan operasi militer terus berlanjut di Gaza, meskipun terdapat kritik luas dari dunia internasional dan seruan untuk gencatan senjata. Tindakan militer Israel di Gaza dan Tepi Barat tidak memberikan solusi keamanan jangka panjang dan malah memperburuk konflik. Namun, saat ini sikap pemerintah Israel masih tetap fokus pada mempertahankan kontrol militer dan dominasi keamanan atas wilayah Palestina untuk melindungi kedaulatannya dari ancaman Hamas.
Pendekatan militeristik telah menunjukkan kegagalan dalam mencapai solusi damai jangka panjang karena telah menciptakan konflik yang semakin brutal dan krisis kemanusiaan yang mendalam. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan paradigma menuju diplomasi dan kompromi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi keamanan Israel dan Palestina, serta analisis aktor antara Hamas dan Palestina. Diplomasi yang serius dan komitmen untuk menghormati hukum internasional serta hak asasi manusia juga akan menjadi hal yang penting diiringi dengan dialog yang konstruktif dan penghentian kekerasan sebagai langkah awal, karena serangan militer secara terus-menerus hanya memperpanjang konflik dan penderitaan.
[1] AJLabs, Israel-Gaza War in Maps and Charts: Live Tracker, Al Jazeera, October 9, 2023, https://www.aljazeera.com/news/longform/2023/10/9/israel-hamas-war-in-maps-and-charts-live-tracker.
[2] MSF, Evacuation Orders and Bombing around Gaza Hospitals Leaves People with Few Healthcare Options (Jerusalem, 2024), accessed July 8, 2024, https://www.msf.org/evacuation-orders-and-bombing-around-gaza-hospitals-leaves-few-healthcare-options.
[3] MSF, States Supporting Israeli Military Operations Are Complicit in Policy of Destruction in Gaza, 2024, https://reliefweb.int/report/occupied-palestinian-territory/states-supporting-israeli-military-operations-are-complicit-policy-destruction-gaza-enar.
[4] Diakonia International Humanitarian Law Centre 2024, “2023-2024 HOSTILITIES AND ESCALATING VIOLENCE IN THE OPT | ACCOUNT OF EVENTS,” January 12, 2024, https://www.diakonia.se/ihl/news/2023-hostilities-in-gaza-and-israel-factual-account-of-events/.
[5] Afri Emilia Br Sembiring and Kemala Oktreza, “Dukungan Indonesia Dalam Konflik Berkepanjangan Israel Dan Palestina” 3, no. 1 (2024): 512–521.
[6] Jagad Aditya Dewantara et al., “Pelanggaran HAM Dalam Konflik Israel Dan Palestina Berdampak Terhadap Hilangnya Hak Asasi Manusia Khususnya Hak Anak Di Palestina” 7, no. 1 (2023): 19–25.
[7] Dyah Lupita Sari, “Operation Protective Edge Israel Pada Perang Gaza 2014: Justifikasi Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional Dalam Prinsip Just War” (2014).
[8] Anthony Dworkin, “Israel, Hamas, and the Laws of War,” European Council on Foreign Relations, last modified 2023, accessed July 10, 2024, https://ecfr.eu/article/israel-hamas-and-the-laws-of-war/.
top888casino
July 16, 2024 @ 12:13 am
Hey there You have done a fantastic job I will certainly digg it and personally recommend to my friends Im confident theyll be benefited from this site