10 Juli – Kapal Milik Greenpeace Rainbow Warrior ditenggelamkan oleh agen rahasia Prancis
Pada 10 Juli 1985, sebuah kapal milik Greenpeace yang dikenal sebagai Rainbow Warrior berlabuh di Auckland, Selandia Baru dan bersiap untuk menantang uji coba nuklir Prancis di Mururoa Atoll.
Ketika waktu hampir menunjukan tengah malam, Pete Willcox, sang kapten, dan beberapa awak lainnya sudah tertidur dan yang lainnya, termasuk fotografer Fernando Pereira, seorang fotografer Greenpeace dari Portugal, yang ikut pada misi tersebut untuk memfilmkan uji coba nuklir Prancis dan membagikan gambarnya kepada dunia tengah bercakap-cakap di meja ruang makan kapal.
Tiba-tiba, lampu padam, suara pecahan kaca mungkin terdengar. Lalu terdengar gemuruh air yang memekakkan telinga. Reaksi pertama para kru adalah bahwa mereka ditabrak, mungkin oleh kapal lainnya. Lalu ada ledakan lain. Mereka yang sudah berada di geladak menaiki tangga atau melompat ke tempat aman di dermaga. Namun, hanya dalam beberapa menit, tiang baja kapal runtuh dan menenggelamkan kapal itu bersama Pereira sang fotograger.
Menurut Greenpeace, personel dinas rahasia Prancis dengan peralatan selam telah menempelkan dua bungkus bahan peledak yang dibungkus plastik ke kapal, satu di samping baling-baling dan satu lagi di dinding luar ruang mesin, dalam upaya untuk “menetralkan” kapal tersebut sebelum protes yang terkait pengembangan nuklir Prancis yang telah dijadwalkan.
Lebih detail, kapal Rainbow Warrior telah mengambil bagian dalam protes di Pasifik terhadap uji coba nuklir Prancis. Agen dari Dinas Rahasia Prancis (DGSE) dikirim untuk mencegahnya berangkat kampanye protes lainnya di Mururoa Atoll di Kepulauan Tuamotu. Dua peledak ditempelkan di lambung kapal menimbulkan lubang besar, membuat kapal tidak bisa beroperasi. Fernando Pereira, seorang fotografer, terbunuh ketika ranjau kedua meledak saat dia sedang mengumpulkan peralatan dari yang pertama.
Awalnya, pemerintah Prancis menyangkal semua pengetahuan tentang operasi tersebut, tetapi segera menjadi jelas bahwa mereka terlibat. Akhirnya, perdana menteri Prancis, Laurent Fabius muncul di televisi dan mengatakan kepada publik bahwa “Agen Direction Générale de la Sécurité Extérieure (DGSE) menenggelamkan kapal ini. Mereka bertindak atas perintah.”
Dominique Prieur dan Alain Mafart, pejabat DGSE, ditangkap dan didakwa melakukan pembunuhan saat mencoba melarikan diri akibat insiden tersebut. Mereka kemudian masing-masing menerima hukuman penjara 10 tahun setelah mengaku bersalah atas pembunuhan. Namun, satu tahun kemudian, keduanya dikirim ke Polinesia Prancis, dari mana mereka kembali ke Prancis.
Masalah tersebut menimbulkan rasa malu yang signifikan bagi otoritas Prancis. Meskipun serangan itu ditujukan kepada organisasi internasional dan bukan Selandia Baru. Fakta bahwa itu dilakukan di tanah Selandia Baru oleh negara yang seharusnya bersahabat memicu kemarahan dan merusak hubungan Selandia Baru-Prancis.
Pada tahun 2015, pasukan katak dinas rahasia Prancis meminta maaf atas serangan tersebut. Jean-Luc Kister, yang bekerja untuk agen mata-mata DGSE dan bertindak atas perintah dari Paris untuk meledakkan kapal, mengatakan menurutnya waktu yang tepat untuk angkat bicara.
“Tiga puluh tahun setelah peristiwa itu, sekarang emosi telah mereda dan juga dengan jarak yang sekarang saya miliki dari kehidupan profesional saya, saya pikir ini adalah waktu yang tepat bagi saya untuk mengungkapkan penyesalan terdalam dan meminta maaf,” kata Kister dalam sebuah wawancara di situs investigasi Mediapart.
Dalam sebuah pernyataan dalam bahasa Prancis, Greenpeace menjawab: “Tidak ada yang akan mengembalikan Fernando Pereira, tetapi untuk menghormatinya adalah kewajiban Pemerintah Prancis. Permintaan maaf dari Kolonel Jean-Luc Kister tidak akan mengembalikan Fernando tetapi mereka membuktikan sekali lagi bahwa kawan kita adalah orang yang tidak bersalah.”