Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, baru saja menunjuk seorang menteri unifikasi baru. Yoon menilai bahwa kementerian tersebut sebelumnya terlalu fokus pada memberikan bantuan untuk Korea Utara dan perlu dilakukan perubahan.
Menteri baru, Kim Yung-ho, adalah seorang sarjana konservatif dan kritikus vokal terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara, di mana aspek tersebut menjadi hal yang ingin Yoon tekankan di tengah meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea.
Dilansir dari Reuters, Yoon menyatakan “Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Unifikasi telah bertindak seperti kementerian bantuan untuk Korea Utara dan itu salah,” “Sudah saatnya bagi kementerian unifikasi untuk berubah,” tambahnya.
Yoon juga mendorong kementerian tersebut untuk mempertahankan nilai-nilai demokrasi liberal dan mengatakan bahwa unifikasi atau penyatuan ini harus membawa “kehidupan yang lebih baik dan lebih manusiawi” bagi penduduk di Korea Selatan dan Utara.
Sebelumnya, pada tahun 2019, Kim menulis di sebuah kolom online bahwa jalan menuju unifikasi akan terbuka setelah rezim pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, “digulingkan dan Korea Utara dibebaskan.”
Pendapat para kritikus menyebutkan bahwa penunjukan Kim Yung-ho dapat mengurangi peran Kementerian Unifikasi yang banyak fokus pada upaya pertukaran dan rekonsiliasi dengan Korea Utara.
Menginginkan pendekatan yang lebih keras?
Menyusul keputusan Presiden Yoon Suk Yeol menunjuk Kim Yung-ho sebagai menteri unifikasi baru menunjukkan bahwa adanya tujuan untuk mengubah arah kebijakan Kementerian Unifikasi. Lalu, mengapa dilakukan?
Yoon menilai bahwa kinerja dan pendekatan yang dilakukan melalui pemberian bantuan untuk Korea Utara dinilai tidak berhasil. Pendekatan yang lebih komprehensif diperlukan agar terdapat kemajuan dalam memperbaki hubungan antar kedua negara ini.
Terlebih mengingat bahwa Korea Utara terus mengancam keselamatan dan kestabilan di Semenanjung Korea. Korea Utara kerap melakukan latihan dan peluncuran senjata nuklir yang menciptakan ketegangan politik dan militer kedua negara dan aliansinya. Dari perspektif Korea Selatan, pencarian cara atau metode baru menjadi hal yang memungkinkan, di mana mereka memilih untuk menggunakan isu hak asasi manusia di Korea Utara. Tidak hanya untuk keperluan sosial politik, namun juga isu keamanan yang menjadi krusial bagi Korea Selatan dalam menekan Korea Utara.
Selaain itu, penggunaan isu hak asasi manusia memberikan perspektif berbeda dan lebih vokal terkait dengan isu pelanggaran hak asasi di Korea Utara. Pemerintah Korea Selatan menggunakan isu tersebut untuk menarik perhatian terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara dan mengkritik rezim Kim Jong-un. Mereka menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi liberal dalam upaya penyatuan kembali dengan Korea Utara.
Pemerintah Korea Selatan telah secara terbuka menyatakan keprihatinan tentang pelanggaran hak asasi manusia Korea Utara, seperti represi politik, pembatasan kebebasan berekspresi, dan kebrutalan terhadap warga negara. Mereka juga berusaha mengangkat masalah ini di forum internasional seperti PBB untuk meningkatkan kesadaran dan tekanan terhadap Korea Utara.
Namun, kritik terhadap pendekatan Korea Selatan terhadap masalah hak asasi manusia di Korea Utara juga menekankan bahwa pemerintah Korea Selatan dapat memanfaatkan masalah ini untuk tujuan politik. Beberapa berpendapat bahwa Korea Selatan mungkin menggunakan hak asasi manusia sebagai alat untuk mencampuri urusan dalam negeri Korea Utara demi keuntungan politik atau keamanan.
Meskipun begitu, dengan penunjukkan menteri baru yang memiliki fokus yang sama, Yoon juga menginginkan isu HAM turut menjadi bagian dari agenda upaya unifikasi dengan Korea Utara. Meskipun di sisi lain bisa semakin memperparah hubungan dengan Korea Utara, namun mengingat aliansi dan dukungan Korea Selatan pada advokasi nilai demokrasi liberal, maka pengangkatan isu ini mampu memperkuat posisi Korea Selatan dalam mendukung isu-isu HAM.