1 Juli – Hong Kong Kembali ke China
Pada tengah malam tanggal 1 Juli 1997, Hong Kong dikembalikan ke pemerintahan China dari Inggris dalam sebuah upacara yang dihadiri oleh Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, Pangeran Charles dari Wales, Presiden China, Jiang Zemin dan Menteri Luar Negeri AS, Madeleine Albright.
Inggris pertama kali mengambil alih pulau Hong Kong pada tahun 1842, setelah mengalahkan China dalam Perang Opium Pertama. Setelah Perang Opium Kedua, Beijing terpaksa juga menyerahkan Kowloon pada tahun 1860, wilayah di daratan seberang pulau. Pada tahun 1898, untuk menegakkan kontrolnya atas wilayah tersebut, Inggris menyewa tanah tambahan, yang dikenal sebagai New Territories, berjanji untuk mengembalikannya ke China dalam 99 tahun yang kini dikenal sebagai Hong Kong.
Hong Kong berkembang pesat di bawah kekuasaan Inggris, menjadi salah satu pusat keuangan dan bisnis utama dunia. Kemudian pada tahun 1982, London dan Beijing memulai proses negosiasi yang sulit untuk mengembalikan wilayah itu ke pemerintahan China. Hong Kong telah mengembangkan sistem politik dan ekonomi yang sangat berbeda dari China daratan yang sejak 1949 berada di bawah pemerintahan komunis satu partai yang otoriter.
China setuju untuk memerintah Hong Kong berdasarkan prinsip “satu negara, dua sistem”, di mana kota tersebut akan menikmati “otonomi tingkat tinggi, kecuali dalam urusan luar negeri dan pertahanan” selama 50 tahun ke depan.
Hong Kong menjadi Daerah Administratif Khusus, dan akan mempertahankan kebebasan tertentu, termasuk peradilan yang independen, pembentukan partai politik, dan kebebasan berkumpul dan bicara yang kini tengah menjadi kontroversi karena protes besar yang terjadi di Hong Kong sejak tahun 2019.
Selama bertahun-tahun, China semakin memperketat cengkeramannya atas Hong Kong. Titik kritisnya adalah pada tahun 2019 ketika China mengusulkan RUU ekstradisi yang berpotensi memungkinkan warga Hong Kong yang dituduh melakukan kejahatan untuk diadili di China.
Kemarahan atas RUU meletus menjadi beberapa protes terbesar yang pernah ada di Hong Kong. Pasukan polisi menanggapi pengunjuk rasa dengan meriam air, peluru karet, dan gas air mata, memperburuk ketegangan antara pengunjuk rasa dan pemerintah.
Dan pada 1 Juli 2019, pengunjuk rasa memaksa masuk ke parlemen, merobohkan potret, menghancurkan furnitur, bahkan ada yang mengibarkan bendera kolonial Inggris kuno. Sebagai tanggapan, China mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional yang sangat kontroversial pada tahun 2020 – undang-undang tersebut mengkriminalkan setiap tindakan pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing.
Beijing bersikeras bahwa undang-undang itu diperlukan untuk membawa stabilitas ke kota, tetapi para kritikus berpendapat bahwa undang-undang itu didefinisikan dengan sangat longgar sehingga lebih mudah bagi Beijing untuk menekan protes dan kebebasan berbicara.
Ratusan pengunjuk rasa, aktivis, dan mantan anggota parlemen oposisi juga telah ditangkap sejak undang-undang tersebut diberlakukan. Ekspresi perbedaan pendapat politik juga telah diredam sejak itu. Protes tersebut telah membuat beberapa tahun terakhir hanya terjadi sedikit pertemuan publik di Hong Kong karena para demonstran banyak ditangkap karena “perbedaan pendapat”.
China memiliki kewajiban atas Hong Kong hingga tahun 2047 dimana Hong Kong dapat memiliki pemerintahannya sendiri. Setelah tahun 2047, China daratan tidak lagi berkewajiban untuk memberikan Hong Kong otonomi yang disepakati dengan Inggris sebelum penyerahan tahun 1997, sehingga nasib pulau tersebut tidak jelas.
Tetapi seorang pejabat senior Beijing mengatakan prinsip pemerintahan “satu negara, dua sistem” belum tentu berubah pada tahun 2047. “Tidak perlu diubah setelah 50 tahun,” kata Shen Chunyao pada konferensi hukum di minggu-minggu menjelang peringatan 25 tahun penyerahan dikutip dari BBC pada tahun 2022.
Tetapi yang lain telah mengambil sikap yang lebih kuat. “Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari China, kita tidak bisa menjadi negara yang merusak keamanan China,” kata Regina Ip, salah satu anggota parlemen pro-Beijing paling terkenal di Hong Kong. “Jika mereka menganggap sistem saat ini tidak berkelanjutan, pilihannya adalah mengintegrasikan kembali Hong Kong, bahkan sebelum 2047.”
Pada tahun 2019, protes pro-demokrasi besar-besaran pecah di Hong Kong karena meningkatnya penindasan dari Tiongkok daratan. Puluhan orang di kalangan akademisi, media, serta aktivis prodemokrasi telah ditangkap di tengah tindakan keras pemerintah.