Iran dikonfirmasi telah memproduksi uranium yang diperkaya hingga 60% di fasilitas nuklir bawah tanahnya di Fordow, menurut Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi pada 22 November lalu, membawa negara itu lebih dekat ke bahan nuklir yang siap digunakan untuk persenjataan.
“Iran telah mulai memproduksi uranium yang diperkaya tinggi – UF6 yang diperkaya hingga 60% – menggunakan dua kaskade sentrifugal IR-6 yang ada di Fordow Fuel Enrichment Plant (FFEP), selain produksi serupa yang telah dilakukan di Natanz sejak April 2021,” kata IAEA dalam sebuah pernyataan. Pernyataan itu menambahkan bahwa Iran telah memasang lebih banyak “kaskade sentrifugal IR-6 canggih” dan merencanakan ekspansi signifikan produksi uranium.
Ini terjadi beberapa jam setelah media pemerintah, Iran Press TV melaporkan Iran telah memberi tahu IAEA bahwa mereka telah mulai meningkatkan pengayaan uraniumnya ke tingkat kemurnian 60% sebagai “pembalasan” kepada dewan gubernur IAEA yang meminta Iran untuk bekerja sama dengan penyelidikan terhadap jejak uranium yang tidak dapat dijelaskan di situs Iran yang dirahasiakan.
Teheran “menggambarkan langkah itu sebagai pesan kuat untuk resolusi anti-Iran baru-baru ini yang disahkan oleh Dewan Gubernur IAEA,” kata Press TV. Protes besar-besaran di Iran akibat kematian Mahsa Amini telah meluas dan tak berhenti sampai saat ini. Banyak media yang melaporkan bahwa terjadi berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh otoritas Iran. Hal ini menimbulkan berbagai kecaman dari aktor-aktor internasional.
Direktur Jenderal Grossi juga mengatakan “Iran terus memajukan aktivitas pengayaannya di Pabrik Pengayaan Bahan Bakar (FEP) di Natanz dan sekarang berencana untuk memasang gedung produksi kedua yang mampu menampung lebih dari 100 kaskade sentrifugal.”
Walaupun begitu, Iran terus menerus menyangkal niatnya untuk merakit senjata nuklir. Namun langkah tersebut berpotensi mempersingkat “waktu breakout” Iran untuk membuat senjata nuklir menurut para pengamat. Ini adalah yang terbaru dari serangkaian langkah yang jauh melampaui parameter kesepakatan nuklir 2015 yang dikenal secara resmi sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang membatasi pengayaan uranium Iran sebesar 3,67% dengan imbalan keringanan sanksi.
Menyusul laporan IAEA, kelompok E3 – yang terdiri dari Inggris, Prancis, dan Jerman – mengeluarkan pernyataan yang mengutuk “keputusan Iran untuk memperluas” program nuklirnya. “Dengan meningkatkan kemampuan produksinya di Fordow dan Natanz, jauh melampaui batas Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), dan dengan mempercepat produksi uranium yang diperkaya, Iran telah mengambil langkah signifikan lebih lanjut untuk meninggalkan JCPOA,” dilansir dari CNN.