Dampak Perang Rusia-Ukraina: Efektifkah Sanksi terhadap Rusia ?
Kamis, 24 Februari 2022 menjadi hari dimana dunia internasional menyaksikan situasi geopolitik yang menantang sistem hubungan internasional dan hukum internasional yang selama ini menjadi panduan dalam tatanan dunia global saat Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan invasi secara skala besar ke Ukraina yang memicu perang diantara kedua negara. Berbagai negara mengecam perang ini tak terkecuali Indonesia, sanksi embargo ekonomi diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) yang kemudian diikuti oleh negara-negara barat dan sejumlah negara di Asia Pasifik. Bahkan Swiss yang selama ini dikenal sebagai negara netral turut membekukan aset Putin dan warga Rusia lainnya. Harapan masyarakat internasional bahwa sanksi yang dijatuhkan terhadap Rusia akan memulihkan integritas wilayah Ukraina dan menekan Rusia untuk mengehentikan invasi ke ukraina.
Efek Sanksi terhadap Rusia
Dampak penggunaan sanksi ini sangat dirasakan oleh Rusia sebagai imbas perang yang dilancarkan pemerintah Presiden Vladimir Putin ke Ukraina. Setidaknya 200.000 orang kini menjadi pengangguran baru di Moskow. Hal ini diungkap Wali Kota Sergei Sobyanin sebagaimana dikutip NPR dari AFP. Mereka rata-rata adalah karyawan perusahaan asing. Sebagaimana diketahui serangan Rusia ke Ukraina membuat sejumlah negara menjatuhkan sanksi yang berdampak ke eksodus besar-besaran perusahaan global dari negara itu dimana terdapat 750 perusahaan telah membatasi operasi di Rusia.
Namun penggunaan instrumen ekonomi ini juga dilakukan Rusia untuk membalas kebijakan sanksi dari negara-negara barat, yang mana Rusia merupakan Eksportir minyak mentah dari Rusia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai $72,6 miliar atau 11% untuk konsumsi global. Oleh karena itu, negara-negara Eropa bergantung pada hampir 40 persen konsumsi gas mereka dan 25 persen gas dari Rusia.
Saat ini Rusia memberhentikan pendistribusian gas ke Polandia dan Belarusia, setelah kedua Negara menolak untuk membayar dengan menggunakan mata uang Rusia yakni Rubel. Sebagiamaina dikutip dalam pernyataan pada 26 April, Gazprom memberi tahu PGNiG tentang niatnya untuk sepenuhnya menangguhkan pengiriman berdasarkan kontrak Yamal pada awal hari kontrak pada 27 April.”
Memperhatikan saling ketergantungan ini, pemerintah Barat membebaskan transaksi energi Rusia dari sanksi. Bahkan AS untuk saat ini tidak akan mendukung embargo pasokan energi, karena dapat menekan kebutuhan konsumen dan industri AS. AS mengimpor Sebagian besar pasokan gasnya AS diimpor dari Rusia, yang menyumbang 21 persen dari kebutuhan AS. Kebutuhan minyak dan gas alam dari Rusia membuat pemerintah Barat enggan memberikan sanksi kepada pemerintah Rusia.
Dapat dikatakan bahwa, untuk saat ini, Barat membutuhkan minyak dan gas Rusia lebih dari Rusia membutuhkan uang mereka. Jerman, serta Italia, Austria, dan Prancis juga merupakan konsumen besar gas alam dan minyak Rusia. Pada saat yang sama, Rusia juga mengandalkan 30 persen dari pendapatan mereka pada ekspor energi. Menyusul keputusan Rusia untuk menginvasi Ukraina, harga minyak mentah Brent melonjak 2,4% menjadi USD100,25 per barel. Itu merupakan harga tertinggi sejak 2014. Hal ini dapat menjadi bargaining power yang cukup menguntungkan posisi Rusia dalam menghadapi resistensi perlawanan Ukraina dan tekanan dunia internasional atas invasi yang dilakukan dengan pemberlankuan sanksi ekonomi.
Dapatkah Sanksi Saat Ini Memenuhi Harapan Publik dan Politik?
Kedua belah pihak mengharapkan sanksi atau embargo sebagai alat yang efisien untuk menekan pihak lain dalam konflik ini, serta mengirimkan sinyal yang kuat kepada masyarakat internasional. Namun, sanksi ini mungkin tidak berhasil memaksa Rusia khususnya, walaupun sanksi yang diberikan masyarakat internasional secara nyata berdampak negatif terhadap ekonomi Rusia. Hal ini dikarenakan kerugian ekonomi seringkali merupakan satu-satunya indikator jangka pendek yang terlihat dari keberhasilan atau kegagalan sanksi yang dijatuhkan.
Dengan demikian, ada kemungkinan untuk berspekulasi bahwa masyarakat internasional mengharapkan perubahan politik besar di Rusia dalam waktu yang relatif singkat setelah menjatuhkan sanksi. Dengan adanya resesi ekonomi di Rusia telah ditafsirkan sebagai satu-satunya hasil nyata dari sanksi internasional. Sanksi terhadap Rusia sebagian berhasil memberi sinyal kepada calon investor bahwa perilaku Rusia tidak dapat diterima oleh negara-negara Eropa. Mereka juga menunjukkan bahwa ada risiko dalam berinvestasi di pasar Rusia.
Adapun Sanksi ini membawa tiga efek paralel: pertama memberi sinyal kepada elit politik Rusia bahwa tindakan yang terkait dengan Ukraina tidak dapat diterima; kedua untuk memberikan tekanan ekonomi langsung pada beberapa sektor ekonomi Rusia; dan ketiga, untuk mengurangi daya tarik ekonomi Rusia dalam jangka panjang. Namun, tujuan sebenarnya dari sanksi menjelaskan kepada Rusia bahwa ia harus berhenti membuat Ukraina tidak stabil.
Namun, sanksi tersebut gagal memberi sinyal kepada Rusia bahwa tindakan yang ditujukan untuk merusak integritas teritorial Ukraina tidak ditoleransi. Sebaliknya, Rusia telah mengirimkan sinyal kepada komunitas internasional bahwa Moskow tidak mengakui pelanggaran yang nyata terhadap prinsip-prinsip dasar hukum internasional. Hukum Humanitear International menyebutkan ketentuan mengenai kewajiban internasional semua negara untuk menghormati persamaan kedaulatan negara , tidak menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah, tidak mencampuri urusan dalam negri suatu negara dan berusahan menyelesaikan pertikaian dengan cara damai (ICRC, 2011).
Kebijakan politik Rusia untuk mengambil tindakan militer ke wilayah Ukraina dengan menggunakan Pasal 51 Piagam PBB tentang Hak Pembelaan Diri (right to self-defence ) sama sekali tidak didukung fakta, argumentasi, atau dasar hukum yang sah dan jelas. Serangan tersebut justru pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara dan integritas teritorial Ukraina, yang tidak sedikit pun dapat dibenarkan. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip dan ketentuan yang terdapat di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), dan Pasal 2 ayat (4) yang semuanya secara eksplisit mengakui kedaulatan sebagai hal utama dalam hubungan internasional.
Apa yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina pada saat ini telah dapat dikualifikasikan sebagai tindakan agresi (act of aggression), baik dalam arti teknis maupun substantif.Selain itu juga menyerukan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional melalui pembatasan penggunaan kekerasan bersenjata terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara mana pun.
Lebih jauh lagi, negara ini siap untuk memerangi tindakan “tidak adil” terhadapnya, berapa pun biayanya. Namun, mengetahui bahwa anggaran federalnya sangat bergantung pada pendapatan minyak, menghindari penggunaan “kartu transit” dapat diartikan sebagai tanda bahwa Rusia masih belum bertekad untuk memenangkan “permainan sanksi” saat ini dengan cara apa pun.
Dalam krisis Rusia-Ukraina, hasil pemberian sanksi ini kecil kemungkinan untuk memaksa Rusia untuk mengubah perilakunya dengan mengehentikan invasi ke Ukraiana. Yang paling bisa diharapkan adalah untuk mencegah Rusia dari tindakan agresif lebih lanjut terhadap negara tetangga lainnya. Ini adalah kenyataan yang harus disadari dunia Internasional karena tujuan sanksi tidak jelas sejak awal dan pemberian sanksi jarang berhasil jika tujuannya tetap terlalu luas, tidak semua metode yang dapat dimanfaatkan oleh si pemberi sanksi dan jika hasilnya diharapkan dalam jangka waktu yang singkat. Inilah kisah dalam konflik Rusia-Ukraina: masyarakat internasional mengharapkan perubahan besar dalam waktu yang relatif singkat dan memberlakukan paket sanksi yang tidak meyakinkan dapat menghentikan konflik secara langsung.