Nilai relatif euro terhadap dolar AS telah tenggelam ke level terendah dalam dua dekade, menjadikan keuntungan bagi masyarakat pengguna dolar AS. Euro diperkirakan akan segera mencapai paritas dengan dolar AS, yang berarti kedua mata uang tersebut akan memiliki nilai tukar 1:1. Itu belum pernah terjadi sejak 2002, ketika euro masih dalam masa pertumbuhan.
Satu euro saat ini bernilai kurang dari $1,01 — turun 11% dari hampir $1,13 pada awal tahun dan turun 15% dari hampir $1,19 tahun lalu. Pemicu penurunan relatif euro termasuk perang yang sedang berlangsung di Ukraina, yang telah memicu ketakutan akan krisis energi dan resesi, serta suku bunga AS yang bergerak naik tajam, mendorong investor untuk mengalirkan dana ke komoditas dolar daripada euro.
Euro sendiri menjadi mata uang resmi 19—dari total 27—negara anggota Uni Eropa, antara lain adalah Austria, Belgia, Siprus, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Malta, Belanda, Portugal, Slovakia, Slovenia, dan Spanyol.
Bagi negara-negara di zone euro, hampir setengah dari barang impor ditagihkan dalam dolar menurut otoritas statistik Eropa, Eurostat. Minyak dan gas, misalnya yang dibayarkan dengan dolar, membuat lebih banyak euro yang diperlukan untuk membayar jumlah barang yang setara dalam dolar, ditambah invasi Rusia di Ukraina juga membuat harga minyak menjadi semakin tinggi.
“Barang impor menjadi kurang kompetitif, bersaing satu sama lain dan karenanya menjadi lebih mahal,” yang memicu inflasi dan mengikis daya beli rumah tangga, kata Isabelle Mejean, profesor di Universitas Sciences Po. Salah satu efek spesifik dari jatuhnya euro terhadap dolar adalah bahwa hal itu akan mengurangi pariwisata Eropa ke Amerika Serikat pada khususnya, dilansir dari CNBC. Sebaliknya, pengunjung ke Eropa dari Amerika Serikat, Qatar dan Yordania mendapat manfaat dari nilai tukar, karena dolar mereka membelinya lebih banyak di zona euro daripada sebelumnya.
Penurunan nilai euro membuat harga di luar area mata uang tunggal lebih kompetitif, secara teoritis memberikan dorongan untuk ekspor barang dan jasa Eropa ke luar negeri dilansir dari Economic Times. Namun dampak positifnya dapat dimitigasi dengan naiknya harga komoditas pasca perang di Ukraina, khususnya di negara-negara yang berorientasi ekspor seperti Jerman.