Langkah Rusia dengan meluncurkan serangan militer ke Ukraina berbalik merugikan keamanan dan politik Rusia sendiri. Negara-negara Eropa seperti Swedia dan Finlandia yang ‘netral’ secara resmi mendaftarkan negaranya untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pimpinan Amerika Serikat (AS). Ancaman keamanan militer dari Rusia menjadi pemicu keinginan kedua negara tersebut bergabung NATO guna mendapat garansi keamanan nasionalnya. Di sisi lain, Rusia menyatakan ‘tidak keberatan’ dengan perluasan keanggotaan NATO, namun jika terdapat aliran persenjataan ke kedua negara ini maka Presiden Rusia Vladimir Putin akan bereaksi.
Tantangan lain muncul, di mana Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan akan menolak pengajuan keanggotaan Swedia dan Finlandia. Negara yang sudah bergabung NATO sejak tahun 1952 tersebut memiliki hak veto untuk menolak yang di mana dalam hal perluasaan keanggotaan, tiga puluh negara anggota NATO harus menyetujui pengajuan keanggotaan. Bagi negara Eropa dan AS, ancaman Turki untuk melakukan hak veto akan menghambat integrasi keamanan di Eropa, terutama dengan melihat serangan nyata Putin di Ukraina saat ini. Keputusan penolakan Turki atas keanggotan Swedia dan Finlandia didasari oleh tindakan kedua negara yang dinilai mendukung kelompok teroris yakni Kurdistan Workers’ Party, atau PKK. Namun, mengapa sebenarnya Erdogan tegas menolak keanggotaan Swedia dan Finlandia?
Erdogan memiliki visi lain yang lebih besar?
Holsti (dalam Naomi Wish, 2014: 534) menyatakan bahwa dalam kebijakan luar negeri, aksi dan keputusan dari pemerintah dipengaruhi dari bagaimana para pembuat keputusan melihat peran negara dilingkup nasional, regional maupun internasional secara keseluruhan. Hubungan dengan negara maupun organisasi internasional juga bisa dimanfaatkan oleh elit politik dalam merumuskan kebijakan luar negeri sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Negara memiliki perannya masing-masing, baik sebagai negara kooperatif, sebagai negara yang dicontoh, atau negara dominan yang memimpin dan menjaga negara lainnya. Dalam lingkup NATO, peran dari negara Barat dan AS biasanya dilihat sebagai lebih besar dan berpengaruh karena adanya status lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemimpin atau negara anggota regional lainnya.
Penolakan Turki atas keanggotaan Finlandia dan Swedia bukan hanya mengenai isu keamanan yakni PKK dan isu utara Suriah, namun juga politik. Turki bisa dikatakan sebagai negara cukup berpengaruh mengingat kekuatan militer Turki menjadi kedua terbesar yakni sekitar 445.000 personel bersenjata setelah milik AS di lingkup NATO. Berkaitan dengan hubungan dengan negara lain, Turki memandang bahwa jika dilihat dari pengalaman sebelumnya, di mana Turki juga menyetujui keanggotaan Yunani, negara Yunani malah berbalik merugikan politik Turki. Dengan kondisi ini, Turki menunjukkan adanya masalah kesatuan persepsi dan kepercayaan dalam NATO terutama dari sisi keamanan. Meskipun berada dalam lingkup organisasi yang sama, namun dinamika konflik keamanan terutama terkait kelompok Kurdi masih terjadi, sehingga sejarah tersebut yang membuat Turki ragu mendukung Swedia dan Finlandia. Terlebih dengan permasalahan penolakan Swedia dan Finlandia untuk mengesktradisi 33 orang yang diinginkan Turki, maka bukan tidak mungkin jika kedua negara ini masuk NATO kejadian yang sama akan terulang.
Sebagaimana NATO dibentuk sebagai pakta pertahanan keamanan, sebagai balasan kepatuhan dan kepercayaan tersebut setiap negara anggotanya juga menginginkan adanya dukungan perlindungan keamanan. Bagi Turki, sejarah konflik dengan pejuang PKK yang melakukan genosida atas kekuatan militer serta sipil etnis Kurdi menjadi salah satu isu penting. Isu PKK ini yang sudah jelas tidak sepemahaman dengan Turki, karena Turki mengklaim Swedia dan Finlandia mendukung militan Kurdi di utara Suriah. Keputusan mendukung keanggotaan akan sulit karena seakan memberikan jalan bagi ‘musuh’ berada di meja yang sama dengan Turki.
‘Sambil menyelam minum air’ ala Turki
Melihat gentingnya kondisi keamanan di Eropa saat ini, kemungkinan besar Barat dan Turki akan menegosiasikan sebuah perjanjian, maupun kompromi kedua pihak untuk kepentingan bersama. Turki menggunakan momen ini untuk sekaligus melancarkan kepentingan politik serta keamanannya di lingkup domestik dan global. Salah satunya yakni Turki sudah meminta Swedia dan Finlandia menghentikan embargo senjata kepada Turki yang terjadi sejak tahun 2019 karena operasi peningkatan militer ofensif di utara Suriah. Padahal, serangan di wilayah Suriah ini yang juga dikecam oleh Barat dan AS, sehingga mereka menurunkan sanksi untuk Turki.
Selain itu, momen ini juga digunakan Turki untuk membuka kembali negosiasi mengenai kepentingannya dalam pembelian jet tempur F-16 setelah sebelumnya untuk pesawat tempur F-35 dari AS pembeliannya dibatalkan karena pembelian sistem anti-misil S-400 dari Rusia. Padahal, Turki sudah memesan dan melakukan pembayaran awal sekitar USD1,4 milyar untuk jet tempur F-35 tersebut. Tidak hanya satu buah, namun Turki berencana membeli 40 buah jet tempur F-16, sekaligus 80 pasang perangkat modernisasi militer untuk pesawat yang dimiliki negaranya. AS berada dalam posisi terdesak, di satu sisi karena persetujuan mengenai F-16 yang belum disepakati, namun juga di sisi lain AS membutuhkan Turki sebagai pendukung bantuan kemanusiaan dan kekuatan militer terutama drone Bayraktar (TB-2) untuk Ukraina.