Sedikitnya lima orang tewas pada hari Senin malam tadi saat protes yang meluas di Sri Lanka terjadi. Protes berubah menjadi kekerasan saat pendukung Rajapaksa menyerang demonstran yang berkamping di luar rumah Rajapaksa.
Setidaknya 180 orang terluka dikarenakan masyarakat menuntut Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa untuk turun dari jabatannya. Di antara lima orang yang tewas termasuk juga Amarakeerthi Athukorala, seorang anggota parlemen, yang bunuh diri setelah menembak mati demonstran yang menghalangi mobilnya.
Kondisi ketidakstabilan ini membuat PM Sri Lanka Mahinda Rajapaksa mengirimkan surat pengunduran diri jabatan ke kakaknya yakni Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa.
Meskipun Mahinda merupakan politisi populer, namun dirinya tersangkut kasus korupsi terdahulu yang isunya naik kembali saat krisis ekonomi terjadi. Sebenarnya, kakaknya yang sekaligus Presiden Sri Lanka yakni Gotabaya Rajapaksa juga dituntut untuk turun dari jabatannya, namun hingga kini Ia enggan mengundurkan diri.
Status darurat di Sri Lanka
Sri Lanka mengeluarkan kondisi darurat negara, sehingga kekuatan militer diturunkan guna menangkap dan memenjarakan masyarakat yang protes anti pemerintah. Padahal, selain menuntut turunnya perdana menteri, masyakarat juga menuntut perbaikan kondisi ekonomi yang dinilai terburuk sejak kemerdekaan di tahun 1948 lalu.
Tidak hanya masyarakat, politisi Sri Lanka seperti Ravi Kumudesh dari Partai Persatuan menginginkan presiden Gotabaya Rajapaksa yang satu keluarga dengan PM Mahinda Rajapaksa untuk turun dari kepemimpinannya. Politisi menginginkan garis kekuasaan keluarga Rajapaksa diputus.
Menyusul protes, pemerintah menilai demonstran anti pemerintah bertindak provokatif dan mengancam. Kekerasan dari demonstran diklaim menyebabkan kesulitan pemenuhan pelayanan dasar dan utama di Sri Lanka.
Selain dengan gas air mata, kekuatan militer berjumlah 85,000 personel diturunkan. Mereka merespons demonstran dengan kekerasan, bahkan pada demonstran yang tidak menggunakan senjata apapun.
Krisis domestik berkepanjangan
Krisis di Sri Lanka bermula saat pandemi Covid-19 yang memutus pemasukan utama negara yakni pariwisata, sehingga negara kesulitan juga membayar utang luar negeri. Keadaan tersebut memaksa Sri Lanka menghentikan konsumsi impor bagi masyarakat dan industri.
Dampak perlambatan ekonomi menyebabkan masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, obat-obatan, dan listrik, terlebih dengan naiknya inflasi di Sri Lanka. April lalu saja Sri Lanka mengumumkan penangguhan pembayaran utang luar negeri sebesar USD51 miliar.
Departemen Sensus dan Statistik Sri Lanka menyatakan harga barang konsumen menjadi naik sekitar 29.8 persen pada awal April lalu. Angka ini naik dari bulan sebelumnya yang berada di kisaran 18.7 persen.
Dengan krisis berkepanjangan dan mundurnya PM Sri Lanka, maka seluruh kabinet juga sudah berakhir. Pemerintah harus segera membentuk kabinet baru untuk mengatasi krisis keonomi dan politik yang terjadi.