Presiden baru Chili, Gabriel Boric dari partai sayap kiri yang baru saja dilantik telah menandatangani Perjanjian Escazu yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Padahal pemerintah Chili sebelumnya tidak pernah berencana apalagi mendukung perjanjian lingkungan karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Boric, pengganti presiden sebelumnya, Sebastian Pinera, telah berjanji untuk mengambil sikap tegas terhadap regulasi perubahan iklim dan regulasi terkait lingkungan. Presiden yang baru dilantik ini adalah seorang mantan aktivis mahasiswa yang dilantik pada 11 Maret lalu. Presiden termuda negara itu terpilih setelah berjanji untuk mengatasi ketidaksetaraan yang mengakar di Chili dan untuk meningkatkan akses ke perawatan kesehatan, pendidikan, dan pensiun.
Menurutnya, penandatanganan perjanjian ini adalah “mimpi lama” Boric dan juga pemerintah Chili. “Hari ini, kami menandatangani dan memenuhi komitmen ini.” yang mempelihatkan bahwa Chili akan ikut dengan banyak negara untuk melindungi lingkungan.
“Perjanjian ini merupakan tonggak dalam perjalanan menuju hubungan baru antara negara dan penduduknya dalam masalah lingkungan,” kata Boric pada hari Jumat saat upacara penandatanganan dilansir dari Al Jazeera. Walaupun telah ditandatangani Boric, perjanjian ini masih perlu ditandatangani oleh anggota kongres.
Presiden berumur 36 tahun itu juga sangat bersemangat untuk perjanjian ini. “Perjanjian lingkungan pertama dan satu-satunya di Amerika Latin dan Karibia muncul sebagai alat yang ampuh untuk perubahan yang kita rindukan”. Boric juga mengatakan bahwa pada KTT iklim COP27 berikutnya, yang akan diadakan di Mesir akhir tahun ini, Chili akan “sepenuhnya Escazu“.
Perjanjian Escazu merupakan perjanjian hasil dari Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (Rio+20) tahun 2012. Escazu akan digunakan sebagai instrumen yang mengikat secara hukum pertama di dunia yang terkait tentang pembela hak asasi manusia, lingkungan, dan juga merupakan perjanjian lingkungan pertama yang diadopsi di Amerika Latin dan Karibia. Perjanjian ini telah ditandatangani banyak negara termasuk Argentina, Meksiko, dan Brasil, mulai berlaku pada April tahun lalu.
Pada konferensi tingkat tinggi yang diselenggarakan oleh Komisi Ekonomi untuk Amerika Latin dan Karibia (Economic Commission for Latin America and the Caribbean / ECLAC), Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, menyatakan bahwa “Perjanjian Escazu hadir pada waktu yang tepat karena kita dapat membuat komitmen nyata untuk berubah.”
Namun, sejak diadopsi, proses ratifikasinya berjalan lambat akibat gejolak politik, pandemi COVID-19, serta lambatnya proses ratifikasi di dalam negeri. Apalagi, proses ratifikasi nasional ini seringkali diliputi oleh lobi-lobi dari kelompok oposisi dan penyebaran informasi palsu mengenai potensi dampak kesepakatan tersebut.
Escazu menjadi perjanjian yang berusaha untuk menangani berbagai hak lingkungan, seperti akses ke informasi lingkungan, partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan lingkungan, dan akses ke keadilan lingkungan. Akses ke informasi lingkungan berpotensi penting di negara-negara seperti Chili, di mana banyak keinginan masyarakat mengenai penggunaan air oleh perusahaan tembaga dan lithium dan efek penambangan pada gletser yang dimiliki oleh Pemerintah Chili.