Konflik Tigray: Kompleksitas Politik Domestik Etiopia dan Dilema AS
Sebagai wilayah rentan konflik, wilayah benua Afrika khususnya di Tigray, Ethiopia memerlukan perhatian lebih. Peningkatan eskalasi konflik di negara dengan populasi terbanyak kedua di Benua Afrika ini sedang meningkat kembali sejak November tahun 2020 lalu. Sejauh ini, Universitas Ghent Belgium memprediksi konflik ini sudah menewaskan setidaknya 10 ribuan orang dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi.[1] Badan bantuan kemanusiaan Amerika Serikat (USAID) mengestimasikan bahwa hampir satu juta orang di wilayah Tigray mengalami kelaparan karena dampak konflik, serta akses dasar lainnya juga semakin terbatas. AS menyatakan sudah berupaya mengirimkan bantuan dan mengundang pemerintah setempat untuk berdialog, namun terus ditolak oleh Perdana Menteri Ethiopia, Abiy.[2] Lalu, mengapa hal ini terjadi?
Konflik Ethiopia dan peningkatan tensi domestik
Konflik Tigray di Ethiopia terjadi antara tentara pemerintah Ethiopia yakni Ethiopian National Defense Force (ENDF) dan pejuang Tigray yang berselisih di wilayah utara Tigray. Pejuang Tigray atau The Tigray People’s Liberation Front (TPLF) memandang Perdana Menteri (PM) Ethiopia Abiy Ahmed dari etnis Oromo sebagai lawan politiknya. Hal ini dikarenakan 25 tahun sebelum Abiy Ahmed menjabat pada tahun 2018, TPLF merupakan aktor dengan pengaruh terbesar di politik domestik Ethiopia.[3] Koalisi pemerintah Ethiopian People’s Revolutionary Democratic Front (EPRDF) dulu dipimpin oleh pemimpin dari TPLF yang dilakukan secara otoriter. Hal ini yang membuat Abiy berupaya membentuk koalisi baru dari gabungan EPRDF menjadi satu partai yakni Partai Kemakmuran sebagai upaya menghilangkan pengaruh TPLF dan menjanjikan reformasi demokrasi.
Kompetisi politik antara PM Abiy Ahmed dan TPLF semakin terlihat saat TPLF menolak bergabung koalisi, sehingga terdapat perbedaan kepentingan dikarenakan ingin mempertahankan dan meraih kembali kekuasaan. Berdasarkan konsep kekuasaan, aktor politik memandang kekuatan yakni pengaruh bisa dicapai menggunakan metode kerja sama, kekerasan, dan kompetisi. Kondisi politik di Ethiopia berubah menjadi konflik keamanan dan sipil, sehingga jika dilihat dari konsep penggunaan kekuatan, Ramos Horta (2015) menyatakan pencegahan konflik bersenjata memang perlu dicegah, namun jika sudah ‘tidak bisa dicegah’, maka ‘penjaga perdamaian’ yakni kekuatan militer digunakan untuk menjaga kestabilan wilayah dan mencegah penyebaran konflik yang terjadi.[4] Konsep ini membahas mengenai bagaimana penggunaan kekuatan militer guna mengatasi dan menstabilkan wilayah konflik bersenjata.
Pada konteks ini, eskalasi Tigray meningkat setelah upaya pencapaian kekuasaan melalui pemilihan umum pada September tahun 2020 yang dilakukan tanpa persetujuan pemerintah pusat. Tindakan sepihak ini diperburuk dengan penggunaan kekuatan militer oleh TPLF yang menyerang markas ENDF serta menduduki Ibu Kota Tigray yakni Mekele.[5] Penggunaan kekerasan meningkatkan insiden kasus pembunuhan dan pembantaian, sehingga Abiy juga merespon dengan peningkatan kekuatan militer di wilayahnya. Abiy bahkan menunjukkan ketidaksetujuannya dengan elit politik Tigray dengan membahas akuntabilitas perekonomian dan kejahatan politik di masa pemerintahan terdahulu.[6] Adu kekuatan militer antara militer Ethiopia dan TPLF mengalami dinamika perubahan kemenangan yang saat ini lebih menguntungkan TPLF, sehingga TPLF semakin memperluas wilayah pendudukannya ke wilayah Afar dan Amhara per 5 Agustus lalu.[7] Kedua pihak sama-sama berupaya mencapai kepentingan kekuasaan yakni pengaruh politik, wilayah, dan kesatuan etnisnya. Namun, keterlibatan kekuatan militer hanya menambah beban sosial warga sipil dan beban ekonomi.
Konteks Keamanan Manusia pada Konflik Tigray dan Bantuan AS
Konflik politik yang berdampak pada isu keamanan, sosial, dan ekonomi di Tigray berkaitan dengan isu keamanan manusia. Keamanan manusia merupakan keamanan bagi individu maupun kelompok dari berbagai ancaman fisik dan non fisik seperti kelaparan, penyakit, terorisme, kejahatan etnis, dan lain-lain.[8] Isu keamanan manusia ini membutuhkan perlindungan yang serius agar semua kebutuhan mendasar masyarakat dapat dicapai dan dipenuhi. Kondisi konflik di Tigray tidak hanya membuat ribuan orang tewas dan ratusan ribu lainnya harus mengungsi. Namun, masyarakat juga kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan mendasarnya agar bisa hidup dengan tenang dan damai, yang diperparah dengan kondisi menderita kelaparan, kejahatan dan diskriminasi etnis, dan lain-lain.
Isu keamanan manusia ini turut mengundang keterlibatan Barat dan aliansinya. Juru Bicara Kenegaraan Amerika Serikat Ned Prince mendorong agar TPLF mundur dari wilayah Amhara dan Afar. Namun, AS bersama aktor internasional kemanusiaan lain yakni Doctors without Borders dan the Norwegian Refugee Council juga menilai tindakan PM Abiy menggunakan kekerasan pada etnis lain merupakan metode yang salah, sama seperti yang dilakukan TPLF.[9] Bahkan, sebagai satu-satunya negara pendonor terbesar Ethiopia, AS tetap melayangkan sanksi ekonomi dan militer, sehingga bantuan dana untuk Ethiopia dipangkas cukup besar hingga USD1 triliun.[10] Badan kemanusiaan yakni Human Rights Watch melaporkan bahwa militer pemerintah Ethiopia melakukan pelanggaran HAM dengan perlakuan intimidasi dan pengancaman pada orang Tigraya.[11] Isu HAM ini yang menjadi salah satu isu kritis AS dalam kebijakan sanksi pada pemerintahan Abiy.
Di sisi lain, Abiy menilai AS dan Barat terlalu ikut campur permasalahan domestiknya, karena melakukan sanksi ekonomi dan militer dengan dasar pelanggaran hak asasi manusia di wilayah konflik Tigray.[12] Ethiopia bahkan membekukan tugas dan fungsi dari organisasi kemanusiaan internasional selama tiga bulan dengan dasar penyebaran informasi palsu terkait pelanggaran hak asasi manusia.[13] Melalui menteri luar negerinya, Ethiopia menyatakan jika pembatasan dari AS terus berlangsung, maka Ethiopia tidak memiliki pilihan lain selain “memikirkan kembali” hubungan politiknya dengan AS.[14] Tindakan ini juga berbuntut panjang, karena USAID dan aliansi Eropa juga menilai pemerintah Ethiopia menghambat bantuan kemanusiaan dengan adanya penahanan akses bantuan ke Tigray. Namun, Juru Bicara PM Abiy menolak tuduhan tersebut dan menilai tindakan tersebut sebagai prosedur pemeriksaan ketat keluar-masuk logistik.[15]
Posisi AS cukup dilematis karena di satu sisi Ethiopia menyadari wilayah strategisnya sebagai rekan utama AS di Afrika, sehingga Ethiopia mulai “bertingkah” dengan mendekati Turki guna membahas perjanjian kerja sama militer.[16] Bagi AS, kedekatan ini akan berdampak pada pengaruh dan hubungan politik AS-Ethiopia, terutama karena wilayah strategis Ethiopia di antara negara lainnya di Afrika. Namun, AS juga tetap perlu memberikan sanksi atas tindakan Ethiopia yang melanggar nilai dasar yang dijunjung oleh negara Barat, yakni HAM. Sebagai negara kedua populasi tertinggi di Afrika, AS juga menilai stabilitas sosial politik dan keamanan di Ethiopia penting sebagai upaya meminimalisir efek berkelanjutan kekerasan di Afrika, mengingat kondisi benua Afrika yang sudah rentan konflik domestik.
Bagi Ethiopia, tindakan AS yang dianggap terlalu ikut campur domestiknya juga akan berpengaruh pada kekuasaan dan kekuatan politik domestik Ethiopia. Sebagai pemimpin berdaulat, Ethiopia juga ingin mengatasi permasalahan domestiknya secara penuh tanpa intervensi asing. Namun juga tidak bisa dipungkiri, penggunaan kekuatan militer kedua pihak sudah banyak merugikan sipil, sehingga eskalasi ini juga berbahaya bagi regional Afrika lainnya yang juga sudah memiliki permasalahan konflik domestik. Maka dari itu, AS dan Barat tetap perlu melakukan bantuan kemanusiaan untuk meminimalisir dampak yang menyebar ke regional Afrika.
[1] BBC News, (2021), Ethiopia’s Tigray war: The short, medium and long story, BBC News, https://www.bbc.com/news/world-africa-54964378
[2] BBC News, (2021), Ethiopia’s Tigray crisis: US accuses Abiy’s government of blocking aid, BBC News, https://www.bbc.com/news/world-africa-58279442
[3] Martina Schwikowski, (2021), The conflict in Tigray, Ethiopia, DW, https://www.dw.com/en/the-conflict-in-tigray-ethiopia/a-58886256
[4] Antonio Oliveira, (2021), THE USE OF MILITARY FORCE IN THE MANAGEMENT AND CONFLICT RESOLUTION, JANUS.NET e-journal of International Relations, Vol. 7, No. 1, May-October 2016. Consulted, https://repositorio.ual.pt/handle/11144/2621.
[5] Ibid.,
[6] Vanda Felbab-Brown, (2021), Dangerous trends in Ethiopia: Time for Washington’s tough love, Brookings, https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2021/08/09/dangerous-trends-in-ethiopia-time-for-washingtons-tough-love/
[7] Ibid.,
[8] Human Security Unit Office for the Coordination of Humanitarian Affairs United Nations, (n.d.), Human Security In Theory And Practice Application of the Human Security Concept and the United Nations Trust Fund for Human Security, United Nations Trust Fund for Human Security
[9] Declan Wash, (2021), Changing Tack, U.S. Sanctions Ethiopia Over Abuses in Tigray War, New York Times, https://www.nytimes.com/2021/05/24/world/africa/ethiopia-us-sanctions-tigray.html
[10] Ibid.,
[11] Human Rights Watch, (2021), Ethiopia: Ethnic Tigrayans Forcibly Disappeared, HRW, https://www.hrw.org/news/2021/08/18/ethiopia-ethnic-tigrayans-forcibly-disappeared
[12] Giulia Paravicini, (2021), Ethiopia accuses United States of meddling over Tigray, Reuters, https://www.reuters.com/world/africa/us-imposes-restrictions-ethiopia-assistance-over-tigray-2021-05-23/
[13] Kaamil Ahmed, (2021), Ethiopia suspends aid groups for ‘spreading misinformation, The Guardian, https://www.theguardian.com/global-development/2021/aug/06/ethiopia-suspends-aid-groups-for-spreading-misinformation
[14] Giulia P., Op.cit.
[15] BBC News, Op.cit.
[16] Al Jazeera, (2021), Erdogan backs peaceful resolution to Ethiopia’s Tigray conflict, Al Jazeera, https://www.aljazeera.com/news/2021/8/18/erdogan-offers-to-mediate-end-to-ethiopias-tigray-conflict