RUU KUP yang “Bocor” jadi Jawaban Pasca Pandemi?
Meskipun pandemi Covid-19 sudah berlangsung hampir 18 bulan, namun kasus Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia masih sangat tinggi. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 ini akan sangat riskan melihat kasus positif di Indonesia yang meningkat terutama pasca masa Lebaran kemarin membuat total kasus terdaftar menjadi sekitar 1,93 juta dengan kematian 53 ribu orang.[1] Berbagai kebijakan perekonomian pun sudah dilakukan, namun baru-baru ini rencana atau usulan perubahan pengaturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) “bocor” ke publik dan menimbulkan pro kontra di masyarakat. Lalu, apakah peningkatan pajak akan membantu pemulihan perekonomian Indonesia pasca pandemi Covid-19?
RUU KUP bocor, menimbulkan pro kontra masyarakat
Rencana peningkatan tarif PPN menjadi salah satu aspek fokus pemerintah dalam upaya memulihkan perekonomian pasca pandemi. Rencana kebijakan ini mengatur peningkatan pajak sembako, jasa pelayanan kesehatan medis, dan pendidikan menjadi 12 persen yang sebelumnya 10 persen. Peningkatan pajak ini sebenarnya masih berada dalam interval tarif PPN yang berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2009 diizinkan di antara 5 hingga 15 persen. Dengan dasar tersebut, pemerintah mengeluarkan rencana perubahan pengenaan PPN pada UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), di mana Pasal 4A pada draf RUU KUP tersebut mengatur penghapusan beberapa jenis barang tidak kena pajak dan akan membebankan pajak pada jasa yang sebelumnya dikecualikan dari pemungutan PPN.[2] Pemungutan pajak ini mengatur pajak mulai dari barang sembako, jasa kesehatan medis hingga ketenagakerjaan, sehingga memang memunculkan banyak pertentangan dari masyarakat terutama dari kalangan menengah ke bawah yang menilai pemerintah hanya berani menekan masyarakat kelas bawah.
Menkeu Sri Mulyani menanggapi pertentangan rencana pajak ini dengan menyebut bahwa pembahasan RUU KUP masih belum bisa dijelaskan secara rinci pada publik karena sudah terlebih bocor sebelum diserahkan dan dibicarakan pada sidang DPR.[3] Ditambah, draf RUU KUP yang beredar tersebut bukanlah bagian keseluruhan dan memang belum saatnya dibahas karena pemerintah masih fokus pemulihan perekonomian akibat pandemi Covid-19.[4] Namun, secara garis besar Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menilai pengaturan baru perubahan struktur pajak terutama pada pajak penghasilan (PPh) dan PPN ini diperlukan untuk menciptakan struktur pajak yang lebih baik, mengingat PPh di Indonesia masih rendah.[5] Proses reformasi ini juga diklaim pemerintah tidak akan menghambat upaya pemulihan ekonomi, apalagi memberatkan kelompok masyarakat rentan dan miskin yang khawatir terkait sembako. Hal ini dikarenakan pajak terutama pada sembako hanya akan berlaku pada bahan-bahan “premium” yang biasa ada di swalayan, bukan di pasar tradisional.
Pemerintah: peningkatan pajak bukan sekadar peningkatan pendapatan
Negara akan cenderung mendorong peningkatan belanja masyarakat dan memberikan kebijakan langkah darurat fiskal untuk stabilitas ekonomi guna pemenuhan kebutuhan masyarakat selama masa pandemi.[6] Peningkatan pajak ini menjadi upaya menstimulasi berbagai sektor perekonomian agar mau melakukan investasi dan menciptakan lapangan kerja, sehingga bisa mendorong perekonomian nasional dan membantu dana bantuan serta pelayanan sosial. Selain itu, keputusan ini juga tidak dapat dipungkiri penting dalam upaya penyeimbangan fiskal, baik melalui penurunan belanja dan penghasilan pajak mengingat terdapat peningkatan utang demi penanganan krisis Covid-19.
Menkeu Sri Mulyani menyatakan terdapat peningkatan rasio utang pemerintah pada Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 40 persen yang tetap akan terus meningkat ke depannya, mengingat belanja negara banyak difokuskan untuk program pemulihan ekonomi nasional.[7] Utang pemerintah sudah mencapai Rp6.445,07 triliun per 3 Maret, di mana meningkat sebanyak Rp1.253 triliun dibandingkan periode sebelumnya.[8] Ditambah lagi, APBN juga mengalami defisit yang masih berada di angka tiga persen karena banyaknya program perlindungan sosial masyarakat. Dengan kondisi kerentanan ekonomi saat ini, memang dapat memperlambat pertumbuhan belanja masyarakat dan berdampak juga pada pemasukan negara. Namun, pemerintah kembali mengklaim kebijakan ini bukan berarti semata-mata pemerintah hanya menginginkan pendapatan.[9] Hal ini dikarenakan reformasi ini dibutuhkan untuk secara bertahap meningkatkan rasio perpajakan dan mengaplikasikan asas sehat dan adil, dimana barang-barang mewah harus mendapat pajak yang lebih tinggi juga.
Reformasi perpajakan masih perlu pengkajian
Sebagai upaya meningkatkan perekonomian yang terpuruk pasca pandemi, rencana peningkatan pajak sebenarnya menunjukkan adanya upaya pemerintah dalam reformasi aturan pajak sebagai jangka panjang perekonomian domestik. Pajak juga memang penting untuk anggaran negara, namun peningkatan pajak bukan menjadi solusinya terutama pasca pandemi Covdi-19 karena terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti:
- Peningkatan pajak terutama dalam sembako dan pendidikan berisiko semakin meningkatkan kemiskinan
Meskipun pemerintah menyatakan hanya menyasar produk “premium” dan jasa baru, namun bukan berarti tidak akan berdampak pada produk yang ada di pasaran umum. Dengan meningkatnya harga barang dan jasa tersebut, masyarakat yang biasa menikmati barang dan jasa “premium” bisa beralih pada produk “biasa” sehingga memunculkan kelangkaan barang dan peningkatan harga. Dampaknya, masyarakat umum lain juga bisa menurunkan belanja dan kualitas barang pokok yang lebih rendah yang akhirnya membuat kesehatan dan pertumbuhan masyarakat menurun.
- Masih tingginya penghindaran pajak dan permainan pajak di Indonesia, data wajib pajak juga bermasalah
Tidak dipungkiri memang pajak sangat membantu anggaran negara yang juga diperuntukkan demi kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat selama pandemi, terlihat dari berbagai bantuan dana kartu prakerja, bantuan pada usaha kecil menengah, dan lain-lain. Namun permasalahan lain dari pajak sendiri terkadang bukan dari besaran pajak, namun dari tingkat kepatuhan pajak Indonesia yang masih rendah.[10] Kepatuhan pajak ini akan berbanding lurus dengan penerimaan pajak pemerintah sehingga pemerintah perlu memfokuskan juga pada strategi untuk menurunkan rasio penghindar pajak domestik. Maka dari itu, peningkatan penerimaan pajak menjadi salah satu aspek yang perlu kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan pebisnis.Selain itu, data wajib perpajakan domestik juga masih bermasalah, dimana banyak data fiktif dan tidak sesuai yang membuat sulitnya integrasi data.[11] Kebijakan satu data juga diperlukan untuk membuat data semakin teratur dan terintegrasi dengan data aset lainnya. Berbagai permasalahan mendasar ini perlu dibenahi terlebih dahulu sebelum meningkatkan perpajakan domestik pasca pandemi covid-19 karena dengan begitu pendapatan dan kewajiban baik dari pemerintah, masyarakat, dan pebisnis bisa bersama-sama membangun perekonomian nasional.
[1] Worldometer, (2021), Indonesia, https://www.worldometers.info/coronavirus/country/indonesia/
[2] Rifan Aditya, (2021), RUU KUP: Isi, Barang yang Kena Pajak dan Bebas Pajak, Suara.com, https://www.suara.com/news/2021/06/11/131203/ruu-kup-isi-barang-yang-kena-pajak-dan-bebas-pajak?page=2
[3] Kompas, (2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku heran RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) bocor., Kompas, https://jeo.kompas.com/naskah-lengkap-ruu-kup-yang-mau-pajaki-sembako
[4] Ibid.,
[5] Muhamad Wildan, (2021), Kemenkeu Beberkan Alasan Perlunya Reformasi PPN dan PPh Orang Pribadi, DDTV, https://news.ddtc.co.id/kemenkeu-beberkan-alasan-perlunya-reformasi-ppn-dan-pph-orang-pribadi-30604?page_y=1100
[6] Deloitte. Recovery from the COVID-19 crisis What role will tax policy play?, https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/global/Documents/Tax/dttl-tax-recovery-from-covid-19-crisis-what-role-tax-policy-play-supporting-recovery-1.pdf
[7] CNN Indonesia, (2021), Sri Mulyani Ramal Rasio Utang RI di Atas 40 Persen pada 2022, CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210602144829-532-649503/sri-mulyani-ramal-rasio-utang-ri-di-atas-40-persen-pada-2022
[8] Ibid.,
[9] Jaffry Prakoso, (2021), Wacana Pajak Sembako, Wamenkeu: Bukan Niat Pemerintah Keruk Pendapatan, Ekonomi, https://ekonomi.bisnis.com/read/20210617/9/1406853/wacana-pajak-sembako-wamenkeu-bukan-niat-pemerintah-keruk-pendapatan
[10] Indo Pajak, Kepatuhan Pajak di Indonesia, Indo Pajak, https://indopajak.id/kepatuhan-pajak-di-indonesia/
[11] Kontan, (2021), Menkeu: Satu penduduk Indonesia bisa punya 40 data hambat integrasi data, Kontan, https://nasional.kontan.co.id/news/menkeu-satu-penduduk-indonesia-bisa-punya-40-data-hambat-integrasi-data