Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Indonesia, Hanya Wacana?

Indonesia sudah melakukan penelitian pengembangan nuklir selama puluhan tahun, namun program Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) masih memiliki kendala terutama dari segi dukungan politik, ekonomi, dan sosial domestik. Pro kontra yang berkembang berkaitan dengan beberapa hal terutama keamanan yakni lokasi pengembangan tenaga nuklir mengingat wilayah Indonesia yang rentan terkena bencana alam dan potensi radiasi. Namun, melihat perkembangan teknologi dan semakin tingginya kebutuhan akan energi, sedangkan cadangan bahan bakar seperti batu bara yang semakin menipis dan memiliki tingkatan emisi karbon cukup tinggi, Indonesia semakin mantap melakukan pengembangan teknologi nuklir sebagai alternatif terutama dalam kebutuhan energi listrik nasional di masa mendatang. Lalu bagaimana upaya yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia dalam pengembangan PLTN dalam negeri?
Pemanfaatan Nuklir di Indonesia
Hingga saat ini, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) menyatakan sedang mengelola tiga reaktor nuklir Indonesia yakni Reaktor TRIGA 2000 di Bandung sejak dibangun tahun 1965, Reaktor Kartini di Yogyakarta, dan Reaktor GA. Siwabessy di Serpong.[1] Ketiga nuklir ini terus dikembangkan kapasitasnya dan masih beroperasi dengan normal, dimana sejak tahun 2015 lalu BATAN masih melakukan upaya pengembangan konversi bahan reaktor TRIGA 2000 yang sudah diajukan izin modifikasinya ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Diharapkan target pengembangan dan pengoperasian reaktor ini rampung tahun 2024, di mana menurut Jupiter, Kepala Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan (PSTNT), BATAN mampu secara mandiri mendesain konversi reaktor berdasarkan ketentuan dan prosedur yang diawasi langsung oleh BAPETEN sehingga dapat dijamin kehandalan dan keselamatannya.[2] Reaktor-reaktor yang dikembangkan ini berdaya rendah sehingga memang dimanfaatkan untuk tujuan damai, bukan diperuntukkan sebagai senjata untuk menyerang atau bertahan dari serangan nuklir negara lain.
Pemanfaatan nuklir ini sudah dilakukan di Indonesia terutama dalam bidang pendidikan atau riset, pangan, pertanian, medis, dan lain-lain. Teknologi ini digunakan dalam perekayasaan hayati seperti penelitian untuk menghasilkan bibit unggul menggunakan iradiator gamma, dan lain-lain guna mendukung perekonomian dan sosial masyarakat. Pemerintah semakin aktif mengembangkan nuklir, di mana berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemanfaatan nuklir nanti akan lebih diperluas termasuk untuk pengembangan aspek energi nuklir melalui PLTN. Sebagai upaya mencapai Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% pada tahun 2025 maka nuklir juga harus dimasukkan dalam fokus pembahasan dalam Rancangan Undang-Undang EBT, mengingat energi nuklir sebagai alternatif energi terbarukan di Indonesia.
Meskipun begitu, Indonesia masih terkendala permasalahan internal lain yakni terdapat pandangan salah satunya dari Rida Mulyana, Direktur Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang melihat bahwa PLTN bukanlah fokus saat ini mengingat belum optimalnya pengembangan sumber daya Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia yang lebih ramah lingkungan seperti panas bumi, tanah, air, biomassa, cahaya matahari, dan lain-lain.[3] Namun, melihat kapasitas pembangkit listrik Indonesia sejak Juni 2020 mencapai 70.964 megawatt (MW), maka dibutuhkan bauran energi dan salah satunya adalah pengembangan PLTN.[4] Maka dari itu, pengembangan PLTN perlu dimulai dari sekarang mengingat perencanaan dan pembangunannya membutuhkan waktu bertahun-tahun. Terkait dengan kekhawatiran akan keamanan PLTN, Bob Effendy dari perwakilan ThorCon, perusahaan energi multinasional, menyatakan bahwa PLTN memiliki risiko kematian paling kecil.[5] Lalu, wilayah penempatan yang dipilih juga merupakan wilayah yang rendah potensi gempa termasuk wilayah Bangka dan Kalimantan. Maka dari itu, kekhawatiran mengenai keamanan PLTN masih bisa diatasi dengan berbagai penelitian dan indikator keamanan sesuai dengan prosedur yang ada disertai dengan penggunaan teknologi yang memadai. Selain itu, dukungan masyarakat terhadap proyek PLTN juga semakin meningkat dimana sebanyak 70% masyarakat terutama dari wilayah Bangka dan Kalimantan Barat mendukung program pembangunan PLTN ini.[6] Dukungan masyarakat dan dasar hukum yang sudah dimiliki Indonesia ini menjadi modal upaya membangun PLTN Indonesia.
Kerja sama Internasional dalam Pembangunan PLTN Indonesia
Robert Keohane, seorang neoliberal, menyatakan bahwa kerja sama internasional terjadi ketika aktor menyesuaikan tindakannya sesuai dengan hal aktual atau preferensi aktor lain, melalui sebuah proses koordinasi kebijakan.[7] Koordinasi kebijakan ini akan membuat kebijakan setiap aktor akan disesuaikan untuk menurunkan risiko konsekuensi negatif bagi aktor lainnya, sehingga semua pihak mendapatkan keuntungan dari kerja sama yang dilakukan. Dalam mencapai tujuan atau kepentingan membangun PLTN dalam negeri, Indonesia juga melakukan kerja sama internasional dengan negara, lembaga, maupun organisasi internasional. Kerja sama pembangunan PLTN ini dimaksudkan untuk mendukung riset dan teknologi baik dalam perencanaan dan pelaksanaan yang dibutuhkan dalam proses penggunaan tenaga nuklir termasuk dalam PLTN Indonesia.
Badan Penelitian Pengembangan Kementerian Pertahanan di bawah Prabowo Subianto mengembangkan kekuatan nuklir Indonesia melalui pengembangan teknologi Thorium Molten Salt Reactor (TMSR) sebagai bahan di luar sumber energi nuklir dengan bekerja sama dengan ThorCon International dari Amerika Serikat.[8] PLTN ini menggunakan bahan baku thorium dibandingkan uranium karena limbah thorium bisa digunakan kembali.[9] Bahan baku thorium dan uranium ini tersebar luas di wilayah Pulau Bangka, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Barat. Selain itu, jika PLTN dibangun di wilayah Bangka Belitung atau Kalimantan, maka Indonesia memiliki potensi mengekspor listrik ke negara lain seperti Singapura.[10] Selain membangun kemandirian energi, PLTN juga akan mendorong meningkatkan perekonomian negara termasuk daya saing domestik sekaligus membangun kerja sama internasional Indonesia.
Dari lingkup global, Indonesia menandatangani kesepakatan dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) melalui Country Program Framework (CPF) periode 2021-2021 pada 23 September 2020 di Kantor Pusat IAEA di Vienna. CPF sendiri merupakan dokumen perencanaan strategis untuk jangka menengah yang akan menjadi referensi pengaplikasian kerja sama teknis dalam penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Terdapat beberapa area kerja sama yang dibahas yakni keamanan dan keselamatan radiasi, makanan dan pertanian, kesehatan dan nutrisi, sumber air dan lingkungan, energi dan industri, serta pengembangan kapasitas. CPF ini akan menjadi dokumen penting untuk mengatur pengembangan nuklir yang akan memberikan dampak positif pada sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Terlepas dari berbagai kendala yang ada, terdapat peningkatan upaya pemerintah melalui pembentukan dasar hukum tenaga nuklir dan kerja sama internasional, serta peningkatan dukungan masyarakat Indonesia yang menjadikan perencanaan program pengembangan PLTN menjadi semakin nyata dilakukan. Namun, pada dasarnya tetap diperlukan kesatuan semua pihak yang terlibat baik dari pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat, ditambah bantuan dari organisasi maupun negara asing yang akan semakin mendukung program PLTN domestik guna mencapai berbagai kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
[1] Batan, 2018, “Tiga Reaktor Riset Indonesia Masih Beroperasi dengan Baik”, Batan, http://www.batan.go.id/
[2] Ibid.,
[3] Rio Indrawan, 2020, “Dirjen Ketenagalistrikan : EBT Prioritas, Nuklir Tetap Jadi Pilihan Terakhir”, Dunia Energi, https://www.dunia-energi.com/
[4] Verda Nano, 2020, “ThorCon Targetkan Studi Kajian PLTN Rampung Agustus 2021”, Kata Data, https://katadata.co.id/
[5] Dunia Energi, 2019, “Pembangkit Thorium Berisiko Kecil, ThorCon Menanti Kepastian Hukum”, Dunia Energi, https://www.dunia-energi.com/
[6] Kontan,2020, “Kementerian ESDM: Banyak investor tertarik bangun pembangkit listrik tenaga nuklir”, Kontan, https://industri.kontan.co.id/
[7] Helen Milner, 1992, “,International Theories of Cooperation among Nations: Strength and Weaknesses Cooperation among Nations, bu Joseph Grieco: Saving the Mediterranean, by Peter Haas”, World Politics, Vol. 44, No. 3, pp. 466-496, http://www.jstor.org/
[8] CNN, 2020, “Prabowo Gandeng Perusahaan AS Kembangkan Nuklir di Indonesia”, CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/
[9] Anisatul Umah, 2020, “Jadi Wacana Sejak 1960-an, Kok RI Belum Bisa Bikin PLTN Ya?”, CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/
[10] Ibid.,