Indo-Pasifik

Sebuah Boeing P-8A Poseidon, pesawat maritim multi-misi dengan Skuadron Patroli Angkatan Laut AS 10 (VP-10), dijuluki "Red Lancers", terbang di dekat Fasilitas Udara Angkatan Laut di Kanagawa. (Foto oleh Damon Coulter/SOPA Images/LightRocket via Getty Images)

March 4 2023

Pesawat Pengintaian Angkatan Laut AS di atas Selat Taiwan Membuat China Marah

Anita Susanto Asia Pacific, News, Politics, Security and Defence amerika serikat, China, Indo-Pasifik, Jet, Militer, Pengintai, Selat Taiwan 0

Jet pengintai Angkatan Laut AS terbang di atas Selat Taiwan pada akhir Februari dalam manuver yang dimaksudkan untuk menegaskan hak untuk beroperasi di wilayah udara internasional meskipun ada keberatan yang kuat dari pihak China. Juru bicara Komando Teater Timur Tiongkok dari People’s Liberation Army (PLA), Senior Kolonel Senior Shi Yi, menuduh Washington telah memprovokasi ketegangan.

Dalam sebuah pernyataan pada 27 Februari, armada ke-7 AS mengatakan penerbangan P-8A Poseidon di atas jalur air yang memisahkan China dan pulau Taiwan yang diperintah sendiri dilakukan sesuai dengan hukum internasional, menunjukkan “komitmen Amerika Serikat terhadap kebebasan dan keterbukaan Indo-Pasifik.”

Penerbangan AS “sengaja mengganggu situasi regional dan membahayakan perdamaian dan stabilitas di seluruh Selat Taiwan,” kata Shi dalam sebuah laporan di situs web bahasa Inggris PLA. Dilansir dari media pemerintah China, dikatakan bahwa penerbangan yang dilakukan oleh Angkatan Laut AS “hanya provokasi lain yang bertujuan untuk membangkitkan masalah.” Di sisi lain, pihak AS menyatakan bahwa personelnya akan terus “terbang, berlayar, dan mengoperasikan hukum internasional di mana saja yang memungkinkan termasuk dalam Selat Taiwan.”

Sehari setelah penerbangan armada AS, Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan pihaknya melihat 14 pesawat dan tiga kapal angkatan laut PLA di sekitar pulau itu, termasuk empat pesawat yang melintasi garis median selat yang selama beberapa dekade berfungsi sebagai garis demarkasi informal yang jarang dilanggar antara China dan Taiwan tetapi baru-baru ini secara rutin diabaikan oleh Beijing.

Laporan Global Times mengatakan PLA menangani penerbangan pesawat AS secara profesional. Tetapi kehadiran “pesawat mata-mata AS yang melakukan pengintaian dekat di China, di depan pintu China,” menunjukkan bahwa Washington adalah agresor di wilayah tersebut, kata laporan itu. “Militer AS sering mengirimkan pesawat dan kapal ke Laut Cina Selatan, Laut Cina Timur dan Selat Taiwan untuk operasi pengintaian dekat dan transit provokatif, meskipun Cina berjarak ribuan kilometer dari AS,” menurut laporan yang sama.

Sekretaris Angkatan Darat AS, Christine Wormuth mengatakan bahwa sementara dia tidak percaya invasi amfibi PLA ke Taiwan sudah dekat, “kita harus mempersiapkan … untuk bertarung dan memenangkan perang itu,” dilansir dari CNN. “Saya pikir cara terbaik kita menghindari perang adalah dengan menunjukkan (China) dan negara-negara di wilayah itu bahwa kita benar-benar dapat memenangkan perang itu,” tambahnya.

November 3 2022

Strategi Pertahanan Nasional AS 2022: Apa yang Hilang ?

Rifani Agnes Eka Wahyuni America, Security and Defence, Think amerika serikat, Indo-Pasifik, Strategi Pertahanan 0

Strategi Pertahanan Nasional AS 2022 diresmikan pada 27 Oktober oleh Menteri Pertahanan AS, Lloyd J. Austin III. Strategi pertahanan ini merupakan turunan penjabaran atas Strategi Keamanan Nasional 2022 pemerintahan Biden yang dirilis pada awal Oktober dan masih bertumpu pada asumsi utama yang sama bahwa China adalah tantangan terbesar bagi keamanan nasional AS dimasa depan. Strategi pertahanan AS yang dirilis ini juga mencakup Tinjauan Postur Nuklir dan Tinjauan Pertahanan Rudal.

China dipandang sebagai “pacing challenge” dan “pesaing strategis paling penting untuk beberapa dekade mendatang”. Menurut strategi pertahanan nasional AS, China menghadirkan “tantangan paling konsekuensial dan sistemik”. Cakupan dan skala ancaman yang dihadapi AS telah berubah secara mendasar. China dan Rusia sekarang “menimbulkan tantangan yang lebih berbahaya bagi keselamatan dan keamanan di dalam negeri, bahkan ketika ancaman teroris terus berlanjut”, bunyi strategi AS tersebut.

Perbedaannya adalah antara persaingan strategis dengan China dan ancaman akut yang ditimbulkan oleh Rusia. “Tidak seperti China, Rusia tidak dapat secara sistematis menantang Amerika Serikat dalam jangka panjang”, kata Menteri Pertahanan Austin.

Strategi tersebut menguraikan empat prioritas pertahanan untuk AS, bergerak maju:

Membela tanah air, mondar-mandir menghadapi ancaman multi-domain yang semakin meningkat yang ditimbulkan oleh China;
Mencegah serangan strategis terhadap Amerika Serikat, sekutu, dan mitra;
Mencegah agresi, sambil bersiap untuk menang dalam konflik bila perlu – memprioritaskan tantangan China di kawasan Indo-Pasifik, kemudian tantangan Rusia di Eropa, dan;
Membangun Pasukan Gabungan dan ekosistem pertahanan yang tangguh.

Tantangan utama yang dihadapi AS adalah persaingan strategis dengan China: “Tantangan paling komprehensif dan serius bagi keamanan nasional AS adalah upaya koersif dan semakin agresif China untuk membentuk kembali kawasan Indo-Pasifik dan sistem internasional agar sesuai dengan preferensi kepentingan dan otoriternya. China berusaha untuk melemahkan aliansi dan kemitraan keamanan AS di kawasan Indo-Pasifik, dan memanfaatkan kemampuannya yang berkembang, termasuk pengaruh ekonominya dan kekuatan serta jejak militer People Liberation Army (PLA) China yang tumbuh, untuk memaksa tetangganya dan mengancam kepentingan mereka. Retorika dan aktivitas koersif China yang semakin provokatif terhadap Taiwan membuat ketidakstabilan, risiko salah perhitungan, dan mengancam perdamaian dan stabilitas Selat Taiwan. Ini adalah bagian dari pola yang lebih luas dari perilaku destabilisasi dan koersif China yang membentang di Laut China Timur, Laut China Selatan, dan di sepanjang Garis Kontrol Aktual.”

Strategi pertahanan AS ini juga menguraikan sejumlah ancaman keamanan nasional langsung lainnya yang ditimbulkan oleh Korea Utara, Iran, jaringan teroris, perubahan iklim, dan pandemi.

Departemen Pertahanan AS akan “memperkuat dan membangun arsitektur keamanan yang tangguh di kawasan Indo-Pasifik untuk mempertahankan tatanan regional yang bebas dan terbuka serta menghalangi upaya untuk menyelesaikan perselisihan dengan kekerasan.” Strategi pertahanan bermaksud untuk memperdalam dan memodernisasi aliansi dengan Jepang dan Australia melalui investasi dalam postur, interoperabilitas, dan perluasan kerja sama multilateral; dan akan mendorong keuntungan melalui kerjasama teknologi canggih dengan kemitraan seperti AUKUS dan Indo-Pasifik Quad.

Strategi pertahanan AS didasarkan pada prinsip pencegahan, termasuk penolakan, ketahanan, dan pembebanan biaya. Strategi ini bertumpu pada pencegahan dengan “mengurangi persepsi pesaing tentang manfaat bersih dari agresi relatif terhadap pengendalian.” Strategi ini juga mengacu pada area zona abu-abu yang digunakan dalam perhitungan oleh musuh dari ambang batas di mana AS tidak akan menggunakan kekuatan.

Ada lubang besar yang hilang dari kebijakan pertahanan dan itu adalah keamanan perbatasan AS Selatan. Itulah yang hilang dan itu disebabkan oleh akibat dari kebijakan pemerintahan Biden yang mengabaikan Perbatasan Selatan dengan sengaja.

AS tidak harus hadir di tempat-tempat yang jauh seperti Indo-Pasifik dengan mengorbankan ancaman keamanan dan pertahanan yang sebenarnya hadir di dalam negeri. Permasalahan Perbatasan Selatan geopolitikal AS dalam menghadapi kejahatan terorganisir lintas batas skala besar, perdagangan manusia, perdagangan narkoba, dan imigrasi ilegal. Dimana hal ini merupakan ancaman nyata yang hilang dari strategi pertahanan dengan mengorbankan ancaman keamanan nasional yang agak meluas di sisi lain dunia yang tidak perlu dikobarkan oleh AS. Dibandingkan dengan persaingan dengan China, situasi di perbatasan Selatan merupakan ancaman nyata bagi keamanan nasional AS. Kurangnya penyebutan perbatasan adalah kelalaian yang disengaja – bukan celah dalam strategi.

Saat ini, pemerintahan Biden memilih catur geopolitik dan penegasan global dengan mengorbankan mengatasi ancaman pertahanan aktual yang dihadapi wilayah AS. Penekanan yang tidak perlu pada China dan Indo-Pasifik datang dengan mengorbankan kelalaian pemerintah terhadap situasi keamanan aktual di perbatasan Selatan.

Persaingan strategis dengan negara seperti China tidak otomatis sama dengan ancaman terhadap keamanan nasional. Lompatan itu terlalu besar untuk dilakukan, tetapi tampaknya lompatan itu merupakan pusat dari kebijakan pemerintah AS terhadap China secara menyeluruh, lintas institusi. Argumen bahwa AS perlu menghadapi China untuk melindungi sekutu dari China adalah argumen yang agak lemah dan akan digunakan untuk menyeret China dan AS ke dalam konfrontasi langsung. Itu tidak boleh terjadi.

Solomon Islands Prime Minister the Hon Manasseh Sogavare and Prime Minister the Hon Scott Morrison during Prime Minister Morrison’s visit to the Solomon Islands in June 2019. Photo: DFAT

April 14 2022

China-Solomon Islands Security Deals Worry South-Pacific Nations

Chatrine Debora Asia Pacific, Politics, Security and Defence, Think Australia, Indo Pasifik, Indo-Pasifik 0

A leaked draft security agreement between the Solomon Islands with the People’s Republic of China (PRC) revealed a six-article of the “Framework Agreement.” The Solomon Islands Prime Minister, Manasseh Sogavare, acknowledged that the country wanted to broaden its security cooperation with the PRC. The Solomon Islands later formalized the agreement with China despite growing concerns and criticism from Australia, New Zealand, and Taiwan. The Solomon Islands responded to the criticism by insulting them as he believed the Solomon Islands had the authority to manage its domestic affairs.

Indeed, as a sovereign nation, the Solomon Islands has full authority to define and decide its domestic or foreign policies. Nevertheless, why do the Solomon Islands and China need the security pact? Why does it raise disapproval from other nations in the Pacific?

China provides security assistance for the Solomon Islands

The leaked document states that “The Solomon Islands may, according to its own needs, request China to send police, armed police, military personnel, and other law enforcement and armed forces to the Solomon Islands to assist in maintaining social order, protecting people’s lives and property.” Not only that, the document also states that “China under the Solomon Islands’ approval could make a ship visit to carry out logistical replenishment, and protect Chinese personnel and major projects in the Solomon Islands.” From a security perspective, many countries request for foreign military aid for counterinsurgency efforts. Requesting foreign military support was not the first time for the Solomon Islands, as Australia had assisted Solomon Islands’ stability when riots took place in the Solomon Islands. Yet, unlike another security pact, the agreement with China somewhat ‘upgraded’ to a more deepened military access to Solomon Islands territory.

Why did China support the pact? The documents signify that China could operate varied military and secret service operations in the Solomon Islands territory under Solomon Islands’ consent. The document’s phrases signal that China may create another Chinese military base in other countries, just like in Djibouti. Though both China and the Solomon Islands have denied the new pact will lead to an establishment of the Chinese military, the agreement shows how clever China’s approach is. Not only advancing the Belt and Road Initiative (BRI), the military support in the Solomon Islands provide a legal and clear way for China to conduct a military operation and other confidential tasks in the Solomon Islands area. The terms of “its own needs” have no limitation and clear definition yet; thus, China could potentially exploit the deal for its ‘legitimate’ interests.

Why is the security pact important for the Solomon Islands?

Anthony Veke, Solomon Islands Minister for Police, National Security, and Correctional Services, confirmed that the MoU aims to build meaningful cooperation, develop, and strengthen the Solomon Islands. The Solomon Islands has stated that the partnership with China is similar to the security agreements with New Zealand and other countries, so nothing is to worry about. The Solomon Islands has been in a fragile social and political situation for a long time; therefore, they ask for support from other countries, including Australia, to deploy more police and military personnel in times of crisis and riots in their home country. As usual, the Australian government will provide security aid to the Solomon Islands government and stress that there is no interference in the internal affairs of the Solomon Islands.

As the Solomon Islands faced multiple anti-government protests for years, it wanted to broaden its security cooperation with other nations. The recent security pacts with China do not mean that the Solomon Islands need more military or security support, but rather for political and economic purposes. There isn’t any such thing as free lunch. There is a cost to everything, including the security pacts between the Solomon Islands and PRC. As Solomon Islands PM, Sogavare stated the country is still working on several development frameworks with China to secure and provide more local and foreign investment in the Solomon Islands.

All nations should build international cooperation to fulfill their need, and in the industrialization process, where China stands out. Eliti Sato (2010) argues that there is a weakened ideological bias to associate national industrialization and social development policies with strategies to build networks of international cooperation. Aside from the ideological differences, China seeks partnerships with the developing nations to boost their market production and ensure there is an enormous supply of raw materials for their economic consumption. When it comes to the economy, ideology becomes less and less important, as it can be seen that in replacement for more investment, the Solomon government permits PRC to have more access to secure some major companies and infrastructure in the nations.

Moreover, Manasseh Sogavare also views that the Solomon Islands have chosen to be on ‘the right side of history and normalize the relationship with the PRC. Sogavare has been a pro-China as there is a claim from the opposition leader, Matthew Wale, that Sogavare uses Chinese funds for supporting his government. Sogavare told the Australian reporters in 2019 that Taiwan is completely useless both in politics and economics. Again, China has used its economic and financial power to isolate Taiwan and, at the same time, boost its influence and diplomatic allies with the Solomon Islands. From the Solomon Islands’ perspective, the nations are unwilling to be dragged into a situation where they have to choose sides.

China’s rise is a challenge to other Pacific nations

The Solomon Islands has been in a security agreement with Australia since 2018, and the Australian government supports the Solomon Islands to secure the nations. Australia has been a generous donor in assisting the Solomon Islands’ security and stability. Now with the new security pacts and different leaders, there is a change in the security, politics, and economic dynamics between the Solomon Islands and China. The new security pact with China implies some aspects that the Australian and New Zealand government could not offer.

The Australian government flies to the Solomon Islands to talk about the Chinese-Solomon Islands security pact. Minister for International Development and the Pacific Zed Seselja said that Australia is trying to strengthen its relations with the Solomon Islands. Australia has failed the Solomon Islands, and it lost its influence in the nations. As the Chinese came, Australia was alarmed that there would be a burden on its shipping routes and regional stability. Chinese economic, military and political expansion is a clear threat to Australia and Pacific nations and other allies in the West.

Not only that, there is the possibility that the security of critical data and information may jeopardize. The closer the Chinese military equipment, the bigger it has the chance to disarrange the stability in the region. Similar to the West, its allies in Indo-Pacific also seek a free and open Indo-Pacific. An open and transparent Indo Pacific is the goal to secure the region’s stability.

February 11 2021

Kerja Sama Pertahanan India-AS dan Dilema Kawasan Indo-Pasifik

Chatrine Debora America, Asia Pacific, Politics, Security and Defence, Think amerika serikat, India, Indo-Pasifik, Pertahanan dan Keamanan 0

(Foto: Sam Panthaky via Getty Images)

Tentara India dan Amerika Serikat (AS) melakukan latihan militer pertahanan “Yudh Abhyas 20” di wilayah perbatasan India dengan Pakistan bagian Barat, Rajasthan. Latihan militer yang dilaksanakan dari 8 Februari – 21 Februari 2021 ini merupakan bagian kerjasama tahunan India dengan Amerika Serikat yang sudah dimulai sejak tahun 2004.^[1] Tujuan awal dari kerja sama ini yakni operasi penjaga perdamaian dan bantuan sipil berkaitan dengan kemanusiaan dan bencana alam, namun semakin berkembang sesuai dengan tantangan keamanan kedua negara yakni melawan terorisme global. Bagaimana kaitan kerja sama pertahanan antara India-AS dengan politik kawasan di India?

Kerja sama Pertahanan India – AS
Lt. Amitabh Sharma, juru bicara Pertahanan India, menyatakan kerjasama latihan militer antara India – AS di sekitar wilayah konflik perbatasan India – Pakistan akan diwakili masing-masing 250 perwakilan anggota militer kedua negara, dimana Batalyon 11 Pasukan Jammu dan Kashmir, bagian Komando Barat Daya akan mewakili dari India, sedangkan Batalyon kedua, yakni Resimen Infanteri dari Tim Tempur Brigade akan menjadi perwakilan Tentara AS.^[2] Kerja sama pertahanan ini menjadi yang terbesar antara kedua negara dam dilakukan dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas militer melalui pertukaran informasi serta pelatihan militer kedua negara.

Perluasan kerja sama antara India dan AS menunjukkan adanya penguatan kerjasama secara berkelanjutan antar kedua negara baik untuk mencapai kepentingan keamanan dan politik masing-masing negara. Di satu sisi, AS perlu memberikan “dukungan politik” pada India sebagai salah satu negara besar dan potensial di wilayah Indo-Pasifik, sekaligus menghalau pengaruh dan kekuatan China di wilayah perbatasan dengan India. Di sisi lain, India juga membutuhkan kerja sama pertahanan dengan AS, meskipun Kol. David Smith, veteran dari Badan Intelijen Pertahanan AS, menyatakan bahwa masih terdapat skeptisme dari anggota militer India dari tingkat junior hingga senior terkait intensi dan sikap AS terhadap India.^[3] Skeptisme ini yang selanjutnya menjadi jarak tersendiri bagi India dalam menjaga hubungannya dengan AS.

Dilemma Keamanan India pada Pakistan
Berdasarkan sejarahnya, India-Pakistan mengalami empat kali perang besar sejak tahun 1947 yang didasari perbedaan persepsi pada isu sosial budaya. Berbagai konflik yang terjadi ini semakin meningkatkan eskalasi politik dan militer terutama di wilayah perbatasan. Kedua negara ini merupakan negara dengan kepemilikan kekuatan nuklir sehingga menjadi salah satu faktor yang membuat kerentanan eskalasi konflik politik dan militer di wilayah kawasan Indo-Pasifik. Melalui fenomena tersebut, terdapat konsep dilema keamanan dari Shiping Tang yang menyatakan bahwa dalam kondisi anarki, kedua negara yang realis defensif tidak bermaksud untuk mengancam keamanan masing-masing negara.^[4] Namun, perbedaan persepsi dan kecurigaan akan intensi negara lain membuat negara menilai bahwa kekuatan dibutuhkan untuk mencapai keamanan sehingga kedua negara semakin mengumpulkan kekuatannya.

Keadaan ini sebenarnya tidak meningkatkan keamanan, namun malah menurunkan keamanan negara dikarenakan India melihat Pakistan sebagai ancaman dan juga sebaliknya. Kekhawatiran ini yang mendorong kompetisi persenjataan menjadi lebih berisiko mengubah konflik psikologis menjadi konflik militer. Peningkatan dilema keamanan kawasan antara India dan Pakistan membuat India mendekatkan kerja sama militernya dengan AS, mengingat Pakistan memiliki hubungan cukup dekat dengan China, yang juga memiliki konflik perbatasan dengan India. Mengingat pengaruh global China yang sedang meningkat, maka hubungan kedekatan Pakistan dan China menjadi alarm bagi India untuk memperkuat keamanan nasionalnya melalui kerja sama pertahanan dengan AS.

^[1]

The Times of India. (2021). Indo-US joint military exercise ‘Yudh Abhyas’ begins in Raja. The Times of India, https://timesofindia.indiatimes.com/india/indo-us-joint-military-exercise-yudh-abhyas-begins-in-rajasthan/articleshow/80750557.cms

^[2] Rej, Abhijnan. (2021). India-US Army Exercises Begins in Indian Border State of Rajasthan, The Diplomat, https://thediplomat.com/2021/02/india-us-army-exercises-begins-in-indian-border-state-of-rajasthan/

^[3] Ibid.,

^[4] Tang, Shiping. (2009). The Security Dilemma: A Conceptual Analysis, Security Studies, 18:3, 587-623