Pada 26 Mei 2021, Greenpeace berhasil memenangkan kasus atas emisi CO2 dari perusahaan minyak Royal Dutch Shell. Kasus ini sendiri dibawa oleh aktivis dari Friends of the Earth Netherlands (Milieudefensie), 17.000 penggugat, dan 6 organisasi lainnya yang memaksa perusahaan Shell untuk mengurangi emisinya sebesar 45% dalam 10 tahun ke depan. Roger Cox, pengacara Milieudefensie mengatakan bahwa “Ini adalah titik balik dalam sejarah. Kasus ini unik karena pertama kalinya hakim memutuskan perusahaan besar pencemar lingkungan untuk mematuhi Perjanjian Iklim Paris. Keputusan ini mungkin juga memiliki konsekuensi besar bagi pencemar besar lainnya.”[1]
Perusahaan Shell sendiri adalah salah satu dari 10 perusahaan yang paling mencemari iklim di dunia.[2] “Putusan ini merupakan sinyal yang jelas bagi industri bahan bakar fosil. Batubara, minyak dan gas harus tetap di dalam tanah. Orang-orang di seluruh dunia menuntut keadilan iklim. Hari ini pengadilan menegaskan bahwa industri bahan bakar fosil tidak dapat melanjutkan pencemaran iklim mereka. Kami dapat meminta pertanggungjawaban perusahaan multinasional di seluruh dunia atas krisis iklim.”[3] Perselisihan antara Greenpeace dan Shell telah terjadi sejak awal 1990, dimana Shell memutuskan untuk membuang instalasi Brent Spar (Sebuah platform penyimpan minyak di ladang minyak Brent yang dioperasikan oleh Shell Inggris) dengan minyak yang berada di dalamnya ke Laut Atlantik yang diizinkan oleh Pemerintah Inggris pada saat itu. Hal ini menyebabkan pemboikotan produk Shell di Eropa, dimana beberapa stasiun Shell di Jerman melaporkan penurunan penjualan sebesar 50 persen.[4]
Tekanan dari organisasi dan gerakan masyarakat menjadi salah satu pertimbangan bagi Shell yang akhirnya Brent Spar dibongkar di daratan untuk dijadikan fondasi pelabuhan kapal feri. Bahkan dengan banyaknya komunitas yang memprotes Shell berbulan-bulan setelah Brent Spar, citra perusahaan Shell di mata publik sangat buruk. Shell menjadi subjek kemarahan banyak organanisasi dan publik.[5]
Hingga pada tahun 2012, Greenpeace memulai kampanyenya untuk menghentikan pengeboran minyak Shell di Laut Chukchi guna menyelamatkan Arktik, karena bagi Greenpeace, Shell masih menjadi salah satu perusahaan yang sangat mengancam lingkungan. Hal ini berlangsung hingga tahun 2015 ketika Shell memutuskan akan melakukan pengeboran di laut yang sama, kampanye “Hentikan Shell” pun dilanjutkan dengan enam aktivis yang menaiki kapal bor secara ilegal dan Shell melayangkan gugatan kepada Greenpeace yang menyatakan klaim untuk ganti rugi di Distrik Alaska.[6] Tiga tahun kemudian, organisasi Friends of the Earth Netherlands (Milieudefensie) mengirimkan surat pada Direktur Utama Royal Dutch Shell Inc. yang menyatakan bahwa Shell telah menjadi salah satu penyumbang kerusakan iklim setidaknya sejak 1986 dimana Shell sebelumnya telah menyatakan dukungannya terhadap ambisi untuk mencapai “dunia bersih nol emisi pada tahun 2050” dan merusak ambisi Perjanjian Paris.
Pada Mei 2018, sebanyak 10.000 orang di Belanda menggugat Shell walaupun tidak dihiraukan tuntutannya oleh perusahaan minyak Inggris-Belanda tersebut. Akhirnya, pada 12 Februari 2019, 6 organisasi yaitu Action Aid, Both Ends, Fossielvrij NL, Jongeren Milieu Actief, Waddenvereniging dan Greenpeace telah bergabung dalam persidangan untuk menuntut Shell ditambah 17.000 penggugat telah bergabung untuk melakukan tuntutan untuk Shell agar ramah lingkungan sesuai dengan Perjanjian Paris.[7] Pengadilan di Den Haag kemudian memanggil Shell pada April 2019 dan delapan bulan setelahnya persidangan digelar. Dikabarkan bahwa putusan dari gugatan oleh lebih dari 17.000 orang ini diharapkan akan keluar pada bulan Mei 2021.
Pada 26 Mei 2021, akhirnya Pengadilan Belanda memutuskan bahwa Shell bertanggung jawab atas kerusakan iklim. Putusan ini menjadi sejarah dimana perusahaan besar diputuskan untuk bertanggung jawab atas kontribusi dari bisnis bahan bakar fosilnya dan diperintahkan untuk mengurangi emisi karbon di seluruh rantai pasokannya. Ini adalah pertama kalinya sebuah perusahaan bahan bakar fosil besar dimintai pertanggungjawaban atas kontribusinya terhadap perubahan iklim dan diperintahkan untuk mengurangi emisi karbonnya di seluruh rantai pasokannya.[8] Putusan ini berarti Shell harus secara radikal mengubah arah dan mengurangi emisi CO2 sebesar 45% pada tahun 2030, sejalan dengan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat.
Isu lingkungan sendiri telah menjadi perhatian banyak masyarakat. Secara global, perkembangan teori yang berkaitan dengan isu lingkungan telah berkembang semenjak 1972 ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membahas bahwa isu lingkungan merupakan masalah besar. Isu lingkungan ini bukan lagi menjadi masalah tiap individu, namun menjadi sebuah tragedy of the commons atau situasi dimana sumber daya lingkungan bersama digunakan secara berlebihan, dan menimbulkan risiko bagi semua orang. Dari hal ini, muncul banyak lembaga sosial masyarakat (LSM atau organisasi non-pemerintah) yang peduli dan bergerak dan peduli lingkungan dan salah satu yang terbesar adalah Greenpeace.
LSM umumnya hadir sendiri untuk menyelesaikan masalah bersama yang terkadang banyak negara tidak mampu menyelesaikannya, dan Greenpeace hadir untuk memperjuangkan kesejahteraan manusia lewat usahanya menjaga lingkungan. Aktifitas dari Greenpeace sendiri erat kaitannya dengan memprotes perusahaan nasional dan multinasional yang tidak ramah lingkungan, Shell menjadi salah satu perusahaan bahan bakar minyak dari fosil yang dinilai oleh Greenpeace sangat tidak ramah lingkungan. Sebelum akhirnya Pengadilan Belanda memutuskan bahwa Shell memiliki peran terhadap kerusakan lingkungan, belum ada perusahaan besar yang berhasil diminta pertanggungjawaban atas kerusakan yang dihasilkan oleh mereka.
Gugatan dari Greenpeace dan aktor lainnya terhadap Shell merupakan sebuah tekanan lingkungan luar bagi sebuah aktor untuk menentukan arah kebijakannya. Walaupun tidak terlalu efektif, tapi apa yang telah dilakukan oleh Greenpeace ini dapat mempengaruhi bagaimana persepsi publik terhadap Shell yang secara tidak langsung menurunkan keuntungan mereka akibat tindakan boikot produk secara masal. Tentu pengaruh secara tidak langsung ini merupakan permasalahan yang sering ditemukan para pegiat LSM, bahwa masalah efektivitas berkaitan erat dengan legitimasi tindakan LSM. Untuk itu, gugatan bagi negara maupun aktor lainnya sering dilayangkan oleh LSM yang akhirnya setelah perseteruan panjang antara Greenpeace dan Shell, putusan pengadilan merupakan kemenangan bersejarah bagi iklim dan semua orang menghadapi konsekuensi dari krisis iklim yang membuktikan bahwa LSM maupun aktor lain dapat menggerakkan perusahaan multinasional untuk patuh terhadap pelestarian lingkungan yang dampaknya sangat besar.
[1] “Historic victory: judge forces Shell to drastically reduce CO2 emissions”, Milieudefensie, 26 Mei 2021, https://en.milieudefensie.nl/news/historic-victory-judge-forces-shell-to-drastically-reduce-co2-emissions
[2] Greenpeace International, “Historic verdict in climate case against Shell”, Greenpeace, 26 Mei 2021, https://www.Greenpeace.org/international/press-release/47934/historic-verdict-in-climate-case-against-shell/
[3] Ibid.
[4] Greenpeace International, “1995- Shell reverses decision to dump the Brent Spar”, Greenpeace, 1995, https://wayback.archiveit.org/9650/20200402124531/http://p3raw.Greenpeace.org/international/en/about/history/Victories-timeline/Brent-Spar/
[5] EC Newdesk, “Brent Spar: Battle that launched modern activism”, Reuters Events, 5 Mei 2010, https://www.reutersevents.com/sustainability/business-strategy/brent-spar-battle-launched-modern-activism#
[6] “Shell Offshore Inc. v. Greenpeace Inc.”, United States Court of Appeals For the Ninth Circuit, 18 Agustus 2015, http://climatecasechart.com/climate-change-litigation/wp-content/uploads/sites/16/case-documents/2016/20160304_docket-15-35392_opinion.pdf
[7] “Timeline climate case Shell”, Milieudefensie, https://en.milieudefensie.nl/climate-case-shell/timeline
[8] Op. Cit., Greenpeace International, “Historic verdict in climate case against Shell”