Serangan udara Israel kembali mengguncang Gaza pada Selasa (18/03), dan menewaskan lebih dari 400 orang. Serangan ini merupakan yang terbesar sejak gencatan senjata dimulaipada 19 Januari lalu. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwaserangan ini diperintahkan karena Hamas menolak proposal untuk memperpanjang gencatansenjata.
Dalam pidatonya dari markas militer Kirya di Tel Aviv, Netanyahu menegaskan bahwa Israel akan meningkatkan tekanan terhadap Hamas. “Mulai sekarang, Israel akan bertindak lebihkeras terhadap Hamas. Dan mulai sekarang, negosiasi hanya akan berlangsung di bawahtekanan pertempuran,” ujarnya
Israel menyatakan bahwa gempuran ke Gaza akan terus dilakukan hingga seluruh sanderayang ditawan Hamas sejak Oktober 2023 dibebaskan. Dari total 251 sandera, Israel mengklaim masih ada 58 orang yang belum dikembalikan.
Sebelum serangan ini, negosiator dari Israel dan Hamas telah bertemu di Doha untuk mencarijalan keluar bagi perpanjangan gencatan senjata. Israel berharap dapat membebaskan para sandera yang tersisa dengan imbalan penghentian sementara pertempuran hingga setelahbulan Ramadan dan perayaan Paskah Yahudi pada April mendatang. Namun, Hamas menuduh Israel melanggar kesepakatan dengan menolak melanjutkan pembicaraan tahapkedua serta menghentikan masuknya bantuan ke Gaza. Akibatnya, kedua belah pihak salingmenyalahkan atas kebuntuan dalam pembahasan gencatan senjata fase kedua.
Serangan ini menimbulkan reaksi yang beragam dari berbagai pihak Internasional. Adapun Amerika Serikat mendukung langkah Israel melalui Penjabat Duta Besar AS untuk PBB, Dorothy Shea, yang menegaskan bahwa Hamas sepenuhnya bertanggung jawab atasberlanjutnya pertempuran. “Hamas bisa saja memperpanjang gencatan senjata denganmembebaskan sandera, tetapi mereka justru memilih perang,” ujar juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Brian Hughes.
Di sisi lain, mantan sandera serta keluarga mereka yang masih ditahan di Gaza menyatakankemarahan atas dimulainya kembali konflik. Yarden Bibas, seorang mantan sandera yang kehilangan istri dan dua anaknya, menyebutkan bahwa tekanan militer hanya memperburuksituasi para sandera yang masih tertahan.