Per Kamis (21/11/2024), Pengadilan Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Galant, dan juga tokoh Hamas Ibrahim Al-Masri atau Mohammed Deif. Panggilan penangkapan ini berkaitan dengan kejahatan perang yang terjadi di Gaza dan mendapat respons positif dari berbagai negara di dunia.
Untuk pertama kalinya, para pemimpin dari negara demokratis yang beraliansi dengan negara Barat menghadapi dakwaan oleh pengadilan, yang menandai keputusan paling signifikan dalam 22 tahun dalam sejarah.
International Criminal Court (ICC) atau Pengadilan Pidana Internasional sendiri merupakan sebuah mahkamah internasional yang memiliki peran dalam menyelidiki dan mengadili individu yang melakukan tindak kejahatan berat. Kejahatan berat yang termasuk dalam kategori ini yakni genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi. Sebagai mahkamah internasional, proses hukum ICC beragam tergantung dengan proses yuridiksi nasional yang berlaku pada negara-negara di seluruh dunia.
Meskipun Israel bukan negara anggota ICC, namun Netanyahu dan Gallant tetap dapat menghadapi penangkapan jika mereka memasuki salah satu dari 124 negara yang menjadi penandatangan Statuta Roma, yang membentuk pengadilan tersebut. Sebelumnya, Majelis memutuskan bahwa ada alasan masuk akal yang mengarah pada Netanyahu dan Galant, di mana keduanya tanggung jawab dalam tindak “kejahatan perang dengan menggunakan kelaparan sebagai metode perang” dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan tidak berperikemanusiaan lainnya.
Panel yang terdiri dari tiga hakim juga menyimpulkan bahwa ada alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa Deif bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan penyanderaan, yang terkait dengan serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Dalam serangan tersebut, para militan membunuh lebih dari 1.200 orang-sebagian besar warga sipil Israel-dan menculik 250 orang lainnya.
Pada bulan September, Kementerian Luar Negeri Israel menyatakan bahwa mereka telah mengajukan dua dokumen hukum yang menentang yurisdiksi ICC, dan menegaskan bahwa pengadilan tidak memberikan kesempatan kepada Israel untuk melakukan investigasi sendiri atas tuduhan-tuduhan tersebut sebelum meminta surat perintah. Namun, ICC menanggapi dengan menekankan bahwa “penerimaan Israel atas yurisdiksi Pengadilan tidak diperlukan.”
Mendapat respons beragam
Amerika Serikat mengutuk keputusan penangkapan tersebut, di mana Presiden Joe Biden menyebut surat perintah itu “keterlaluan.” Ia menegaskan, “Biar saya perjelas sekali lagi: apa pun yang mungkin disiratkan oleh ICC, tidak ada kesetaraan – tidak ada sama sekali – antara Israel dan Hamas. Kami akan selalu berdiri bersama Israel melawan ancaman terhadap keamanannya.”
Tidak hanya itu, pemerintahan Netanyahu mengecam keputusan tersebut, menyebutnya sebagai “antisemistik” dan melabeli ICC sebagai “badan politik yang bias dan diskriminatif.” Pernyataan tersebut menambahkan, “Israel sepenuhnya menolak tuduhan palsu dan tidak masuk akal dari pengadilan kriminal internasional. Tidak ada perang yang lebih adil daripada perang yang dilakukan Israel di Gaza.”
Di sisi lain, dalam sebuah konferensi pers, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, menekankan bahwa surat perintah penangkapan ICC sama sekali tidak bermotif politik dan Ia menekankan pentingnya menghormati dan melaksanakan keputusan pengadilan. Tidak hanya itu, Hamas juga menyambut baik surat perintah penangkapan ICC terhadap Netanyahu dan Galant, dan menyebutnya sebagai langkah penting menuju keadilan.
Selain itu, Indonesia juga mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan dukungan dalam upaya penangkapan ini dan menekankan pentingnya memastikan pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh Israel.
Pemerintah Belanda juga menyatakan bahwa mereka akan menangkap Netanyahu jika Ia datang ke Belanda. Menteri Luar Negeri Caspar Veldkamp menyatakan bahwa mereka menghormati keputusan ICC