Presiden Prabowo Subianto Lakukan Kunjungan Resmi ke China
Pada 8-10 November 2024 Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto melakukan kunjungan kerja ke Republik Rakyat China (RRC) untuk membahas tentang penguatan kerja sama ekonomi antara kedua negara. Pada saat Presiden Prabowo tiba di Beijing beliau disambut oleh Menteri Pertanian dan Pedesaan China Han Jun, Duta Besar China untuk Indonesia Wang Lutong, dan Duta Besar Indonesia untuk China Djauhari Oratmangun. Keesokan harinya Presiden Prabowo bertemu dengan Presiden RRC yang juga Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC) Xi Jinping, Ketua Kongres Rakyat Nasional (NPC) China Zhao Leji, dan dan Perdana Menteri China Li Qiang. Dalam pertemuan tersebut Presiden Prabowo menekankan pentingnya kunjungan kerja tersebut sebagai bentuk dari komitmen Indonesia untuk mempererat kerja sama dengan China. Sementara itu Presiden RRC yang juga Sekretaris Jenderal PKC Xi Jinping menyatakan bahwa China bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk membangun prestasi masa lalu dan menulis babak baru dalam upaya mencari perbaikan diri melalui solidaritas.
Dalam kunjungan kerja ke China Presiden Prabowo menandatangani tujuh kesepakatan dan memorandum saling pengertian (MoU) dengan China. Selain itu Prabowo juga menyaksikan penandatanganan kesepakatan bisnis Indonesia-China dengan nilai sebesar USD 10,07 miliar di berbagai sektor seperti manufaktur canggih, kerja sama maritim, dan kesehatan. Selain itu Prabowo juga menyaksikan penandatanganan MoU yang menyepakati pendanaan China terhadap program Makan Bergizi Gratis. Menanggapi hal tersebut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa China mendukung pendanaan program tersebut karena mereka memiliki hal yang serupa.
Salah satu perjanjian yang ditandatangani oleh Prabowo di China adalah kerja sama maritim yang mencakup sektor perikanan dan sektor energi di Kawasan Laut China Selatan. Dalam perjanjian tersebut terdapa pernyataan bersama yang menyatakan Indonesia dan China telah mencapai kesepahaman tentang pengembangan bersama wilayah maritim yang saat ini ada dalam situasi tumpang tindih. Hal mendapatkan kritik dari akademisi seperti Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia Aristyo Rizka Darmawan yang menyatakan di Twitter/X bahwa hal tersebut bertentangan dengan posisi Indonesia di isu Laut China Selatan. Dalam isu tersebut Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih dengan China karena Indonesia tidak mengakui klaim sembilan garis putus-putus, terutama setelah Mahkamah Arbitrase (PCA) menyatakan pada tahun 2016 bahwa hal tersebut bertentangan dengan UNCLOS. Penandatanganan MoU dan pernyataan bersama tersebut dapat diartikan Indonesia secara implisit mengakui klaim China di Laut China Selatan. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia membantah tuduhan tersebut dan menyatakan kerja sama dengan China tidak akan berdampak terhadap kedaulatan dan hak ekslusif Indonesia di Laut Natuna Utara.